" Apakah diammu mengaminkan semua ucapanku? " Dewa mengharapkan jawaban lain dari bibir Sonya.
Sonya tersadar, bahwa Dewa tak akan melepaskannya begitu saja.
Tak ada gunanya bersembunyi dari bocah ingusan ini, sudahlah pasrahkan saja alurnya, toh dia sudah tahu semua, apa gunanya menutupinya, toh dia memilih diam dan tak membeberkan rahasia di tengah keluarganya.
" Dewa, kau sepertinya seorang adik yang baik, Mas Haris patut bersyukur memilikimu Dek..." ucap Sonya akhirnya setelah sekian lama berdebat dengan bathinnya.
Tentu saja jawaban Sonya membuat Dewa mengerutkan dahi dengan wajah penuh harap. Sepertinya dia memiliki harapan tinggi terhadap kalimat yang terucap dari bibir Sonya.
"Maksudmu? " tanyanya sembari menyibakkan halaman buku kedokteran yang berada di tangannya dengan mata terfokus ke dalam buku. Sikapnya membuat Sonya sedikit geram, hingga duduk di sisinya dan menatap wajah Dewa lekat.
Sonya mengangguk perlahan dan tersenyum cerdik menatap sang adik ipar
" Sepertinya, mas Haris merasa beruntung memiliki adik sepertimu, sangat perhatian dengan kakaknya. Tapi, kau tak perlu mengkawatirkan aku. Kehadiranku dalam kehidupan kakakmu tidak akan mencuri sedikitpun harta milik keluargamu. Dan kau tak perlu mengasihani aku. Demi keselamatan keluargaku, aku sanggup melakukan apapun, termasuk jika harus membunuhmu..." bisik Sonya mendekatkan wajahnya kewajah Dewa, sangat dekat hingga nyaris bersentuhan. Dewa tak menyangka jika Sonya seberani itu terhadapnya. Membuat wajahnya merah seketika.
Mampus kau bocah ingusan!
"Apa yang kau lakukan? " ucapnya mengalihkan pandangan kearah lain.
Membuat Sonya tersenyum dalam hati.
Dasar bocah ingusan, mau sok ngancam aku, di gituin aja langsung grogi, kena kan.
"Aku hanya memandangmu lebih dekat, memandang adik ipar sendiri, ya sudah. Sepertinya adikku ingin belajar disini, aku sebaiknya ke kamar dan memberi peluang untuk adikku agar lebih fokus belajar, sebagai dukungan dari kakak ipar..." Sonya mengibaskan tangannya. “Semangat ya belajarnya, adek tersayang…” lanjutnya lalu berjalan menjauh dari Dewa yang masih gelagapan dan memguasai hatinya.
Jantungnya berdegub kencang hingga membuat keringatnya mengalir deras.
Ada apa denganku, mengapa wanita itu begitu berani terhadapku. Apa yang aku pikirkan! Sadar Dewa!
Dewa menggelengkan kepalanya, sembari menghela nafas panjang. Adegan yang baru saja membuatnya merasa gerah, hingga Dewa memutuskan memasuki rumah, lalu berjalan menuju kamarnya.
Sesampainya di kamar Dewa menghempaskan tubuhnya dengan kasar keatas kasur empuk sembari mendengkus kesal, melempar buku pelajaran yang di bacanya ke sembarang tempat.
“Sial! Berani sekali dia memperlakukanku seperti itu? Bagaimana mungkin aku jadi merasa tidak nyaman seperti ini? Apa yang terjadi denganku? Heii…ayolah Dewa, kau adalah pria cool yang menggemaskan di kampus. Jangan becanda seperti ini. Fakultas kedokteran akulah pria paling di idamkan!”
Dewa bangkit dari rebahnya dan berjalan menuju kamar mandi, lalu mengguyur kepalanya dengan kesal.
~||~
Tiga bulan berlalu dari kejadian itu, Sonya bersikap biasa saja seolah tak terjadi apapun. Berbeda dengan Dewa yang sedikit kaku, seperti hari ini di meja makan pagi itu.
Sonya seperti biasa menyuguhkan makanan untuk di santap sang suami dengan hasil masakannya. Dan seperti biasa Haris menikmati makanan sejak sang istri memasak untuknya.
“Mau request menu apa Mas, untuk makan malam?” tanya Sonya seperti biasa berbasa-basi kepada sang suami karena bosan menghadapi pria dingin di hadapannya.
Meski telah hitungan bulan hidup bersama sebagai sepasang suami istri, tapi sikap Haris masih kaku dan angkuh.
Hanya saja, karena sang ibu sangat menyukai Haris, membuat Sonya merasa berterimakasih karena telah membuat sang ibu memiliki semangat baru. Sehingga dirinya tetap bersikap baik, walau di lubuk hatinya masih belum memiliki rasa untuk sang suami.
Haris menghentikan aktivitasnya sejenak lalu menjawab “Tidak, aku tidak makan di rumah, aku banyak kerjaan di kantor, masak saja sesukamu…” jawabnya dingin sembari terus menikmati menu di piring.
“Saus tiram kepiting buatan kamu lumayan enak, Sonya. Boleh tuh buat nanti malam…” celetuk Dewa menimpali sembari duduk di meja makan dengan pakaian rapi seperti biasa hendak ke kampus.
“Jaga bicaramu, Dewa!” seru Haris sembari mengelap bibirnya dengan sapu tangan.
“Hmm…karna mas Haris tidak makan di rumah, maka aku memutuskan untuk tidak masak, dan seperti biasa menu aku serahkan ke koki rumah ini…” celetuk Sonya sembari tersenyum mengejek kearah Dewa yang menatapnya tajam.
Sonya tak ingin menambah beban hidupnya dengan memikirkan sikap kedua kakak beradik itu terhadapnya, dia memutuskan untuk tidak mengambil peran teraniaya. Tapi menikmati peran. Ya, dirinya memilih menikmati peran sebagai Nyonya Haris, di banding wanita teraniaya yang di paksa menikahi calon keponakan.
“Jadi pilih kasih nih, yang di tawarin cuma kak Haris?” sindir Dewa menatap kearah Sonya.
Sonya memilih mengabaikan dan mengangkat piring kotor ke belakang, meskipun beberapa asisten rumah tangganya melerainya, tapi Sonya sedikit keras kepala.
“Mbok! Jangan sampai Sonya yang mengangkat piring seperti itu!” ucap Haris tajam pada pembantunya yang tengah berdiri disana.
“Baik, tuan Muda!”
Sontak saja sang pembantu terlihat ketakutan.
“Aku yang mau, Mas. Bukan salah mereka…” jawab Sonya sembari mendekat kearah sang suami.
“Kalau kamu kurang kerjaan, aku akan memberimu pekerjaan!” gertak Haris lagi sembari mengancingkan lengan bajunya.
“Bukan begitu, Mas…” jawab Sonya merasa tidak enak.
“Apa, yang bukan begitu? Sini kamu!” ucap Haris menarik tangan Sonya hingga meringis berjalan meninggalkan meja makan.
Dewa melihat adegan kehidupan rumah tangga sang kakak, langsung berdiri.
“Kak Haris, gak perlu terlalu keras gitu. Sonya cuma pengen ngelakuin selayaknya seorang wanita saja. Wajar sih…”
Kalimat sang adik membuat Haris menoleh, dan menatap tajam sang adik.
“Tau apa kamu tentang rumah tangga, hah? Kuliah yang bener. Dapetin nilai tertinggi. Gak usah ikut campur urusan orang dewasa!” gertak Haris menatap tajam sang adik.
Sonya meringis kesakitan karena pergelangan tangannya di genggam erat oleh pria di hadapannya.
“Sudah, Mas. Jangan ribut-ribut masih pagi, gak baik…” jawabnya sembari menahan sakit.
“Ogh! Kamu besar kepala kamu di dukung bocah ingusan itu, hah?” gertak Haris berbisik tepat di telinga Sonya.
Ni orang benernya kenapa sih? Kesurupan apa? Plin-plan banget orangnya, semenit baik sejam kumat, tar baik lagi trus kumat lagi, sampai aku bingung. Kayak ga puas ama kehidupannya atau merutuki hidupnya. Lah yang mau nikah dulu bukannya dia? Yang maksain juga dia, trus kenapa dia yang terbebani. Kan udah lebih dari sebulan, kalau dia mau gugat cerai juga sebenarnya gak masalah. Aku juga tak berharap hidup di perlakukan bak ratu seperti di rumah ini, semua telah di sediakan, bahkan mengangkat piringpun aku kena marah! Ahh dasar kelainan suami yang satu ini.
Sonya mengibaskan tangannya tiba-tiba membuat Haris terkejut dan mengejarnya yang berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
“Kok jadi kamu yang marah?” tanya Haris sembari menutup pintu kamar.
Sonya hanya diam dan duduk di sofa di dalam kamar sembari menyalakan siaran televisi kesukaannya pagi ini.
“Kamu gak nyiapin perlengkapanku ke kantor?” tanya Haris menatap heran kearah sang istri yang justru duduk santai memegangi remote televisi.
“Kan semua ada di lemari, Mas Haris punya tangan bukan?” jawabnya tanpa menoleh kearahnya sedikitpun membuatnya mengerutkan dahi.
“Biasanya kamu yang nyiapin. Aku terburu-buru jangan ngajak becanda pagi-pagi, aku mau mimpin meeting pagi ini, mengenai pembagian deviden!” gertak Haris dengan suara sedikit meninggi.
Sonya bukannya berdiri, justru dirinya merebahkan tubuhnya ke atas sofa dan meluruskan kakinya.
“Ohh—, yaudah hati-hati ya Mas. Semangat kerjanya…” jawabnya singkat tanpa ekspersi dan tanpa menolah sedikitpun kearah sang suami seperti biasa dirinya akan mengambil langkah seribu, tapi karen hari ini dia kesal, melihat sang suami memarahi pembantu hanya karena dirinya mengangkat piring kotor.
“Ambilkn perlengkapanku…” pintanya lagi sembari mengalihkan pandangannya karena dia merasa risih mengucapkan kalimat itu kepada sang istri.
“Minta tolong asisten aja, Mas. Kesian udah di gaji gede gak ada pekerjaan lagi, mana mereka rame, pasti boring tuh!” jawab Sonya masih tak bergeming.
Aksi sang istri membuat Haris kesal sekaligus menyadari kesalahannya.
“Kamu marah karena aku memarahimu di depan mereka? Aku hanya mengajari mereka untuk tidak malas…” Haris berkilah.
“Dih! Ngapain juga marah, Mas. Cuma nguras energi, mending aku santai gini. Rebahan menikmati hari…” jawabnya lagi santai.
“Aku cuma gak mau kamu kelelahan aja, di tambah Dewa akhir-akhir ini aku perhatikan semakin semena-mena kepadamu…” jawab Haris hingga membuat Sonya mengerutkan dahi. “Aku tidak terima dia bersikap seperti itu padamu…”
Hah? Aku gak lagi mimpi atau kesurupan bukan, denger kalimat dari si jutek di belakangku ini? Dia peduli padaku. Sumpe lo?! Dalam rangka apa? Mungkinkah setan-setan dalam tubuhnya mulai jenuh menghuni di dalamnya dan akhirnya resign? Oke baiklah, kalau begitu…
Sonya bangkit dari rebahannya lalu berjalan menuju lemari dan mengambil dasi yang senada dengan baju yang di kenakan sang suami.
Lalu memasangkannya seperti biasa, meski enggan. Sepertinya Haris terbiasa dengan perlakuan Sonya selama beberapa bulan kebersamaan mereka.
“Aku minta maaf kalau aku memperlakukanmu kasar di depan umum seperti tadi, ya? Aku akan memperbaiki diri…” ucapnya sembari menatap wajah datar sang istri.
“Gak masalah kalau kau memarahiku, Mas. Aku tidak keberatan. Aku cuma kurang senang kamu bersikap kasar pada orang tua. Lagin itu bukan salah mereka, akunya yang bandel karena aku merasa itu hal ringan dan aku sudah terbiasa dengan itu…”
Haris menghela nafas perlahan, lalu mengangguk.
“Baiklah akan aku perhatikan sikapku. Aku hanya tidak mau kau kelelahan saja, aku tidak mau di anggap sebagai suami yang tidak becus memperlakukan istri…”
Sonya menghela nafas panjang.
Gak gitu caranya Bambaaaang…istri itu kaga kudu di kasih kemewahan, dengan kamu gak cemberut trus wajah damai aja aku udah seneng, ga perlu harus memperlakukanku bak puteri raja, aku bosen di rumah tanpa kegiatan…
“Yasudah, sekarang saatnya kamu berangkat, Mas. Semoga lancar ya pekerjaannya…” ucap Sonya sembari menyodorkan tas kerja sang suami dan jas yang akan di kenakan.
“Tar lagi aja, tunggu Dewa berangkat duluan…”
Sontak Sonya membulatkan matanya dengan indah, terpancar kecantikan sempurna bak dewi, kecantikan alami yang datang dari hati. Dia merasa heran melihat keanehan sang suami yang terjadi hari ini.