"Sarapan mas?"
ajaku pada mas Faisal. Namun laki laki itu malah diam dan menghela napas dalam, seolah melihatku itu memang begitu memuakan. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menjadi berubah seperti itu.
"nasi goreng itu lagi? kamu enggak kreatif ya, jadi istri. Masa tiap hari harus makan nasi goreng kunyit terus sih? kamu mikir dong, aku ini bosan. Aku bukan ayam loh, yang setiap hari dikasih menu yang sama, dan aku akan erus makan."
Masalahnya Mas Faisal memang memberikan ku sedikit sekali uang. Aku sampai bingung mau membaginya kaya gimana.
"Ini karena mas ngasih uangnya sedikit. Aku harus bagaimana mas, cara baginya."
"Kamu pikir sendiri lah, bagaimana. Istri orang lain bisa membagi uang yang sedikit, sedangkan kamu enggak bisa. Apa sebenarnya yang kamu bisa tuh!"
"Maaf, mas ...."
Tapi aku masih harus sabar padanya, karena dia adalah suamiku. Karena aku sangat mencintainya. Dulu dia telah mengambilku dengan cara yang begitu terhormat. Dia datang ke rumah ku dengan kedua orang tuanya, dengan segala bebaan yang begitu berharga. Dulu ketika kami masih berada di SMA, dan dia adalah kakak kelasku. Dia adalah kakak kelas terpavorit karena sangat tampan dan murah senyum.
Aku yang malu malu selalu di datangi olehnya. Aku selalu di goda oleh teman sekelasku karena selalu di hampiri oleh kakel yang tampan. Aku yang selalu di cie cie kan karena setiap pagi akan menemukan sarapan di mejaku. Sebungkus burger dan setangkai bunga mawar merah. Aku yang dulu selalu ditunggu di lapangan untuk latihan basket hanya berdua, lalu digoda ole penonton di tribun sampai pipi ini terasa merah, aku yang selalu di jemput ketika istirahat untuk makan siang, lalu di berikan kursi tanpa harus mencari karena di duduki siswa lain.
Aku yang ....
"Mas ..."
ingin aku tahan lengan kokohnya dan memeluknya seperti dahulu. Ingin aku katakan padanya bahwa aku sangat merindukannya. Namun semua itu sudah tidak bisa lagi aku katakan. Laki laki itu sudah tidak lagi mencintaiku. Laki laki itu sudah tidak lagi mengasihiku. Di matanya aku sudah bukan lagi perempuan yang berharga. Di matanya aku sudah bukan lagi Ayana yang dulu.
Ku tatap diri ini di dalam cermin. Aku masih 23 tahun, tapi wajahku suah kusam, dan baju dasterku sudah jelek. Selama enam bulan ini aku tidak lagi memakai skin care. Selama enam bulan ini aku memang sudah menanggur. Suamiku melarang ku untuk kerja, namun akhirya aku di sia siakan olehnya.
Aku tidak tahu harus mengadu pada siapa lagi, kedua orang tuaku sudah meninggal karena kecelakaan lima bulan yang lalu.Rumahku sekarang kosong dan aku merindukannya.
Akhir akhir ini juga aku jadi sering makan sambil menangis. Aku merasa bahwa diriku memang tidak beruntung. Aku merasa bahwa diri ini tidak berharga dimatnya. Aku merasa bahwa saat ini aku memang tidak penting untuknya. Jangan kan urusan skin care. Untuk urusan perut saja dia sudah mengabaikannya. Dia sudah melupakannya. Dia ...
Hanya bisa duduk bersimpuh di sudut kamar ini, karena aku sudah tidak berdaya. Dia bilang akan melindungiku dan akan membuatku selalu bahagia, ketika kedua orang tuaku meninggal lima bulan yang lalu. Dia bilang bahwa aku adalah hidupnya. Bahwa aku adalah kebahagiaannya, bahwa aku adalah surganya. Bahwa aku adalah ...
ketukan dari arah pintu membuatku segera mengusap air mata ini dan terburu berjalan ke arahnya.
Ku temukan Ibu warung dengan wajahnya yang tersenyum padaku.
"Bu ... ayo masuk." ujarku.
Ibu warung menggelengkan kepalanya pelan. "enggak usah, nak. ibu cuma mau bilang kalau hutang kamu sudah enam ratus ribu. Ibu sudah tidak bisa lagi menanggungnya. Kamu tahu kan kalau ibu ini seorang janda. Ibu hanya hidup sendirian sekarang. ANak ibu sudah pergi dengan suaminya. Jadi tolong ya ... bayar saja setengahnya dulu kalau kamu enggak bisa."
Ku raih tangannya Ibu warung. "Bu saya minta maaf, ya. Ay minta waktu dua hari saja, apa boleh bu?" beliau ini memang sangat baik, sehingga beliau mengangguk dengan pelan.
"Dua hari ya, karena ibu butuh buat belanja."
"Iya, bu. ay bakal usahain."
"O, iya. Boleh ibu tanyakan sesuatu?"
"apa bu?"
"ini tentang suami kamu. ibu melihat dia di restoran malam kapan ya, lupa. Dia sama Madona teman anaknya ibu, dulu waktu kerja. Mereka terlihat akrab sekali, apa hubungan kalian baik baik saja?"
Tidak bu. Kami sudah tidak baik baik saja. Aku sudah tidak lagi dimulyakan sebaai istri. Aku sudah tidak dicintai lagi sebagai istri. Aku sudah tidak dihargai lagi sebagai istri. Aku ....
"ayana ..." mungkin ibu mengerti dengan kegalauanku, sehingga beliau memelukku.
"kamu yang kuat ya, nak. Rumah tangga memang seperti itu. " perlahan ibu melepaskan pelukannya. "Ibu juga pernah mengalami hal ini, makanya ibu membuat warung, agar semua kebutuhan ibu terpenuhi. Jadi kenapa dengan suamimu? apakah yang yang ibu lihat itu benar?bahwa dia seperti yang terlihat?"
Aku menggeleng pelan. Meski aku yakin dengan apa yang aku lihat, namun aku memang tidak boleh menjelek jelekannnya. Dia adalah suamiku, dan sepantasnya aku memang harus menyimpan aibnya apapun keadaannya.
"Bu ... kami baik baik saja. Dia hanya temannya saja. Dan ayana juga sudah tahu bu."
"Syukur lah kalau kalian baik baik saja."
Itu harapanku, Bu. Aku sangat berharap semuanya baik baik saja. Aku sangat berharap sikap hangat dan manis mas Faisal kembali padaku.Hanya itu saja ....
***
"Mas, aku minta uang enam ratus."
Mas Faisal menatapku dengan mendelik. Seolah aku ini adalah seorang pengemis. Sangat berbeda reaksinya dulu. Jika dulu dialah yang akan menjadi satu satunya orang yang akan datang menjadi solusi setiap masalahku meski aku enggak pernah memanggilnya. Jika dulu, dia akan menawarkan apapun padaku. Apapun!
Jika dulu dia tidak tega melihat airmataku luruh meski hanya setitik saja. Dia bahkan akan mencium punggung tangan ku berkali kali dan menenangkan ku dengan kalimat kalimat yang penuh cinta. Jika dulu ....
"Makanya jangan boros jadi perempuan! kamu enak ya minta terus! kamu enggak mikir ya, nyari uang itu susah sekali."
Lalu kenapa dulu kamu menyuruhku untuk berhenti kerja mas?
Tersenyumlah Ayana, jangan perlihatkan kamu lemah. "Jadi mas mau ngasih apa enggak?" Ini akan menjadi permintaan terakhir ku padanya. Aku berjanji akan bangkit dan tidak akan mengemis lagi. Cukup sudah enam bulan menjadi penyiksaan untukku.
Dia bahkan tidak mau lagi menatap wajahku. Miris, sakit!
Kedua mataku terasa panas tatapan itu sungguh menyakikan.tatapan cinta itu sudah hilang. Aku seperti sampah!
"baiklah, mas. Terserah kamu." Aku berbalik seraya mengusap air mata ini yang luruh begitu saja.