Lagu yang Sesuai?

1267 Words
10.02 malam. Pandanganku teralihkan pada gumpalan air hujan 12 menit lalu yang kini terjun bebas sampai ke bingkai bagian bawah jendela kamar hotel, gambar gadis kecil yang tertera di jendala kamar hotel nampak sudah sedikit pudar. Teng... teng... Bel kamarku berbunyi, sepertinya coklat panas yang kupesan 17 menit yang lalu sudah datang. Seorang pelayan wanita berseragam coklat merah mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum padaku. "Dengan Nona Hana?" Dia berbicara dengan bahasa Inggris yang sangat lancar. Aku mengangguk, membalas senyumannya. "Ini pesanan coklat panas Nona, apa coklatnya masih perlu?" Senyum wanita berseragam coklat merah itu masih belum pudar. Aku mengernyitkan keningku atas pertanyaan pelayan wanita itu. Menyadari ekspresiku, pelayan wanita berseragam coklat merah itu menjelaskan maksud dari pertanyaannya tadi, "Pesanan Anda sudah selesai 15 menit yang lalu Nona, tapi karena pelayan kami tanpa sengaja menumpahkan coklat panas pesanan Anda kepakaian salah seorang pengunjung hotel, akhirnya kami menyelesaikan dulu masalah dengan pengunjung yang penuh tamperamen itu, kami jadi melupakan pesanan Anda. Mohon maaf atas kelalaian dan keterlambatan kami Nona." Pelayan itu membungkukkan badannya sesuai dengan derajat sudut segitiga siku-siku, "hujan telah berhenti 12 menit yang lalu, jadi saya pikir Anda tidak membutuhkan coklat panas ini lagi Nona." Aku meraih gelas coklat panas yang ada di atas baki dalam genggaman pelayan itu, "Tidak masalah Nona, aku masih membutuhkan coklat panas ini. Terima kasih sudah mengantarnya ke kamarku." Aku tersenyum tipis dan langsung menutup pintu kamar. Saat menutup pintu kamar, sekilas aku melihat pelayan tadi bernafas lega. Aku hanya tersenyum tipis, dan kembali pada posisiku tadi, di balik kaca jendela, menatap pemandangan di luar sana. Salah satu kapal yang ada di atas air Sungai Charles bergerak, aku menyadari pergerakan kapal dalam jarak 500 meter lebih ini karena melihat cahaya lampunya yang menjauh memasuki bagian pertengahan sungai, tak berapa lama kemudian, kapal lainnya menyusul. Aku menyeruput coklat panasku, sambil memandangi 3 kapal yang tersisa. Jam dinding di hotel sudah menunjukkan pukul 10.05, sepertinya waktuku habis sia-sia karena mendengar penjelasan dari pelayan hotel tadi. Walau hanya 3 menit, tapi itu sangat berharga untuk melanjutkan nostalgia, mengenang kembali semua perjalanan hidupku. *** Bel pulang sekolah berbunyi tepat saat ketiga jarum jam berada di angka 12. Kami yang saat ini masih kelas 1 SD memang hanya belajar dari pukul 07.00 sampai 12.00 dengan jeda waktu istirahat 30 menit. Jadi, waktu belajar hanya 5 jam 30 menit. Dodi dengan senyum lebarnya sudah berdiri di sampingku, "Ayo!" ajak Dodi bersemangat. Dengan langkah lemah aku berjalan mengikuti Dodi, jarak rumah kami ke sekolah hanya 300 meter, tidak akan membuat lelah untuk jalan kaki. "Hana! Hana! Sudah ganti seragam aku ke rumah kamu ya? Kita langsung ke lapangan," tanya Dodi dengan antusias. Sepertinya dia sangat menginginkan bermain denganku. Aku tersenyum pada Dodi. Tidak mengangguk dan tidak pula menggelengkan kepalaku. Aku tidak bisa berbohong pada Dodi dengan menganggukkan kepalaku atas ucapannya tadi, karena bagaimana pun aku sudah tidak diperbolehkan pergi main, aku juga tidak bisa menggelengkan kepalaku, karena takut mengecewakan Dodi yang nampak sangat bersemangat. Aku berhenti tepat di depan teras rumah, memperhatikan Dodi yang juga berhenti. "Ada apa?" tanyaku heran pada Dodi. Dodi hanya kembali tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. "Hana! Nanti aku jemput kamu ya!" Dia melambaikan tangannya padaku, berlari kecil menuju rumahnya yang hanya berjarak 15 langkah dari posisi di mana aku berdiri saat ini. Ibu sedang menyapu bagian depan rumah, aku menyalami tangan ibu dan langsung melangkah masuk ke kamarku yang hanya beralaskan tikar, kumpulan plastik menyerupai tali tebal yang membentuk tikar itu sudah banyak keluar dari sulamannya. Aku meletakkan pelan-pelan tasku ke atas tikar, bagaimana pun aku tak ingin tas sekolahku sampai rusak, karena ini hanya tas pemberian tetangga, mana mungkin ayahku sanggup untuk membelinya. Selesai mengganti seragam, aku langsung keluar dari kamar setelah mendengar panggilan Ibu. "Ada apa Bu?" Aku sudah berdiri di depan Ibu yang juga sudah berdiri di depan tirai kamarku. "Tolong kamu cuci piring bekas sarapan kita tadi, sekalian sapu kamar kamu. Ibu mau ke pasar dulu beli sayur untuk makan siang." Ibu menyodorkan sapu yang dipegangnya tadi padaku, aku menganggukan kepala dan meraih sapu yang disodorkan ibu tadi. Langkah wanita paruh baya itu terdengar cukup jelas ditelingaku, setelah bunyi pintu yang mendesing terdengar di telinga akibat gesekan engsel pintu yang berkarat, punggung ibu sudah tidak nampak lagi. Aku langsung menyapu kamar dan mencuci piring. Belum selesai membilas piring, sorakan Dodi di depan sudah terdengar, menggema-gema di kepalaku. Aku membilas piring dengan cepat, meletakkan piring-piring tersebut ke raknya dengan cepat pula. Krieet... Dodi tersenyum melambai padaku, pakaian yang dikenakan Dodi hari ini adalah pakaian yang tak pernah aku lihat sebelumnya, sepertinya Dodi dapat kiriman baju baru lagi dari papanya. Keluargaku dan keluarga Dodi walau bertetanggaan, kehidupan keluarga kami berbeda 180°. Papa Dodi adalah seorang pengusaha pakaian di kota besar, sedangkan ayahku hanya seorang tukang ojek dengan motor butut. Mama Dodi adalah kepala sekolah tempat aku dan Dodi bersekolah saat ini, sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa, kakek Dodi juga merupakan kepala kampung di sini. Walaupun begitu, aku dan Dodi berteman bukan karena memandang status ataupun ekonomi keluarga. Mungkin saat ini kami masih anak-anak, jadi tidak terlalu mengerti tentang pertemanan. Namun bukankah berteman tanpa memandang tinggi rendahnya status teman kita itu lebih indah dan menyenangkan? Begitu pikiran masa kanak-kanakku dulu. "Hana! Ayo ke lapangan!" ajak Dodi, matanya nampak berbinar-binar, menanti aku melangkah pergi bersamanya kelapangan. "Maaf Dodi, aku harus menjaga rumah, ayah sama ibuku sedang di luar." Aku menundukkan pandangan, kecewa. Raut mata berbinar-binarnya tadi berubah, Dodi nampak sangat kecewa. "Yah... biasanya rumah kamu juga kosong, gak ada yang jaga kan? Kenapa sekarang harus dijaga sih?" Tepat setelah Dodi mengakhiri kalimat pertanyaan pertamanya, ayahku sudah pulang dengan motor bututnya, bunyi motor butut ayah yang seperti bebek kejepit sudah hafal dalam kepalaku. Ayah menatap Dodi lamat-lamat, "Mau ngapain kamu?" Ayah bertanya padaku, tatapannya seperti mau menyuruhku masuk ke dalam. Dodi dihiraukan, dianggap tidak ada. "Maaf Dodi, aku mau istirahat." Aku langsung melangkah masuk ke dalam rumah dengan cepat, meninggalkan ayah dan Dodi yang kini berdua saja di depan, hanya terdengar samar-samar suara ayahku, tidak tau apa yang sedang mereka bicarakan. *** Aku kembali menyeruput coklat panasku. Salah satu dari 3 kapal yang tersisa di atas Sungai Charles itu bergerak menjauh ke dasar, menuju pertengahan. Aku meraih ponselku yang ada di atas meja, tepat di samping tempatku berdiri saat ini. Aku memutar lagu dari D'Masiv dengan judul 'Esok Kan Bahagia' entah kenapa hari ini aku tertarik dengan lagu ini. 'Kesedihan hari ini bisa saja jadi bahagia' lirik pertama dari lagu ini sama seperti kisahku. Kesedihan yang menjadi awal dari semua perjuanganku sampai menjadi seperti sekarang ini, tapi apakah saat ini aku sudah bahagia? Aku rasa tidak. Karena aku tidak menemukan Omar di sini, aku tidak menemukan apa yang aku cari, karena aku ayah berpulang, karena aku ibuku semakin kurus kering, dan kini aku malah pergi meninggalkan beliau demi bertemu laki-laki yang aku cintai? Hahaha. Apakah aku ini termasuk anak durhaka? Iya, karena kedurhakaanku sudah dimulai sejak aku melanggar janji untuk bermain 2 jam saja dengan orangtuaku. Kalimat dalam lagu itu masih terus berlanjut, bersenandung ria memecah keheningan di kamar hotelku saat ini. Salah satu kapal yang menjauh dari dasar Sungai Charles tadi kini sudah tidak nampak cahaya lampunya. Kapal kedua juga sudah berlayar menjauh dari dasar sungai, aku tidak tau kapan kapal itu mulai bergerak, karena pikiran dan mataku tadi sempat beralih ke lirik lagu yang ada di layar ponselku, sekarang hanya tersisa satu kapal di dasar Sungai Charles yang masih mengeluarkan cahaya lampunya, kapal itu sama sekali belum bergerak untuk menyusul kapal-kapal lainnya yang sudah berlayar beberapa menit yang lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD