Empat (Masa Putih Abu-abu)

1199 Words
Bel istirahat berbunyi, tanpa menunggu persetujuan Nafisa, Hawa langsung menggeretnya menuju kantin. Katanya biar mereka mendapat tempat duduk dan Nafisa bisa bercerita dengan tenang. Maklum saja, setiap jam istirahat Kantin begitu penuh dengan Siswa dan Siswi SMA ini. Kalau nggak bertindak cepat mencari bangku, maka dipastikan kalian akan menahan rasa lapar atau harus rela menghabiskan makanan dengan posisi berdiri. Selesai memesan makanan, mereka langsung mencari tempat yang kosong, ternyata benar kata Hawa, hampir saja mereka tidak mendapatkan tempat duduk karena saking banyaknya siswa di kantin. "Cepat ceritain gimana kronologisnya kejadian tadi," desak Hawa tak sabaran. Nafisa hanya mampu menghela nafas dan mulai menceritakan kenapa ia bisa bersama dengan si Aditya-Aditya itu dengan tak semangat, berbanding terbalik dengan ekspresi Hawa yang mendengar ceritanya dengan mata berbinar, seakan-akan pria yang bernama Aditya itu adalah artis yang namanya tengah naik daun. "Astaga, kak Aditya sweet banget sih," kagum Hawa dengan mata berbinar-binar membayangkan sikap Aditya ke Nafisa. "sweet dimananya sih Hawa? Yang ada dia malah bikin aku makin terlambat tau nggak! Ya meskipun dia nyelamatin aku juga sih," balas Nafisa sedikit malas mengakui kalimat yang terakhir. "Nafisa sayang, asal kamu tau Yah, nih biar aku jelasin! Pertama, dia manggil kamu, kan dan buat kamu makin terlambat masuk?" tanya Hawa. Nafisa hanya mengangguk. " Pisa sayang, kamu taukan hari ini itu guru jaganya bu Lidya, nah, Bu Lidya itu kan suka banget nunggu siswa terlambat di depan gerbang buat di suruh bersihin toilet belakang yang letaknya di samping gudang, toilet yang benar-benar kotor dan baunya nauzubillah itu. Kalau Kak Aditya nggak manggil kamu, otomatis kamu masih mendapati tuh guru killer di depan gerbang dan dapat dipastikan kamu bakalan jadi mangsanya, bahkan jadi mangsa para bad boy yang suka ngebully dan ngerokok di lokasi dekat gudang." Hawa menjelaskan panjang lebar dan penuh semangat. Nafisa seketika bergidik ngeri mendengar hukuman yang akan ia dapatkan jika ia tidak ditahan oleh Aditya tadi. Apalagi mendengar kata Hawa, menjadi santapan para bad boy itu. hiiiih, amit-amit! Itu sungguhhal yang sangat menakutkan bagi Nafisa. "Nah, yang ke-dua. Kak Aditya itu nyelamatin kamu dari si Satpam sekolah, kalau Satpam itu tau kamu terlambat, dapat dipastikan dia bakalan nganterin kamu ke Bu Lidya. Terus yang ke-tiga, Kak Aditya rela ngantarin bahkan nungguin kamu buat masuk kelas agar jika ada guru dia bakalan bantu jelasin. Nah, KURANG SO SWEET APA COBA DIA!" teriak Hawa diakhir kalimatnya yang mendapat banyak pandangan sinis dari penghuni kantin. Sedangkan Nafisa tidak mempedulikan Hawa yang saat ini menoleh kiri kanan untuk meminta maaf dengan wajah malunya. Saat ini Nafisa hanya memikirkan semua yang dikatakan Hawa. Ya, semua itu memang benar, Aditya menyelamatkannya hari ini. Nafisa sudah bertekad akan berterimakasih pada Aditya nanti. ??? Nafisa membaringkan tubuhnya di atas ranjang tempat tidurnya. Semenjak Hawa menjelaskan siapa Kak Aditya sebenarnya ia menjadi sedikit penasaran. Kata Hawa, kak Aditya itu ketua ekskul Rohis, juga wakil Ketua OSIS. Kata Hawa juga dia atlet panah dan sudah beberapa kali memenangi lomba, meskipun bukan dia ketuanya, karena dia lebih mendahulukan Rohis. Terus dia juga ikut ekskul bela diri. Itu semua 'kata Hawa, ya. Tapi hanya Satu kata yang terlintas di fikiran Nafisa, 'keren'. Menurut penjelasan Hawa juga, Aditya itu sifatnya susah dijelaskan. Ia sangat menjaga jarak dengan kaum perempuan. Ya kan memang dia anak Rohis, pasti dia tau banyak tentang agama dong. Kalau ada siswi yang menegur sekedar basa-basi maka ia hanya tersenyum dan langsung permisi. Tapi tadi demi Nafisa dia bela-belain bohongin Satpam dan mengantar Nafisa hingga kekelas, itulah yang jadi kebingungan Hawa dan teman-temannya. Dan Nafisa hanya menjawab, "kalian jangan mikir macam-macam dulu, kali aja dia kasihan liat aku dihukum, kan hukuman Bu Lidya itu kejam banget." Teman-temannya pun mengangguk meskipun agak ragu. 'Mungkin saja' batin mereka. ??? Hari ini, Nafisa bangun lebih pagi untuk membuat sarapan. Sang Bunda yang baru menuruni anak tangga terkejut melihat anak bungsunya itu sedang berkutat dengan alat-alat masak. 'Tumben' pikirnya. "Sayang, tumben kamu pagi-pagi udah di dapur aja? biasanya kan habis subuhan langsung molor lagi!" tanya Liana --bunda Nafisa-- dengan heran. "Eh, bunda udah bangun ternyata!" Nafisa malah berucap hal lain tanpa menjawab pertanyaan bundanya. Liana semakin heran dengan si bungsu keluarga Amran itu. "Iya sayang, Bunda udah bangun. Bunda kan bukan kamu, yang hobinya tidur lagi habis subuhan!" ucapnya menyindir Nafisa meskipun hanya bercanda. Nafisa hanya menyengir ke arah Bundanya itu. "Kamu belum jawab loh pertanyaan Bunda, tumben-tumbenan kamu masak sarapan," tanya Liana ke sekian kali karena sangat penasaran. "sekali-kali Bun," ucapnya kelihatan gugup. "bohong ah, pasti ada maunya nih." Liana memicingkan mata, menatap sang anak penuh curiga. Nafisa mencebikkan bibir kesal, "issh, bunda kok suudzon aja ama Nafisa!" ucapnya tak terima. Tangannya terlihat lincah mengaduk wajan berisi nasi goreng di atas kompor itu. Setelah dirasanya sudah pas dan nasinya sudah matang dengan baik, ia mematikan kompor dan mengambil sebuah kotak makan berwarna ungu, dan langsung mengisinya. Liana yang melihat itu semakin bertambah heran, setahunya Nafisa tidak pernah membawa bekal lagi semenjak ia kelas Satu SMP. "Itu kotak makan untuk siapa?" Sungguh pagi ini Liana sangat kepo dengan sikap anaknya yang sungguh berbeda dari hari-hari biasa. "Buat teman aku bunda," jawab Nafisa bohong. Aditya kan bukan temannya, kenalan aja mereka kemarin nggak. "Bohong ih pasti, Bunda nggak percaya! Jangan-jangan ini untuk pacar kamu? iya?" Tuding Liana menatap Nafisa menyelidik. "AYAH, TURUN SINI! NAFISA MULAI PACARAN YAH, DIA MAU BAWAIN BEKAL UNTUK PACARNYA," teriak Liana heboh memanggil sang Suami. Nafisa mengusap wajahnya kasar, astaga Bundanya ini benar-benar. "Ada apa Bunda? ini masih pagi loh, masa Bunda teriak-teriak! Mau bangunin tetangga sekomplek Bun?" Tanya sang Ayah saat menuruni tangga menemui dua Bidadari yang sangat di sayangnya itu. Sebenarnya satu lagi, Aisyah. Tapi saat ini ia sedang melanjutkan pendidikannya di Malaysia. Tawa Nafisa meledak mendengar pertanyaan ayahnya. Benar juga sih, teriakan Bundanya bisa membangunkan tetangga sekomplek. "Isshhh, apaan sih Yah, kok malah ngatain Bunda! Bunda itu mau ngadu kalau anak bungsu kita ini, udah punya pacar dan dia mau bawain bekal tuh buat pacarnya!" adu Liana sambil menunjuk Nafisa dengan dagunya. Nafisa memutar bola mata malas. "Bundaku sayang, Nafisa belum punya pacar, bekal ini Nafisa buat hanya karena Nafisa merasa berhutang budi. Kemarin kan ban motor Nafisa bocor, terus Ayah udah berangkat duluan. Nah, Nafisa terlambat kan! Terus dia nyelamatin Nafisa dari guru kiler di sekolah Nafisa itu Bun. So, nggak apa-apa kan kalau Fisa berterima kasih lewat nasi goreng ini?" Jelas Nafisa panjang lebar, ia takut orang tuanya salah sangka. Kenal aja cuma sebatas nama, masa dibilang pacaran? "Hati-hati, biasanya yang kayak gitu hanya modus sayang," ucap Amran menasehati. Ya bukannya berpikiran buruk, tapi kan laki-laki zaman sekarang lebih banyak modusnya dari pada tulusnya. "Iya Ayah, Fisa tau. Tapi yang satu ini beda Yah. Kata Hawa dia itu ketua Rohis, dan sangat menjaga jarak dari perempuan. Jadi Nafisa yakin kalau dia emang tulus bantuin Fisa, bukan karena modus." "Kok kamu kesannya kayak orang yang sedang ngebelain pacarnya ya?" Tanya Amran dengan jahil, membuat mata Nafisa melotot. "Issh, Ayah. Bukannya belain..." rengeknya. "Iya sayang, iya. Ayah percaya kok! Ayah harap kamu nggak ngejalanin hubungan kayak pacaran atau apalah itu namanya. Ayah cuma nggak mau kamu terjerumus aja, oke?" "Siap Ayah!" sahut Nafisa mendengar nasihat ayahnya. "Anak baik!" Puji Amran membuat Nafisa tersenyum bangga ke arah sang Ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD