Duka

1495 Words
Langit di Kerajaan Valens amat gelap, dengan warna kelabu yang menghiasi langit siang itu menandakan sebuah duka. Tak ada yang dapat dilakukan oleh sang Raja, sang Ratu, Pangeran pertama, bahkan Ray dan Alexandra ketika Abraham menangis tersedu-sedu setelah ia terbangun dari tidurnya dan menyadari bahwa satu sahabatnya tewas bersama dengan orang-orang lainnya di perjalanan ketika mereka pergi ke Kerajaan Sowvra. Berkali-kali ia memukul ranjang yang tak bersalah dan berkali-kali ia meneriaki Renore sang sahabat yang selalu menyertainya, kini hanya ada dua calon kepercayaan yang berdiri di sampingnya, sama seperti yang lain… keduanya hanya tertunduk dengan perban yang meliliti lengan serta tubuh mereka. Waktu itu adalah waktu yang terberat bagi ketiga orang yang kini berada di ruang tabib istana Kerajaan Valens, setelah sebelumnya mereka di antar pulang oleh pengawal Kerajaan Sowvra bersama dengan Prajurit dari Kerajaan Clairchanter. …   Dua hari, tiga hari hingga satu minggu… Abraham sama sekali tidak beranjak dari Ranjang tabib istana, dan ia juga tidak menjawab sapaan atau pertanyaan mereka yang ingin memastikan kondisi sang Pangeran, dan malam itu ketika hanya ada Abraham yang terduduk di atas ranjang, serta Rezen dan Saint yang berdiri di dalam ruang tabib, akhirnya Rezen mengatakan sesuatu yang membuat Abraham amat marah, “ini salahku, kepergian Renore sepenuhnya adalah salahku… kau berhak memakiku, kau tidak perlu menghukum dirimu seperti ini, Ab” mata kedua orang yang ada di dalam ruangan itu dengan serempak menoleh menatap Rezen yang berucap, “apa yang kau maksud, Rezen?? kita tidak bisa menyalahkan siapapun di sini” elakan Saint atas ucapan Rezen kala itu membuat kedua mata Abraham melirik mereka dengan tajam, “jelas ini salahku, Saint. Seharusnya aku membuka pintu portal itu lebih awal, maka kita semua akan selamat sekarang” pengakuan Rezen membuat Abraham melompat dari kasurnya dan meremas kerah baju yang dikenakan Rezen, kedua matanya memerah menatap Rezen, nafasnya memburu dan tangannya yang menggenggam kerah itu bergetar hebat. “kau bodoh!!!! kenapa kau tidak melakukannya, REZEN!!” umpat Abraham saat itu membuat Saint berusaha melepaskan dan menenangkan Abraham yang kini penuh dengan amarah, sedangkan Rezen memilih untuk diam tak bergeming, membiarkan Abraham mengumpat sepuasnya dihadapan dia. “kau pembunuh! Kau egois!!”, “Pangeran, tenangkan dirimu… tak ada yang bersalah atas peristiwa ini!” ucapan Saint saat itu sama sekali tidak didengar oleh Abraham yang masih menarik kerah baju Rezen, “kau tau bahwa kau bisa melakukannya, tapi kenapa kau tidak melakukannya?! apa kau hanya bergerak atas perintahku, hah?!!!” bentak Abraham begitu keras dan ia melepaskan Huyz begitu saja hingga memengaruhi langit malam di Kerajaan Valens, “jika kau mengetahui apa yang harus kau lakukan, maka lakukan tanpa perintahku!! tidak perlu kau mendengar perintahku di saat genting seperti itu! Karenamu… karenamu, sahabatku mati, Rezen!!” nafas Abraham memburu, tangannya yang bergetar itu kini melemas dan ia menangis di hadapan Rezen dan Saint, hal yang amat jarang melihat Abraham mengeluarkan Huyznya dan terlebih lagi warna langit Kerajaan adalah warna ungu yang mendominasi, itu semua adalah percampuran emosi antara duka dan amarah.   …   Pagi itu Rezen dan Saint berjalan beriringan menuju ruang tabib, setelah malam panjang yang amat menguras emosi sang Pangeran, mereka diusir olehnya ketika sang Pangeran merasa bahwa ia kembali dapat menenangkan dirinya dan menguasai Huyz miliknya. Keduanya tak mendapati sang Pangeran di sana melainkan Ray yang berdiri di ambang pintu yang terbuka, “Ray” panggil Rezen, kedua matanya menoleh menatap Rezen dan Saint bergantian, “dimana Pangeran Ab?” Saint menoleh ke arah ranjang yang kosong, “kalian di bebas tugaskan untuk satu hingga dua bulan ini, dan itu atas permintaannya” jawaban Ray yang saat itu menjawab pertanyaan Saint pun membuat keduanya mengerutkan dahi, serempak mereka menatap ke arah sepucuk surat resmi yang diapit oleh kedua jari Ray yang kini menunjukkannya kepada mereka berdua, “ini adalah surat resmi yang beliau serahkan pada Raja dinihari tadi” baik Rezen maupun Saint kini saling bertatapan setelah mendengar penjelasan dari Ray mengenai permintaan sang Pengeran untuk membebas tugaskan mereka berdua.   …   Saint berjalan menelusuri kebun Hamush, ia sangat berharap bahwa ia dapat bertemu dengan sang Pangeran di sana, mengingat bahwa tempat itu adalah tempat favoritnya dan benar saja… sang Pangeran tengah terduduk di bawah pohon Cherry Prunus padus yang tengah bermekaran bunganya, ia memejamkan kedua matanya seraya menggenggam pedang milik sang sahabat Renore yang sengaja di bawa oleh Abraham ketika pemakamannya berlangsung. “Abraham” panggilan Saint membuatnya menatap Sahabatnya yang tersisa tengah berdiri tepat dihadapannya, dengan tersenyum ringan ia duduk tepat di hadapan Abraham, “jangan pernah meninggalkanku, Saint… karena saat ini hanya dirimulah satu-satunya sahabat yang kumiliki sekarang” mendengar Abraham menggumam seraya kembali memejamkan matanya, membuat Saint terkekeh dan menganggukkan kepalanya, “aku akan selalu berjalan di sampingmu dan aku berjanji akan mati bersama denganmu nantinya” ucapan Saint yang terdengar amat serius membuat Abraham membuka kedua matanya dan mendapati sang sahabat tersenyum padanya serta menepuk bahunya. Angin yang berhembus dengan kencang pagi itu membawa bunga-bunga dari pohon Cherry prunus padus dan menyebar di sekitarnya, mereka adalah bunga-bunga yang sudah tidak dapat lagi menahan kuatnya angin, serta tangkai yang rapuh lah penyebabnya. Bunga-bunga yang berguguran itu menemani kedua orang yang tengah terduduk di bawah pohonnya, seolah pohon tersebut berharap bahwa memori buruk yang keduanya alami, berguguran seperti bunga-bunga miliknya saat itu. “aku akan membuat surat permintaan kepada Raja” kedua pandang Saint kini berkerut dan menoleh menatap Abraham ketika mendengarnya berucap seperti itu, “perihal?” tanya Saint menatap kedua mata Abraham, “Rezen… aku ingin dia di diskualifikasi dan aku ingin dirimu lah yang menjadi kepercayaanku, Saint” segera Saint menggelengkan kepalanya setelah mendengar ucapan Abraham, “tidak ada yang bersalah dalam peristiwa ini,Ab” jelas Saint padanya yang kini menatapnya cukup kesal, seolah tak terima dengan penjelasan yang diucapkan oleh Saint. “jelas dia bersalah!! dia tau dia bisa membuka pintu tersebut, tapi dia terlambat melakukkannya, Saint!” ditepuknya bahu Abraham seraya menggeleng setelah mendengarnya berucap, “terlambat bukan berarti disengaja, ab! Tidakkah kau menyadarinya?? Rezen pun menyalahkan dirinya sendiri seperti kau menyalahkan dirimu di ruang tabib beberapa hari yang lalu” penjelasan Saint membungkam Abraham yang saat itu menatapnya, “bahkan bukan hanya dirimu dan dirinya, aku pun menyalahkan diriku atas kematian Renore… kita sama-sama menyalahkan diri dalam peristiwa itu, yang seharusnya tidak ada yang perlu disalahkan di dalamnya!” Abraham menghela nafasnya cukup berat seraya menundukkan kepalanya, enggan untuk menatap sang sahabat, “sadarlah Ab, dia mengatakan hal itu agar kau menyalahkannya dan mengalihkan semua rasa bersalahmu dengan amarah yang kau luapkan padanya malam itu! Dia melakukannya agar kau tidak terpuruk, agar kau bisa kembali beraktivitas seperti dulu tanpa adanya rasa penyesalan di hatimu mengenai kematian Renore serta yang lainnya, dan membiarkan dirinya menjadi luapan emosimu” nafas Abraham memburu, kedua tatapannya kini menatap Saint dengan tatapan tidak suka dan tidak terima, “jangan pernah membelanya di depanku, Saint!” bentakkan Abraham membuat Saint menatapnya seraya mengerenyitkan dahinya, “kau tau bahwa aku amat membencinya, tapi kenapa kau seolah berada di pihaknya??” tanya Abraham, kini suara yang ia gunakan menjadi amat pelan… seolah sedih karena sahabatnya yang tersisa lebih memihak kepada seseorang yang tidak ia sukai, “aku tidak memihaknya dan aku juga tidak akan memihakmu perihal ini, Ab. Aku hanya ingin netral dan seperti itulah yang kulihat saat ini!” jelas Saint menanggapi ucapan Abraham yang terkesan marah padanya. Tidak membalas ucapan Saint, Abraham memilih untuk beranjak dari sana dan pergi meninggalkan Saint di kebun hamush.   …   Langit siang itu membawa awan hitam yang kelam, awan itu bukanlah Huyz dari keluarga kerajaan… namun sebuah awan yang akan mendatangi hujan di Kerajaan Valens siang itu. Abraham berjalan di hamparan rumput luas yang dihiasi oleh batu-batu nisan, ia berjalan dengan lemasnya seraya membawa sebuah pedang dan sebuket bunga. Langkahnya terhenti di sebuah batu nisan yang bertuliskan nama Renore dengan sebuket bunga yang sudah terletak di atasnya, tanpa adanya rasa penasaran terhadap bunga tersebut, ia ikut meletakan bunga mawar kuning di sisinya, “aku tau kau melihatku di langit sana, Renore… dan kau tau persis apa permasalahan yang terjadi saat ini. Aku sangat membencinya, karenanya kau…- Abraham yang tidak sanggup berucap, kini memilih untuk terdiam menatap nisan tersebut dengan cukup lama, “istirahatlah dengan tenang di langit sana, kita akan bertemu kembali sesegera mungkin… aku akan sering mengunjungimu, sampai jumpa dua hari lagi, Renore” setelah mengucapkannya, Abraham meninggalkan makam tersebut untuk memulai aktivitasnya di kerajaan. Seperti ucapannya, Abraham kembali mengunjungi makam sang sahabat dua hari setelahnya, membawa sebuket lili putih yang ia petik secara langsung di taman kerajaan dan kembali ia melihat sebuket bunga segar yang sama persis seperti bunga yang ia temukan dua hari yang lalu, bunga itu tergeletak di tenmpat yang sama, membuat Abraham berpikir bahwa Saint mendahuluinya beberapa jam yang lalu. Setelah berbincang cukup lama, Abraham akhirnya berjalan meninggalkan makam Renore, dan langkahnya terhenti ketika mendapati buket bunga yang sama tergeletak di dua nisan lainnya, hingga akhirnya ia mendekati dua nisan tersebut. Shulan… Thesamo… itu adalah nisan dua calon kepercayaan lainnya yang meninggal di saat yang bersamaan dengan Renore, adil … satu kata yang muncul di benak abraham saat itu adalah bahwa sahabatnya berlaku adil kepada mereka, ia baru mengetahui ternyata tidak hanya Renore, namun Saint pun mengunjungi makan Shulan dan Thesamo, yang akhirnya membuat Abraham menyunggingkan senyumannya. Dia lebih adil dibandingkan denganku, aku cemburu padanya. Itulah yang ada dalam pikirannya.   …  To be continue. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD