Duka 2

789 Words
Satu bulan lamanya pun terlewati, dan sesering Abraham menemui Renore di pemakaman, maka sesering pula ia melihat buket bunga yang sama seperti yang sebelumnya di tiga makan yang sama. Buket itu adalah bunga iris putih yang dikombinasikan dengan tanaman ivy (keduanya merupakan tanaman dengan lambang persahabatan). “lama-lama aku kesal dengan Saint yang selalu mendahuluiku mengunjungimu, Renore!” gumam Abraham dengan nada yang cukup kesalnya, namun ia tersenyum ketika mengatakannya… seolah ia merasa beruntung karena Saint, “oh, kau disini juga?!” sebuah panggilan membuat Abraham menoleh dan mendapati Saint berjalan mendekatinya dengan tiga bunga matahari yang diikat dengan pita biru. Melihat kedatangannya dan bunga itu membuat dahi Abraham berkerut, “apa yang kau lakukan di sini?” tanya Abraham dan itu tentu membuat Saint menatapnya dengan aneh, “apa lagi?? aku mendatanginya sama sepertimu, pangeran” jawaban Saint kembali memberi tanda tanya besar di benak Abraham, “b..bukankah bunga itu darimu??” tanyanya seraya menunjuk ke arah bungan Iris tersebut, Saint menoleh menatap bunga itu dan kemudian ia menggelengkan kepalanya, “aku tidak pernah memetik atau membeli bunga iris, kau tau sendiri bahwa aku alergi dengan bunga itu sejak dulu… bukan?” jawaban Saint mengingatkannya dan sekaligus mengejutkannya, jika bukan Sanit yang memberi ketiganya bunga iris, lalu siapa yang melakukannya?. itulah pertanyaan yang menggerayang di kepalanya saat ini. Rasa penasarannya tidak pernah menyurut dan bahkan ia terus memikirkannya semalaman. Rasa penasaran yang muncul membuat abraham akhirnya memutuskan untuk datang lebih awal ke pemakaman, dua hari lagi. Seperti niat awalnya, dua hari terlewati dan dari pagi buta Abraham berdiam diri di ujung pemakaman, mengawasi siapa saja yang datang dan berkunjung dengan membawa buket iris. Satu jam, dua jam, dan bahkan tiga jam ia masih senantiasa menunggu kehadiran seseorang yang amat membuatnya penasaran, hingga akhirnya rasa itu pun terbayarkan seluruhnya ketika dengan jelas ia menatap seseorang membawa tiga buket bunga Iris dan Ivy, seseorang itu berjalan dengan raut yang sulit untuk digambarkan, tak ada satupun senyuman di kedua bibirnya, begitu pula dengan sorotan matanya yang terlihat amat hampa dan Abraham jelas mengenali orang itu. Orang yang ia benci ketika kali kedua ia bertemu dengannya, orang yang semakin ia benci ketika mengetahui bahwa juru masak kerajaan yang menjadi walinya, orang yang akan selalu ia benci ketika ternyata ucapan Saint benar adanya… bahwa tak ada satu orang pun yang harusnya di salahkan atas peristiwa kraken itu, tidak termasuk dengan orang tersebut, orang yang kini berjalan menghampiri tempat terakhir Renore, orang yang kini menundukkan kepalanya amat dalam dan menahan tangisnya ketika ia meletakan buket tersebut di atas nisan Renore dan kedua calon kepercayaan lainnya. Dia… Rezen, lelaki bermata Amber yang selalu membuat Abraham muak dengannya. Dialah yang memberikan bunga-bunga itu setiap paginya, beberapa jam sebelum Abraham datang, dia datang terlebih dahulu.     “kita sama-sama menyalahkan diri dalam peristiwa itu, yang seharusnya tidak ada yang perlu disalahkan di dalamnya”. Teringat akan ucapan Saint di kebun hamush satu bulan yang lalu, membuat Abraham meremas d**a kirinya, ketika ia merasakan bahwa ada sesuatu yang membuat hatinya merasa sakit. Apakah aku terlalu naif, sehingga aku menutup mata dan menolak fakta bahwa memang tak ada yang harus di salahkan dalam peristiwa ini?.itulah yang ia gumamkan di dalam hatinya, dan berkali-kali ia menghembuskan nafasnya berusaha untuk setenang mungkin.   “itu benar Ab, tak ada yang harus di salahkan dalam peristiwa ini” itulah gumaman yang ia ucapkan perlahan pada dirinya sendiri.   …   Di dalam ruang Raja, Regard tengah berbincang dengan Ginormous mengenai strategi perang dan beberapa bahan tambang yang sudah menyusut. Keduanya berbicara dengan amat serius dan khitmat, namun ketika sebuah ketukan menginterupsi kedua pandang mereka kini menatap ke arah pintu yang terbuka dan menghadirkan sosok Abraham yang tengah berdiri tegap di sana. “ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu, Baginda Raja” ucapan Abraham yang terkesan tegas membuat keduanya saling bertemu pandang sejenak, sebelum akhirnya Regard mempersilahkan Abraham untuk berbicara,   “katakan hal yang ingin kau sampaikan, Abraham” ucap Regard dengan cukup tegas padanya, “jadikan Rezen sebagai kepercayaanku” permintaan dang Pangeran kedua membuat Regard terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum, “hal apa yang membuatmu merubah pikiranmu? Bukankah kau menginginkan Saint yang menjadi kepercayaanmu, beberapa waktu yang lalu?” pertanyaan Regard sempat membuat Abraham terdiam dan Ginormous tersenyum mendapatinya seperti itu. “aku membutuhkannya, aku memerlukan orang yang memiliki wawasan luas, adil, dan pintar sepertinya… meski aku membencinya, namun aku tau bahwa orang seperti dialah yang kubutuhkan kedepannya dan klasifikasi itu tidak ada pada sahabat-sahabatku”.   Malam itu keputusan Abraham sudah bulat, ia meminta langsung kepada sang Raja untuk menjadikan Rezen sebagai Kepercayaan pribadinya, tidak dengan sebuah paksaan, namun karena ia berpikir dan ia menyadari bahwa ia tidak akan bisa berada di sini jika tidak ada Rezen ketika peristiwa kraken terjadi.   Jika Rezen memang tidak di sana saat itu, mungkin Ia bersama dengan Saint dan Renore akan tewas di waktu yang bersamaan dan membuat Kerajaan kehilangan seorang Pangeran.  ...  to be continue.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD