DAT | Menghindar

1085 Words
"Asm-" "Maaf, Pak. Asma mau bawa Dika berjemur di luar." Asma dengan cepat menyela ucapan Basuki. Gadis itu dengan tergesa membawa adik tirinya keluar menuju teras rumah. Basuki menghembuskan napas berat melihat sikap Asma pagi ini. Pria itu mengusap wajahnya kasar dengan raut lesu. Setelah kejadian tadi malam dimana dirinya lepas kendali dan berakhir mencium Asma, gadis itu seperti menjaga jarak darinya. Beberapa kali dia berusaha mengajaknya berbicara. Namun Asma akan menjawabnya dengan cepat dan buru-buru pergi. Ini semua memang salahnya hingga membuat Asma bersikap demikian. Jika dia bisa mengendalikan dirinya, semua ini tidak akan terjadi. "Sial. Dia mengabaikan aku karena kejadian semalam." gumam Basuki merasa kesal pada dirinya sendiri. Beberapa kali dia meremas rambutnya dengan raut frustasi. Percayalah, diabaikan seperti ini rasanya benar-benar tidak mengenakkan. Menghela napas berat, iris gelapnya beralih menatap sosok Asma yang tengah menjemur putranya di teras rumah. Tatapannya berubah sendu saat melihat begitu tulusnya gadis itu merawat Dika. Basuki mendengus kasar karena kebodohan yang dia perbuat. Tidak seharusnya dia melakukan hal itu pada Asma. Apalagi dengan status mereka sebagai ayah dan anak sambung. "Sepertinya apa yang aku lakukan tadi malam memang benar-benar kelewat batas." gumamnya mendesah berat. Sekali lagi iris gelapnya kembali menatap sosok Asma yang tengah memunggunginya. Basuki akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Bersiap untuk pergi ke sawah miliknya. Jika dibandingkan dengan mendiang Ranti, Basuki merupakan sosok anak yang cukup beruntung. Orang tuanya memiliki beberapa petak sawah dan ladang. Yang setiap tahunnya mendapatkan panen yang melimpah. Basuki memang tidak bekerja di kota atau pun di pabrik. Hanya menggarap sawah dan ladang peninggalan orang tuanya, cukup untuk dijadikan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Hal itulah yang sering membuat iri teman-teman sebayanya. Beberapa menit kemudian, Basuki keluar dari kamarnya dengan kaos oblong lusuh. Warnanya sudah pudar dan terlihat kumal. Namun tetap dipakai olehnya karena pakaian itulah yang sehari-hari dia pakai ketika ke sawah. Dengan sepuntung rokok yang terselip di sela jarinya, Basuki berjalan menuju luar rumah untuk menghampiri Asma. Pria itu sadar jika Asma sedang berusaha menghindar darinya. Namun Basuki berusaha memasang muka tebalnya. Dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. "Ma.. " panggil Basuki sembari memasang topi yang semula dia jinjing. Asma tak bersuara, namun dengan enggan dia menatap bapaknya. Basuki menggigit pipi dalamnya menahan rasa malunya. Dia menatap wajah bersih Asma yang dihiasi warna merah di kedua pipinya. Yang justru terlihat begitu lucu di mata pria itu. "Bapak mau pergi melihat kondisi sawah. Kamu tidak apa-apa kan Bapak tinggal?" tanya Basuki hati-hati. Asma terdengar bergumam, namun Basuki tak dapat mendengarnya dengan jelas. Sebagai gantinya, gadis itu menggeleng ringan dan buru-buru memutus kontak mata di antara mereka. Basuki mengangguk dan beralih menatap putra kecilnya. Tanpa rasa canggung, dia menciumi pipi gembul Dika dengan gemas. Tanpa menyadari seorang gadis yang terkesiap dan menahan napas karena jarak mereka yang begitu dekat. Napas Asma tercekat dengan tubuh yang berubah menegang. Gadis itu buru-buru membuang wajahnya ke arah lain saat Basuki kembali menegakkan kepalanya. "Jaga diri baik-baik di rumah. Kalau perlu kunci saja pintunya dari dalam." kata Basuki kembali bersuara, yang diangguki oleh Asma. "Bapak berangkat ya." pamit Basuki sembari mengusap puncak kepala Asma seperti biasanya. Yang kali ini terasa berbeda karena apa yang telah terjadi di antara mereka semalam. || Asma menghela napas pelan melihat sosok Basuki telah menjauh dengan motor bututnya. Pikirannya berkecamuk begitu mengingat kejadian semalam. Gadis itu masih dapat mengingat jelas apa yang dilakukan Basuki padanya. Berawal dari membantunya pumping dan berujung dengan ciuman. Asma benar-benar terkejut saat Basuki tiba-tiba menciumnya. Dan parahnya lagi dia tidak menolak saat pria itu melakukannya. Sepertinya dia benar-benar syok karena mendapat serangan tersebut. Wajah Asma kembali memanas mengingat ciuman lembut yang Basuki berikan padanya. Dan entah sejak kapan dia sudah berpindah di atas pangkuan pria itu. Ketika ciuman Basuki semakin memanas dan tangannya mulai menjalar kemana-mana, saat itulah Asma tersadar dan mendorong pria itu. Tanpa sepatah kata, Asma pergi meninggalkan Basuki yang tengah mematung, berusaha mencerna apa yang telah terjadi. "Kenapa sih Asma diem aja waktu dicium Bapak?" kesal Asma pada dirinya sendiri. Iris beningnya menatap wajah Dika dengan raut memberengut. "Dik, Bapak kamu nakal banget sih. Main cium Mbak Asma aja." Asma melampiaskan unek-uneknya pada bayi mungil yang belum bisa berbicara itu. Asma menghela napas gusar dan terlihat lesu. Sejak pagi tadi dia berusaha keras untuk menghindari Basuki. Dia masih bingung harus bersikap seperti apa pada pria itu. Namun mengingat akan sikap Basuki tadi, pria itu justru bersikap seperti biasanya. Dia juga tidak mengungkit apa yang telah terjadi di antara mereka semalam. "Bener juga. Tadi Bapak juga keliatan biasa aja. Apa jangan-jangan aku aja yang..." "Pagi, Dik Asma." sapa sebuah suara yang membuat gumaman Asma terputus. Gadis itu menoleh, saat seseorang menyapa dirinya. Raut wajah Asma seketika berubah masam dan terlihat tidak nyaman. "Mas Bani." gumam Asma pelan. Pemuda yang dipanggil Bani itu tersenyum manis dan berjalan mendekati Asma. "Lagi jemur Dika, ya?" tanya Bani ramah. Namun Asma sadar jika bukan sikap pemuda itu saja yang ramah. Mata Bani juga ramah karena jelalatan menatap tubuhnya secara terang-terangan. "Iya." jawab Asma singkat sembari mundur perlahan. Dia bersikap seolah tengah menimang Dika yang terlihat anteng-anteng saja. "Kamu udah sarapan belum, Dik?" tanya Bani lagi. Asma mendengus pelan tanpa suara. Dia benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran pemuda itu. Kini dia mulai menyesal karena tidak langsung menuruti nasihat Basuki agar mengunci pintu rumahnya. Sehingga dia justru harus berhadapan dengan pemuda di desanya yang terkenal m***m. "Udah, Mas." jawab Asma terdengar ketus. Bani tertawa kecil mendengar nada ketus Asma. Bukannya merasa kesal, dia justru semakin ingin menggoda gadis itu. Sudah lama Bani tertarik pada Asma. Sejak gadis itu masih berada di bangku SMA. Dulu mereka cukup dekat karena beberapa kali pulang bersama. Usia Bani dan Asma hanya berbeda dua tahun saja. Keduanya bersekolah di sekolah yang sama. Kala itu Asma duduk di kelas sepuluh. Sedangkan Bani sudah berada di bangku akhir SMA. Rumah mereka hanya berbeda gang saja. Sehingga tak jarang Bani menawarkan diri untuk mengantar Asma pulang. Asma mulai merasa tidak nyaman pada pemuda itu karena desas-desus yang beredar di lingkungan tempat tinggalnya. Dimana katanya Bani beberapa kali keluar masuk penjara karena kasus penganiayaan pada wanita. "Lucu banget sih adik kamu." ujar Bani hendak menjawil pipi Dika. Namun dengan cepat Asma mundur menciptakan jarak yang cukup membentang di antara mereka. "Dika kayanya ngantuk. Asma bawa masuk dulu ya, Mas." kata Asma gugup dan segera masuk ke dalam rumahnya. Tak lupa dia juga mengunci pintunya rapat-rapat. "Ya Tuhan, Asma bener-bener takut." desah Asma memegangi dadanya yang berdetak dengan cepat karena takut dengan sosok Bani. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD