Dua

1469 Words
Gadis berkhimar panjang itu melangkahkan kakinya turun dari mobil yang baru saja mengantarkannya. Ia berdiri di depan sebuah bangunan berlantai tiga. Bangunan yang terlihat sangatlah besar juga asri, karena di halaman kirinya terdapat taman bunga yang lumayan luas, sementara di sisi kanan tempat parkiran. Diperhatikannya tempat di depannya tersebut, ia berfikir mungkin ia akan betah bekerja di tempat ini. Saat sedang asik memperhatikan gedung tempatnya akan bekerja itu ia dikagetkan dengan sebua suara. “Mbak yang namanya Nafisa?" tanya seorang perempuan yang memakai pakaian khas orang kantoran, berbeda dengan Nafisa yang saat ini hanya memakai pakaian syar'i, tapi terlihat sangat rapi dan cocok walau dipakai bekerja di kantor. "Eh, iya benar. Ada apa ya mbak?" tanya Nafisa ramah walau sedikit heran kenapa perempuan ini mengetahui namanya. "Saya Anisa Mbak, saya disuruh si bos untuk mengantarkan Mbak ke ruangannya". Jawab wanita itu karena melihat raut heran di wajah Nafisa. Jawaban itu malah justru membuat Nafisa semakin heran. "Maaf ya mbak, saya mau tanya. memangnya semua pegawai baru disambut seperti ini?" tanya Nafisa. Jika memang di sini peraturannya seperti ini maka perusahaan ini keramahannya patut di acungi jempol. Anisa yang mendapat pertanyaan seperti itu dari Nafisa hanya mampu memaksakan senyum. sejujurnya, dia juga bingung mau menjawab apa, karena hanya Nafisa lah orang pertama yang diperlakukan spesial seperti itu. Mana ada perusahaan yang rela mengutus orang untuk menyambut pegawai baru. Tapi dia tidak berhak menjelaskan pada Nafisa, karena ia hanya menjalankan tugas. Jadi lebih baik dia memilih diam saja. "Mari Mbak, ikut saya ke ruangan Pak Bos!" Tanpa menunggu jawaban dari Nafisa, ia langsung melangkah lebih dulu untuk mengantarkan Nafisa ke ruangan yang dituju. Nafisa mengikuti langkah wanita yang diketahuinya bernama Anisa itu. Mereka memasuki lift untuk menuju ruangan yang ternyata berada di lantai tiga gedung tersebut. Saat sampai di lantai tiga, langkah Anisa berhenti di sebuah pintu, di samping pintu itu terdapat sebuah meja yang diyakini oleh Nafisa kalau itu adalah meja sekretaris, tapi yang membuatnya bingung adalah meja itu di tempati oleh seorang pria. Anisa berbincang sejenak dengan pria yang berada di meja sekertaris itu, dan hal tersebut tak luput dari penglihatan Nafisa. "Pak Rian, apa Pak Galih ada di dalam?" Tanya Anisa sopan disertai dengan senyum manis, namun Nafisa merasa senyum itu agak janggal. Nafisa menggelengkan kepalanya pelan, ia tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain. Astagfirullah! "Oh, ada kok Nis di dalam, jadi ini sekertaris baru itu?" Tanya Rian setelah melihat wanita yang berdiri di samping Anisa. Anisa menganggukkan kepalanya, Rian tersenyum ke arah Nafisa, lagi-lagi senyum itu seperti mengandung arti, tapi Nafisa tidak ingin kembali berburuk sangka lagi. Nafisa merasa wajah Rian sepertinya terlihat sangat familiar baginya. Nafisapun membalas senyum Rian tak kalah ramah. "apa kita pernah ketemu sebelumnya? Soalnya saya seperti mengenal wajah anda tapi saya lupa, atau hanya kebetulan?" Tanya Nafisa sambil memperhatikan wajah Rian. Rian gelagapan menjawab pertanyaan Nafisa. "Eh! I. ..iy...ya, emm maksud saya tidak, kita tidak pernah ketemu. mungkin hanya kebetulan!" katanya sambil melirik Anisa seakan meminta tolong agar Anisa secepat mungkin membawa Nafisa masuk, namun sayang sepertinya kode itu juga ikut tertangkap oleh mata Nafisa, namun gadis itu tetap memilih diam seolah tak melihat apa-apa. "Eh, Iya! ayo Mbak kita langsung masuk aja!" tanpa basa-basi Anisa langsung mengetuk pintu di depannya. "Masuk!" Terdengar jawaban dari dalam. Tunggu, kenapa suara itu juga terdengar familiar di telinga Nafisa? Nafisa menggelengkan kepalanya setelah nama seseorang terlintas dikepalanya saat mendengar suara itu. "Mbak, ayo masuk!" Teguran dari Anisa menyadarkannya dari lamunan anehnya. Dengan kikuk ia masuk mengikuti langkah Anisa. "Pak, saya mengantarkan sekretaris baru Bapak." Beri tahu Anisa. "Tugas saya sudah selesai Pak, kalau begitu saya permisi dulu." Anisa kemudian mengalihkan tatapannya pada Nafisa yang sedari tadi berdiri di sampingnya "Saya duluan yah, Mbak Nafisa!" Sejak tadi, saat Nafisa dan Anisa masuk, orang di depannya ini belum juga mengangkat kepalanya, bahkan ia tak menghiraukan semua ucapan Anisa tadi. Pria itu begitu asik membaca berkas di tangannya. sesekali ia menandatangani berkas di depannya tersebut. Saat Anisa pamit pun, ia tidak menjawab sama sekali membuat Nafisa berdiri dengan kikuk. Apa segitu sibuknya dia sampai menjawab pamitan karyawannya pun tak sempat? Ah, Nafisa jadi bingung, Apa semua Bos bersikap seperti ini? Pikir Nafisa. Setelah menandatangani berkas terakhir pria di depan Nafisa itu terlihat memijit pelan pelipisnya, apa berkas-berkas itu membuatnya pusing? Batin Nafisa lagi-lagi bertanya penasaran. Pria itu kemudian merenggangkan badannya dan mengangkat kepala, saat itu juga mata Nafisa membulat sempurna dengan mulut yang terbuka lebar, mungkin Nafisa pikir ini adalah ekspresi paling jelek yang ia tampakkan selama dua puluh tahun lebih hidupnya. Wajahnya pias, tubuhnya seakan tak bisa digerakkan saat mata mereka bersirobok. Jadi dia.....? Apa maksudnya ini? "Ehmmm." deheman dari orang di depannya membuat Nafisa langsung tersadar dari lamunannya. "Apa kamu akan terus berdiri di situ?" Tanya pria di depannya tadi. Nafisa langsung gelagapan, dan sesegera mungkin mengambil tempat duduk di depan pria yang akan menjadi bos nya itu. "Saya sudah memeriksa profil kamu, dan saya sudah memutuskan kamu akan menggantikan sekretaris saya bahkan tanpa tes, karena saya yakin kamu pasti bisa," jelasnya panjang lebar. "Saya perhatikan sedari tadi hanya saya yang bicara? Apa kamu bisu?" Tanya sang bos membuat Nafisa langsung menatapnya. Bagaimana jika kalian di posisi Nafisa? Dia.... Pria di depannya ini, pria yang dipilih hatinya untuk melabuhkan cinta pertama kali sekaligus Pria yang juga mematahkan hatinya. Setelah sekian lama, akhirnya mereka dipertemukan dalam keadaan yang berbeda, yaitu sebagai Bos dan sekertarisnya. pantas saja ia seperti tak asing dengan pria di depan tadi. Ternyata itu Rian--sahabat si bos barunya. Ia memang sempat melupakan wajah Rian, tapi tidak dengan sosok di depannya ini, yang tak lain adalah bosnya sendiri. coba beri Nafisa saran bagaimana dia harus bersikap setelah mengetahui fakta ini. Nafisa menarik nafas panjang, "maafkan saya pak." hanya itu kata yang mampu Nafisa ucapkan, namun membuat si lawan bicara tersenyum lebar. Ia tau pasti gadis di depannya ini syok. "Ya, untuk hari pertama bekerja saya memaafkan. Tapi besok-besok kalau kamu melamun lagi, jangan harap bakal ada toleransi lagi dari saya." "Oh ya, karena kamu adalah sekertaris saya, kita harusnya berkenalan secara langsung dan formal bukan? Agar kedepannya kita bisa leluasa berkomunikasi?" perkataan itu membuat Nafisa meneguk ludahnya kasar. Bagaimana bisa ia tiba-tiba teringat saat pertama kali dia dan aditya bertemu. Dan apalagi ini, apa Aditya benar-benar tidak mengingatnya? Atau pria itu memang sengaja mempermainkan Nafisa seperti ini? 'Astaga Nafisa. Apa yang kamu pikirkan' ia menggelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri. Ia sedari tadi kebanyakan mengingat masa lalu, padahal kalau di pikir-pikir, keadaan mereka saat ini jelas sudah berbeda. "Kamu tidak mau?" Pertanyaan itu membuat Nafisa bingung. "Hah?" "Saya tadi mengatakan kita harus berkenalan secara langsung, dan kamu menggeleng," jelas pria tersebut sambil mengangkat satu alisnya. "Mmm, maaf. Saya...saya, bukan begitu." Nafisa gelagapan sendiri. Bahkan ia tak tahu kalimat apa yang harus ia ucapkan. "Hahahaha, baiklah. Saya tau kamu tadi lagi-lagi melamun, iyakan?" Tebaknya. Nafisa hanya diam. Jujur, ia merasa dirinya sangat bodoh di depan Aditya yang statusnya adalah bosnya. "Ya sudah. Kalau gitu biar saya saja yang duluan memperkenalkan diri. Saya Aditya Galih Fernando, CEO di GF Advertising," ucap Aditya memperkenalkan diri. "Ss..sayya..." Nafisa mendadak kesal dengan dirinya sendiri, kenapa dia tiba-tiba berubah jadi gagap sih? "Nama saya Nafisa Khazanah Amran, sekertaris baru bapak," ucapnya setelah menarik Nafas panjang. Aditya atau lebih dikenal di kantornya dengan panggilan Galih. Ia tersenyum lebar, bahkan sangat lebar. Gadis di depannya ini, sangat banyak berubah. Tiada lagi Nafisa yang mengurai rambut panjangnya. Tiada lagi Nafisa yang berpakaian pendek dan mencetak badannya. Nafisa yang sekarang berpakaian syar'i, jauh berbeda dengan yang dulu. Dan Nafisa yang sekarang semakin terlihat cantik juga anggun di matanya. Aditya segera menyadarkan diri dari keterkaguman. Ia buru-buru mengalihkan tatap ke arah lain saat ia meyadari pergerakan Nafisa yang kurang nyaman karena terlalu lama diperhatikan olehnya. "Kapan yah, terakhir kita duduk berhadapan kayak gini?" tanya Aditya pelan, serta jauh melenceng dari topik sebelumnya. Nafisa yang mendapat pertanyaan dadakan seperti itu dari Aditya langsung menegang. Ia memilih diam dan mengalihkan tatapannya pada apa saja yang terdapat di ruangan itu. Apa sebenarnya mau laki-laki ini? Lebih baik dia bersikap seperti tadi layaknya mereka tak saling mengenal, daripada kayak begini. "Kamu nggak ingin ngucapin apa gitu, setelah lama kita nggak ketemu?" Lagi-lagi Nafisa tak merespon. Lama mereka terdiam. "Maaf pak. Saya rasa pertanyaan bapak sudah melenceng. Oh ya, karena saya akan menjadi sekertaris bapak, saya bisa minta penjelasan dari bapak apa saja yang akan saya kerjakan?" Aditya tak menyangka Nafisa akan mengalihkan pembicaraan tadi. Jujur ia sedikit kecewa. 'Apa sakit itu masih terasa di hati kamu?' Itulah pertanyaan yang ada di benak Aditya. Karena tak ingin membuatNafisa semakin merasa tak nyaman, akhirya ia mengikuti permintaan gadis itu. Aditya menjelaskan apa saja yang harus Nafisa kerjakan serta aturan-aturan yang ia buat yang harus Nafisa taati. Dalam hati, mati-matian Aditya berusaha tak menyinggung masa lalu agar gadis di depannya ini merasa nyaman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD