Kondisi Keluargaku

1325 Words
10.09 malam. Aku bergerak mendekat ke sisi belakang ranjang kamar hotel, meraih remot AC. Suhu AC dalam ruangan ini terasa semakin panas, aku memilih untuk mematikan AC dari pada menurunkan suhunya. Aku kembali ke sisi jendela kamar hotel, masih menatap pemandangan malam di luar sana, seraya menunggu gerakan kapal yang tersisa. Gambar gadis kecil yang ada di jendela nampak samar dari sebelumnya, coretan dari uap itu memudar amat cepat dari dugaanku. *** Esok paginya aku kembali bertemu dengan Dodi di sekolah, tak ada dialog sama sekali, Dodi tidak lagi memulai obrolan denganku seperti biasanya, aku pun tak tau harus memulai dengan kalimat apa. Suasana hati ini canggung. Saat pulang sekolah, seperti biasanya Dodi akan selalu menungguku, dan kini dia tetap menungguku walau tau ada obrolan sama sekali dari tadi. Dodi menyunggingkan senyumnya padaku, "Ayo kita pulang bareng Hana!" Dodi berseru semangat, seperti Dodi yang biasanya. Aku mengangguk pelan, canggung. Tak ada obrolan sama sekali sampai kami berhenti tepat di depan rumahku. "Hana, besok kita pulang bareng lagi ya!" Dodi melambaikan tangan, pergi meninggalkanku menuju rumahnya dalam jarak 15 kaki. Aku mengangguk pelan, langsung melangkah masuk ke rumah. Setiap pagi Dodi akan berangkat ke sekolah bersama mamanya, yang merupakan kepala sekolah di SD kami dengan motor mereka, sedangkan aku hanya berjalan kaki ke sekolah. Karena itu aku dan Dodi tidak pernah berangkat bersama ke sekolah. Aku langsung merebahkan tubuhku ke atas tikar dalam kamar, karena tidak ada kesibukan akhirnya aku memulai mempelajari ulang materi hari ini, walau PR dari sekolah hari ini sedang tidak ada. Aku ingin bermain, tapi tak mungkin. Ayah pasti akan melayangkan ikat pinggangnya lagi padaku. Karena aku adalah orang yang lupa waktu, dan suka menikmati kesenangan lama-lama. Esoknya aku ke perpustakaan sekolah, meminjam buku pelajaran kelas 2, pengawas di perpustakaan nampak heran kenapa aku yang murid kelas 1 sampai meminjam buku kelas 2, namun dia memilih bungkam dan memberi stempel pada kartu anggotaku. oOo 2 Minggu penuh aku sudah selesai membaca semua pelajaran kelas 2, aku bosan. Ayah dan ibu juga tidak ada di rumah, ayah sedang mengantar ibu ke pasar. Aku menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul 10.30, untuk kedua kalinya aku melanggar janji dengan ayah, aku memilih pergi keluar, bermain. Aku bersorak memanggil nama Dodi di depan rumah besar yang ada di sebelah rumahku. Tak berapa lama kemudian Dodi keluar dari rumah dengan ekspresi terkejut. "Main yuk!" ajakku. Dodi diam sejenak, dia menolehkan kepalanya melirik rumahku. "Kenapa?" tanyaku heran. Dodi kembali kaget, "Tidak apa-apa, mau main di lapangan?" tanya Dodi langsung aku angguki. Dodi bersorak pada asistem rumah tangganya yang ada di dalam rumah, setelah itu dia menutup pintu. Kami langsung berjalan menuju lapangan dengan riang. Teman-teman yang lain juga sudah ada di lapangan, hari ini mereka sedang bermain kejar-kejaran. Aku dan Dodi ikut bergabung, seperti sebelumnya... aku lupa waktu. Senja telah tiba, langit memerah, teman-teman yang lain juga sudah pamit pulang. Aku dan Dodi pun kini sedang melangkah menuju rumah. Sepanjang jalan Dodi menatapku. Aku tidak terlalu menghiraukannya, sampai Dodi memberi pertanyaan padaku. "Hana, apa tidak masalah jika kamu pergi bermain keluar?" Nada bicara Dodi terdengar canggung. Aku menatap Dodi, tersenyum lemah. "Tenang saja, tidak ada masalah kok. Memangnya kenapa? Waktu aku masuk ke rumah beberapa minggu yang lalu, kamu ngomong apa saya ayahku?" Aku bertanya karena penasaran. Dodi menggelengkan kepalanya, sungkan menjawab pertanyaanku. Kami telah sampai di depan rumah Dodi, Dodi melambaikan tangannya padaku, dalam beberapa detik punggung Dodi sudah tidak nampak lagi. Aku pun melanjutkan 15 langkah menuju rumah, motor butut ayahku sudah terparkirkan di halaman rumah kami. Aku menelan ludah, memberanikan diri masuk ke dalam rumah. Pintu kayu yang sudah lapuk dan berlubang itu tidak perlu untuk aku buka, karena ayahku sudah berdiri di sana, berkacak pinggang, memasang wajah sanggar, ditemani ibuku yang berdiri di belakang ayah, kedua sudut bibirnya terangkat, tersenyum sedih. Aku menciumi punggung tangan ayah dan ibu. Ibu langsung berjalan cepat masuk di kamar, sedangkan ayah kini menatapku lamat-lamat. Aku melirik dinding kayu tipis yang ada di sebelah ayah, ikat pinggang untuk mencabukku beberapa minggu yang lalu, kini tergantung di sana. Membuat tubuhku merinding. "Kamu tau kesalahanmu?" Aku menganggukkan kepalaku atas pertanyaan ayah dengan nada suara yang kelam, "kamu tau apa akibat yang kamu terima?" Aku kembali menganggukkan kepala, "sudah siap?" Aku diam. Tidak lagi menjawab pertanyaan ayah. Aku tau maksud pertanyaan terakhir ayah, apa aku sudah siap untuk dicambuk. Begitu. Aku tidak siap. 3 cambukan pertama aku diam, menahan sakit, 6 cambukan selanjutnya aku meringis, dan 1 cambukan terakhir membuat pandanganku jadi samar. Aku jatuh, tergelatak pingsan di atas lantai, aku tidak tau apa yang terjadi setelah itu, yang aku tau setelah sadar aku sudah tergelatak di atas tikar kamarku. Cambukan hari ini lebih menyakitkan dari 10 cambukan sebelumnya, ayah benar-benar marah. Aku melangkah keluar kamar dengan lengan tanganku yang memerah, pinggang dan pahaku yang sakit, cambukan hari ini banyak meninggalkan jejak. Samar-samar aku mendengar suara Dodi dan ayah di depan. Aku hendak ke depan menemui mereka, sekaligus meminta maaf pada ayah, tapi sebelum sempat ibu malah muncul dari belakangku, menahanku sambil menggelengkan kepalanya. Aku tidak boleh menemui mereka, untuk saat ini pastinya. Esoknya di sekolah aku kembali bertemu dengan Dodi, seperti sebelumnya tidak ada dialog sampai bel pulang sekolah berbunyi. "Hana! Nanti aku ke rumahmu ya, kita main Ludo!" ajak Dodi berseru semangat, seperti Dodi yang biasanya. Aku kaget, tak percaya aku bisa bermain lagi, walau hanya di rumah, tapi aku senang bisa bermain. Aku mengangguk dengan cepat, sangat cepat malah. Setelah mengganti seragam sekolah, aku menyapu rumah dulu, membersihkan piring kotor bekas sarapan tadi. Hari ini ibu sudah memiliki pekerjaan, ibu menjadi buruh cuci. Jadi, mulai hari ini pekerjaan rumah aku yang akan menyesaikan. Sorakan Dodi di depan terdengar sampai ke telingaku, aku melangkah keluar dengan girang, sebuah kotak kecil dan sehelai kertas dengan ukuran besar sudah dipeluk Dodi. Aku tersenyum lebar, itu Ludo. Kami bermain ludo selama 1 jam, 1 jam lagi kami habiskan dengan bermain ular tangga, yang ada di belakang tampilan Ludo. Setelah 2 jam puas bermain, Dodi izin pamit ke rumahnya, aku mengangguk, berterima kasih pada Dodi. "Besok kita main lagi ya!" Dodi tersenyum lebar, aku ikut tersenyum. Kebiasaan Dodi yang sering tersenyum ini, entah kenapa memantul padaku. Tepat 10 menit setelah Dodi pulang, ibu juga sudah kembali ke rumah. "Hana, mau makan apa hari ini?" Ibu bertanya dengan nada suara yang lemah padaku, ibu memang selalu seperti ini. Aku hanya tersenyum, bagaimana pun aku sadar kondisi ekonomi keluargaku sendiri, aku tidak akan meminta yang macam-macam. "Seterah Ibu saja, yang penting malam ini kita bisa makan." Pupil mata ibu melebar mendengar jawabanku, mungkin ibu terkejut atas jawabanku. Ibu mengelus lembut kepalaku, "Kau anak yang baik Hana, Ibu senang melahirkanmu." Raut mata ibu nampak sedih, ibu mungkin merasa bersalah karena tidak bisa membuatku bahagia dan merasakan kehidupan yang layak seperti anak-anak lainnya. Aku langsung memeluk erat ibu. "Bu, Hana bantuin masak ya?" Aku mengajukan diri, bermanja. Kini ibu tertawa ringan, kembali mengelus kepalaku, "Ayo!" oOo Suasana hati ayah saat ini buruk, terlihat jelas dari ekspresinya saat mengunyah makanan. "Ada apa Yah?" Ibu bertanya pelan, tidak terlalu memperlihatkan ekspresi penasarannya. Ayah langsung menggeleng setelah melirikku, setidaknya kami masih bisa sarapan dan makan malam seperti keluarga lainnya. Aku menyadari ada yang mengganjal dengan ekspresi ayah, apa ayah tidak mendapat penumpang dari tadi? Pertanyaan itu langsung terlintas dalam pikiranku. Setelah selesai mencuci piring bekas makan malam, aku langsung ke kamar, tapi sebelum sampai di kamar, aku mendengar percakapan ayah dan ibu di kamar mereka. "Karena motor Ayah butut, tidak ada penumpang yang mau naik Bu, mereka takut nanti motor ibu mogok, dan hanya akan menghambat waktu mereka." Suara ayah dari dalam sana terdengar sedih. "Hasil jadi buruh cuci, akan ibu tabungkan, agar Ayah bisa membeli motor baru, setidaknya motor yang lebih layak." "Tidak Bu, Ayah tidak ingin merepotkan Ibu. Ayah akan berusaha untuk mencari pemasukan lain." Aku menutup mulut, dan langsung berlari ke kamar dengan hentakan nafas yang tidak teratur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD