Halimun

1140 Words
Pagi itu Abraham tengah duduk di salah satu kursi taman Iris, dengan mata yang menyipit, ia menyelidiki satu persatu dari enam orang yang tengah berdiri di hadapannya, “meski aku tidak mau, namun setidaknya aku harus mengetahui nama dan seluk beluk kalian bukan?? ah! Terkecuali kalian, Saint… Renore, duduklah di sisiku” ucap sang Pangeran yang kini menepuk-nepuk kursi kosong di kedua sisinya, “menurut perundangan kerajaan, pasal empat yang diperuntukan bagi seorang kepercayaan, ayat lima yang isinya mengatakan bahwa seorang kepercayaan tidak diperkenankan untuk duduk setara dengan sang Raja atau anak Raja, yang akhirnya membuat sang Raja terlihat direndahkan derajatnya, bagi yang melanggarnya akan dikenakan sanksi berat oleh petinggi naga” baru saja keduanya hendak mendekat, detik kemudian mereka mengurungkan niatnya setelah salah seorang dari yang lainnya berucap demikian, dan itu membuat Abraham menoleh menatap anak lelaki itu cukup kesal. Abraham menunjuk ke arah lelaki itu seraya berucap, “kau, Mendekat padaku!!” perintah dari Abraham membuat anak lelaki yang baru saja berucap itu melangkah mendekati sang Pangeran, kedua mata Abraham yang nyalang menatap kedua mata amber miliknya, “siapa namamu?!” tanya Abraham dengan nada yang sedikit lantang, “Saya Rezen, Pangeran” jawaban Rezen membuat Abraham menatapnya dengan seksama dari atas hingga bawah dan kembali lagi ke atas, “keturunan apa dirimu itu?” tanya Abraham, dan kali ini suaranya tidak seperti awal… meski wajahnya menunjukkan bahwa ia tengah sebal, namun suara lantangnya menghilang begitu saja, “saya adalah anak dari seorang pengelana” mendengar jawabannya membuat kedua mata Abraham menyipit, “saya tidak pernah mengetahui bahwa ada sebuah keluarga pengelana di Kerajaan ini” dahi Abraham berkerut setelah mengingat-ingat bahwa memang tak ia temukan pasangan kelana di Kerajaan Valens, “kedua orang tua saya meninggal dalam perjalanan kemari dan secara kebetulan Ray lah yang menemukan saya di sekitaran hutan sungai Issen” penjelasan Rezen membuat Abraham terbungkam. Jadi dia orang yang ditemukan oleh Ray?. itulah pertanyaan yang menempel di pikiran Abraham saat ini,  raut wajah yang semula marah kini berubah menjadi raut yang penuh dengan sebuah rasa kekhawatiran ketika ia memberanikan diri untuk kembali bertanya, “lalu siapa wali mu?”, “saya adalah wali darinya, Pangeran Ab” suara lembut yang amat dikenali oleh Abraham membuatnya menoleh dengan cepat demi menatap Alexandra yang baru saja tiba dengan secangkir teh hijau yang ia bawa khusus untuk sang Pangeran. “k… kau??” suara Abraham seolah hilang ketika bertanya, kedua matanya terbelalak kaget, dan pertanyaan itu membuat Alexandra mengangguk pelan padanya, “ya… saya adalah wali dari Rezen” Entah bagaimana, namun ketika Abraham mendengar jawaban itu dari seorang Alexandra, membuat kedua telinganya kini memerah dan ia terlihat menyembunyikan kekesalannya.   …   “kenapa dia harus menjadi wali darinya?!” ditendangnya batu yang tak bersalah di hadapannya itu, hingga batu tersebut melambung jauh dan jatuh ke dalam sungai Issen. Kurang lebih satu jam lamanya Pangeran Abraham berada di pinggiran sungai Issen dengan bibir yang tak pernah berhenti menggerutu pada Rezen, hal itu disebabkan karena kecemburuannya terhadap Rezen yang menurutnya telah merebut Alexandra dari dirinya. Tentu ia kesal, karena baginya Alexandra adalah orang yang menggantikan sosok ibu dan Ray adalah pengganti sosok ayah baginya. Meski ia memiliki ayah dan ibu, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk terbuka kepada mereka berdua di bandingkan dengan Raja dan Ratu. “orang menyebalkan!” gumamnya lagi, meski terlihat seperti orang yang tengah emosi … namun Abraham mampu mengendalikan Huyz miliknya hingga itu tidak berpengaruh terhadap langit Kerajaan Valens sama sekali. Dan itu merupakan salah satu nilai tambah dari seorang Abraham yang tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk Regard sang Ayah. “siapa yang menyebalkan?” mendengar suara Ray, membuat Abraham langsung berbalik dan mendapati Ray tepat di hadapannya, “tidak… tidak ada” ucapan Abraham yang saat itu masih menendang-nendang bebatuan di pinggir sungai Issen membuat Ray tersenyum, “kau merasa jengkel dengan salah satu dari keenam calon kepercayaanmu kan??” pertanyaan Ray membuat Abraham menganggukkan kepala dan menggeram pelan, “dari mana kau menemukannya? Kenapa kau membawanya? Kau membuatku kesal, Ray!” itulah ucapan-ucapan kekesalan yang dilontarkan oleh Abraham padanya membuat Ray kembali tersenyum, “aku membawanya karena aku yakin dia mampu membantuku dalam melindungimu” ditatapnya sang Panglima dengan kedua matanya yang kini menyorot menjadi tajam setelah mendengar ucapan yang menurutnya cukup menyebalkan, “temanku bisa melakukannya!” dengan kesal ia menghentakkan kaki di atas tanah dan segera pergi meninggalkan Ray di pinggir sungai Issen. Ray tertawa melihatnya menjauh dari sana dan akhirnya menghilang dari pandangan ketika ia berbelok di kejauhan sana untuk kembali ke Istana, “dia lebih terlihat seperti seorang anak kecil di hadapanmu, berbeda jauh dari image seorang pangeran berwibawa yang ia bawa di Kerajaan” sebuah suara membuat Ray melirik Rezen yang muncul di balik pohon sana dengan ujung matanya, tanpa menoleh ke arahnya sedikitpun, ia menganggukkan kepalanya seraya berucap, “itulah Pangeran Ab, dia sangat pandai menyembunyikan sifatnya di hadapan banyak orang” ucap Ray dengan senyuman yang tidak pernah pudar dari bibirnya, “tapi tidak di hadapanmu” ucapan Rezen itu kini membuat Ray menoleh menatapnya dan mengangguk, “ya… dia hanya memperlihatkannya padaku dan Alexandra, dan kurasa dia akan memperlihatkannya juga padamu” ucapan Ray yang terakhir membuat Rezen menoleh menatapnya, “kenapa anda berucap demikian?” tidak ada jawaban dari Ray saat itu, yang didapati oleh Rezen hanyalah senyuman tipis dari Ray yang akhirnya pergi menjauh dari sana, tanpa memberikan sedikitpun jawaban padanya.   … Siang itu Abraham bersama dengan Ray dan enam calon kepercayaan tengah menunggangi kuda menuju negeri kabut, bukan karena keinginan sang Pangeran … namun undangan persahabatan lah yang membuatnya mau tidak mau pergi ke negeri tersebut, “kenapa tidak kaka yang menghadirinya?” pertanyaan yang dilontarkan oleh Abraham membuat Ray menoleh ke arah belakang di mana posisinya lah yang di kawal di tengah-tengah. “Pangeran Reglus tengah menghadiri rapat bersama dengan Raja, beliau ingin Pangeran Reglus memahami bagaimana cara bersosialisasi dengan Raja-Raja lainnya” penjelasan Ray membuat Abraham menghela nafasnya pelan, “lalu kenapa enam orang ini harus ikut? Padahal dua orang saja sudah cukup untuk menjagaku” kedua mata Abraham yang saat itu tengah berucap pun menoleh ke arah Saint dan Renore, teman dirinya. “ini merupakan salah satu ilmu yang harus mereka kuasai, mereka telah menemani anda selama satu tahun dan mereka harus mengetahui bagaimana caranya mengawali anda jika nanti anda mendapatkan undangan seperti saat ini”, “sudah kukatakan, aku tidak perlu dikawal oleh banyak orang dan terlebih salah seorang dari keenam orang ini!” gumaman Abraham tidak di dengar oleh Ray yang berada jauh di depan sana, maupun keenam orang yang kini membentuk sebuah pola hexagon dengan Abraham yang berada di tengah-tengah antara mereka. Dan itu membuat Abraham menghela nafasnya cukup berat di atas kuda yang ia tunggangi. Derap langkah kaki kuda beriringan, dengan malas Abraham menoleh ke kanan dan kiri namun tak ia temukan apapun selain lahan kosong yang gersang, yang akhirnya membuatnya kembali menatap kearah rambut kuda miliknya yang teruntun rapih. Mereka merawat kudaku dengan baik. Itulah yang ada di dalam pikirannya saat itu, “Pangeran, awas!!” mendengar ucapan itu membuat Abraham menoleh kearah suara dan ia terkejut ketika sebuah tangan kini menariknya hingga ia terjatuh dari atas kuda ke atas tanah.   ZRAAAKKKK!!!  to be continue. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD