Jadi aku dibawa Nilam pergi untuk membeli buah buahan juga sayur sayuran di mal. Selain itu, dia juga membelikan aku kulkas ukuran sedang. Seseorang mengantarkan kulkas itu ke kosan ku.
Aku sungguh merasa malu pada Nilam. Gadis itu bukan hanya membelikan ku kulkas, tapi dia juga membelikan ku baju hamil.
"Yang ini warnanya cocok banget buat kamu. Meski pun sedang hamil, kamu tetap saja cantik dengan warna itu." celotehnya.
AKu hanya mengikuti apa yang disarankan oleh gadis itu. Karena selain aku enggak memiliki uang, aku pun memang enggak berani membeli barang barang itu.
"Ini harganya ke mahalan enggak sih?" keluhku pada Nilam.
"Apanya yang mahal, ini biasa saja lah." Nilam kembali mengambil baju hamil itu, padahal aku hampir saja mau menyimpannya karena harganya yang mahal itu.
AKu melihat Pak AKbar sesekali menoleh pada kami, dan sekali lagi pandnagannya bertemu dengan ku. Dia tidak tersenyum, namun tatapannya lembut sekali dan membuat darah ini berdesir hangat.
"cantik sekali memakai baju itu. POkoknya itu harus dibeli."
"Tapi nanti uang kamu habis, nilam. Ayolah aku enggak enak terus terusan kamu belikan ini itu."
Nilam menggeleng seraya berdecak. "Kamu jangan klhawatir, seseorang sudah menginvestasikan banyak uang untuk itu." ujarnya.
AKu enggak tahu siapa yang dimaksud seseorang itu. Namun lirikannya tertuju pada Pak Akbar, yang sayangnya di respon pak Akbar dengan sebuah tatapan datar saja.
Kami masih berada di pusat perbelanjaan, ketika kepalaku terasa berkunang kunang. Aku bersandar ke dinding, untuk menenangkan diri ini.
Seseorang menghampiri, membuatku menatap kearahnya. "Kamu baik baik saja?"
tatapan itu terlihat lekat sekali padaku. kedua mata hitam legam yang seolah akan menghunus jantung dan jiwa ku. Wajah tampan yang rupawan begitu dekat di depan ku.
"Saya hanya merasa sedikit, pusing saja." jawab ku agak salah tingkah karena menerima perhatian darinya.
"Mau minum?"
"Air ku di mobil." aku memang lupa membawanya.
"Atau mau makan? kalau kamu sudah mau makan, ayo kita ke restoran terdekat dari sini." ajaknya.
"Tapi, saya ..."
Aku enggak punya uang, dan aku malu kalau harus terus meminta pada Nilam. Laki laki itu sepertinya mengerti dengan apa yang ingin aku katakan. Dia meraih tangan ku dan membawaku ke arah restoran yang berada dekat dari sana.
Aku terdiam mengikuti ke mana laki laki itu membawaku. Dan sampai lah kamui di sebuah restoran, kami siap siap masuk namun.
"Wah! belum juga jadi janda, kamu sudah senang pergi dengan laki laki lain!"
itu mertuaku, dia dengan seseorang yang entahlah siapa. Dia muncul di depan ku dan pak Akbar.
"Maaf, bu. Sepertinya anda salah faham dengan kami. Tolong jangan membuat keributan di sini, karena saya sedang mau makan."
"Oh, saya minta maaf sekali, tuan. Saya hanya mau mengingat kan bahwa perempuan itu bukan lah perempuan baik baik. Anda akan sangat menyesal jika menyukai perempuan seperti dia."
Aku merasa tidak memiliki kesalahan pada mertuaku. Namun entah kenapa mertuaku selalu saja memberikan kalimat pedas padaku.
"Bu, nanti kalau mau bicara dengan kami. Sekarang saya dan Ayana akan makan dulu, mari bu. Atau .... ibu juga mau makan? kalau ibu mau makan, maka akan lebih baik kita segera masuk dan makan bersama, bu."
Ibu mertuaku berdecih, lantas pergi meninggalkan kami.
Sementara itu, aku pak Akbar dan Nilam masuk untuk makan.
"Saat hamil, akan lebih baik kalau kamu enggak sering bertemu dengan orang orang yang toksik." ungkap Pak Akbar.
"Mertua kamu itu sepertinya memang kurang waras, ya. Aku heran, bagaimana bisa kamu hidup selama ini sama dia." serapah Nilam.
"Sudah lah, ayo kalian makan."
Pak AKbar menyuruh kami berdua diam. Dan kami pun menghargai itu dengan menikmati makan malam kami.
Sampai di kosan, aku disuruh duduk oleh Nilam, sedangkan dia memasukan buah buahan ke dalam kulkas yang baru saja dibawa oleh pihak pemilik toko.
Nilam juga membelikan ku mesin cuci. Aku bahkan sangat bingung harus bagaimana membalas semua kebaikannya itu.
"Nilam, kamu habis berapa uang untuk membeli semuanya? bagaimana caraku membalasnya?"
Nilam menatapku dengan sebuah kekehan. "Kamu enggak perlu membayar itu semua." Nilam merapikan dus bekas mesin cuci dan juga bekas kulkas.
"terus?"
"Kamu hanya perlu harus menyiapkan hatimu, pada--"
"Nilam! ayo pulang. saya banyak kerjaan!"
Suara tegas Pak AKbar, membuat percakapan kami berakhir. Aku menatap punggung tegap dan lebar itu lebih dulu keluar dari kosan ku yang kecil ini. Kosan yang hanya ada satu kamar, satu sofa, satu dapur kecil, dan juga satu toilet.
Nilam mengerucutkan kedua bibirnya. "Dasar gengsian." gumamnya. AKu tidak tahu pada siapa ia berkata seperti itu. Namun ia mengeluarkan sebuah kartu padaku.
"Ini paswordnya adalah ulang tahun kamu. Pakai ini untuk memenuhi semua kebutuhan kamu."
Nilam meletakan kartu berwarna hitam itu di atas kulkas. Yang aku tahu bahwa Black Card hanya di miliki oleh segelincir orang saja. Namun bagaimana bisa Nilam memiliki kartu itu dan memilih untuk memberikannya padaku.
"tapi ini dari siapa?"
"Dari seseorang yang suka banget dan kagum banget sama kamu."
"Siapa sih?"
"Tapi dia enggak mau kamu tahu, katanya. Kalau kamu tahu, dia akan merasa sangat malu katanya."
"Masa malu?"
"Ya udah, sih, nanti juga kamu bakal tahu. Aku udah diunggu sama pak Akbar. jangan sampai doi marah. AKu pamit ya."
Dia segera pergi menyusul Pak Akbar. AKu menghela napas dalam, segera mengunci pintu kamarku dan menjatuhkan diriku di atas ranjang empuk yang sempit. Tidak apa apa, di sini jelas lebih membuatku betah ketimbang di rumahnya Mas Faisal.
Faisal POV
Anaknya madona rewel sekali, dan aku mulai risih padanya. Pasalnya aku baru saja pulang kerja, dan anak itu menghampiriku duduk di pangkuan ku seraya menangis meminta sesuatu.
Aku kesal padanya, sehingga aku meletakan anak itu di sofa.
"Kamu kenapa mas?ko kamu biarin ara nangis sendirian?"
Aku merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk mendiamkan anak kecil itu. Dia bukan lah darah dagingku. Untuk apa aku harus repot repot merawatnya.
"Aku lelah, yang. Aku butuh istirahat." keluh ku.
Madona menatapku selama beberapa saat. "kamu ko kaya gitu, kan dia juga butuh perhatian kamu kan?"
"Aku capek, madona. Boleh kamu mengerti aku sedikit saja!"
Mungkin karena suaraku yang mulai tegas. Ia pun meraih ara dan membawanya ke kamarnya. Aku menghela napas dan merebahkan tubuh ini. Di keneningan seperti ini, tiba tiba aku mengingat seseorang yang telah aku sakiti.
Ayana!
Bagaimana kah saat ini kabarnya?
Entah kenapa aku ingin sekali bertemu dengannya.
Aku sepertinya memang harus menemui perempuan itu. Saat ini aku yakin sekali dia sedang berada di kosannya. Ini masih pukul delapan malam, aku rasa dia masih belum tidur.
"Mau ke mana mas?"
Tanya madona padaku. Tangannya memegang lengan ku. Dan anak kecil itu merengek ingin ikut dengan ku. Ayolah, dia bukan anaku, kenapa aku harus direpotkan olehnya.
"Aku mau keluar sebentar. kenapa?"
"Aku ikut boleh? aku dan ara juga mau jalan jalan sebentar. Kami merasa kesepian terus berada dirumah."
"Maaf, sayang. Aku bukannya mau menongkrong. Tapi aku mau bertemu klien."
Dian terlihat tidak senang. Dia menatapku sepertinya sedang menelitiku, mungkin ia mengira bahwa aku ini seorang pembohong.
"Klien? yakin? jam segini masih ada klien? aku rasa pak akbar juga sudah tidur."
"kenapa bawa bawa pak akbar?"
"Ya, karena klien pasti ada urusannya sama pak akbar kan? kamu enggak bisa dong, bohongin aku gitu aja."
"AKu enggak bohongin kamu. Aku memang ada klien. Dan pak akbar tahu ini. Kalau kamu enggak percaya, kamu boleh tanya pak akbar sana!"
Aku sih, yakin kalau perempuan itu enggak akan berani bertanya pada beliau. terlihat dari mimik wajahnya yang semakin kesal padaku.
"Baiklah, tapi kamu jangan pulang malam malam. Ara suka nyariin kamu."
Cih, untuk apa anak itu nyariin aku. Enak saja mau manja manja padaku. Dia anak aku saja bukan!
Bagaimana jika anak yang dikandung ayana adalah anak ku. Maka aku akan sangat rugi karena telah menelantarkan anak ku sendiri. Lagi pula, kenapa pada waktu itu aku sangat ingin menikah dengan perempuan yang banyak maunya ini.
berbeda jauh dari Ayana yang menerima berapapun yang aku berikan. Madona selalu menuntut ku dan menghabiskan banyak uang ku. Ibuku bahkan mulai komplen karena aku sudah tidak lagi memberikan jatah banyak seperti biasanya.
"Aku pergi dulu!"
Ku lewati dia, tanpa mau menoleh pada anak sialan itu.
Mungkin aku harus mulai mencari cara untuk melepaskan perempuan ini. Aku akan menceraikan madona. lagi pula kami ini hanya menikah siri saja, aku bisa meninggalkannya.
Dan aku akan kembali pada Ayana. Apapun yang terjadi, aku akan kembali bersama Ayana. Hanya perempuan itu yang irit dan tidak neko neko. Hidup dengan Ayana, aku bisa memberikan apapun pada ibuku, dan juga ayana sangat patuh. Dia pasti mau mengerjakan pekerjaan rumah ibuku tanpa aku harus mencari seorang pembantu.
Ayana! kamu jangan ke mana mana. AKu akan datang dan kembali seperti dulu!