Prolog
Suara deringan ponsel menyadarkan lamunan seorang gadis tentang masa lalunya, saat ini ia ragu akan kembali ke negeri asalnya atau tetap menetap di negri Jiran ini. Jika ia kembali, ia terlalu takut kalau-kalau kenangan bersama orang itu muncul lagi ke permukaan. Orang yang tidak seharusnya ia pikirkan karena dia bukanlah mahramnya. Orang yang mungkin saat ini sedang bahagia dengan bidadari impiannya. Lamunan gadis itu kembali buyar saat ponselnya lagi-lagi berbunyi, ia buru-buru mengangkat panggilan yang ternyata dari sang ayah yang saat ini berada di negara asalnya, Indonesia.
"Assalamualaikum ayah," ucapnya dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kegundahan hati.
"Waalaikumsalam nak, bagaimana kabarmu?" Tanya sang ayah.
"Alhamdulillah, baik yah."
"Sayang, kamu jadikan besok pulangnya?" Gadis itu terdiam beberapa saat, kemudian menghela nafas panjang berusaha yakin dengan jawaban yang akan diberikan kepada ayahnya sekaligus keputusan yang akan ia ambil.
"Iya, Yah, aku akan pulang besok," jawabnya pelan, tanpa tahu kalau jawaban tersebut mampu membuat senyum sang Ayah dan orang-orang yang di seberang sana melebar.
"Nak, apa kamu sudah memiliki pacar atau orang yang kamu sukai saat ini?" Tanya sang ayah lembut namun tegas khasnya. Si gadis menautkan alisnya bingung, kenapa tiba-tiba Ayah bertanya seperti itu?
"untuk saat ini tidak ada Ayah," jawabnya setelah terdiam cukup lama, dan tentu saja jawaban itu bohong. Sungguh ia tidak berniat berbohong pada ayahnya itu, namun tidak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, merasakan ini saja ia sudah merasa sangat salah dan berdosa, apalagi berkata jujur tentang isi hatinya.
"Syukurlah kalau begitu, pulanglah nak, kami sangat merindukanmu..." terutama dia sambungnya dalam hati.
"Ayah juga sudah menyiapkan seseorang di sini untukmu, dia orang yang menurut ayah jodoh terbaik untukmu." Sungguh mendengar ucapan sang ayah gadis itu tak tau harus merespon bagaimana.
Dadanya sesak, mungkin ini jalan terbaik dari Allah untuknya, mungkin ini saatnya ia benar-benar mengikhlaskan perasaannya. Perasaan ini sejak awal memang salah, namun ia juga tak berdaya untuk menghentikan rasa yang kian hari semakin tumbuh itu. Meskipun jarak mereka terpisah jauh, meski mungkin saja orang itu tak akan pernah memikirkannya bahkan mungkin sudah melupakannya. Perasaan itu terus tumbuh meski ia tau si yang dicinta tidak akan pernah membalas dengan cinta.
"Nak, kamu baik-baik saja kan?" terdengar suara khawatir sang ayah membuatnya berusaha menetralkan suara, agar ayahnya tak tau kalau saat ini air mata sudah mengalir deras melewati pipinya.
"I. ..iya Ayah, aku nggak apa-apa, kok. Ya sudah, Nafisa mau mempersiapkan yang akan Nafisa bawa besok dulu ya Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." saat itu juga isakan kecil terdengar di kamar bernuansa ungu tersebut.