Air mata Sasmita tak kunjung mengering. Mata Sasmita yang semakin lama semakin terasa panas, juga selalu basah. Semua luka itu masih terasa sangat kuat dan begitu menyiksa.
Perlahan, Sasmita beranjak dari ringkukannya. Ditatapnya Rarendra yang tidur meringkuk ke arahnya. Sasmita menatap lama, bahkan mengamati setiap lekuk wajah Rarendra dengan saksama. Ia melakukannya lantaran yakin, ini akan menjadi kesempatan terakhirnya menatap pria itu sedekat bahkan sebebas sekarang.
Sasmita tak memungkiri, dirinya sangat menyayangi Rarendra. Karena bagi Sasmita, Rarendra pria yang hangat dan selalu menyikapinya dengan dewasa, membuatnya nyaman dan bahkan sampai melupakan semuanya, tanpa terkecuali beban kehidupan. Rarendra memberikan banyak perhatian kepada Sasmita yang selama ini selalu merasa kesepian.
Selama ini, Sasmita memang diperlakukan berbeda oleh orang tuanya, selain Sasmita yang juga sampai dianggap berbeda dengan Suci yang di mata semuanya, sempurna. Sungguh, tak ada sedikit pun kekurangan dalam diri Suci bahkan ternyata di mata seorang Rarendra selaku laki-laki yang sangat Sasmita cintai.
Sekitar dua jam yang lalu sebelum membimbing sekaligus meyakinkan Sasmita untuk tidur, Rarendra minta maaf. Pria itu berjanji tidak akan memiliki hubungan dengan Suci lagi. Namun karena Rarendra belum bisa membuat mereka sekeluarga duduk bersama untuk membahas apa yang sebenarnya terjadi bahkan meski hanya dalam bentuk janji, Sasmita yang semenjak itu bungkam, memutuskan pergi. Pergi diam-diam tepatnya, agar kehadirannya tak lagi menghalangi apalagi merusak hubungan Rarendra dan Suci lagi.
Setelah menyingkirkan tangan Rarendra dari pinggulnya dengan hati-hati, berikut selimut yang menutupi tubuhnya dan masih selimut yang sama dengan yang menyelimuti Rarendra, Sasmita segera mengambil ransel yang sudah menampung barang-barangnya dan sebelumnya sudah Sasmita siapkan, tapi sempat ditahan oleh Rarendra.
****
Hujan masih menyisakan rintik gerimis menemani gelapnya malam, di tengah suasana kontrakan yang terbilang sepi, ketika akhirnya Sasmita meninggalkan kontrakan kecil yang sempat digadang-gadang menjadi bagian dari surga hubungannya dengan Rarendra. Memang tidak sepenuhnya sepi, karena meski tidak ada yang melakukan aktivitas di luar layaknya biasa, suara obrolan maupun suara televisi berikut musik yang disetel lirih, masih mewarnai. Mungkin itu terjadi lantaran beberapa jam lalu, hujan mengguyur sangat deras disertai angin kencang bahkan guntur. Kini saja, Sasmita merasakan efek dingin yang sampai menusuk permukaan kulitnya, dari cuaca yang berlangsung.
Sasmita nekat pergi meski rasa takut mengenai apa yang akan terjadi jika ia sampai diserang orang jahat, sempat membuat nyalinya menciut. Namun Sasmita yakin, pergi menjadi satu-satunya keputusan terbaik lantaran luka yang Sasmita rasa jauh lebih besar dari segalanya. Sasmita telanjur terluka. Kepala apalagi pikirannya semakin lama terasa semakin panas. Tanpa terkecuali, dadanya yang terus bergemuruh. Kemarahan berikut kekecewaan yang Sasmita rasa dan mati-matian ditahan, membuat pikiran berikut hatinya seolah akan meledak.
“Kenapa mereka tega?” Masih pertanyaan yang sama dan tak hanya ditujukan kepada Rarendra maupun Suci, melainkan orang tua Sasmita yang dengan santainya membiarkan semuanya terjadi. Bahkan, selain terkesan bahagia, Sarnia juga terkesan sangat merestui hubungan keduanya.
****
“Mita beneran enggak pulang ke rumah?” Rarendra terdiam lemas dan menatap kosong lantai di hadapannya.
Rarendra masih berdiri di bibir pintu kontrakannya yang ia biarkan terbuka sempurna. Sasmita pergi membawa ransel yang sempat Rarendra buang ketika wanita itu nekat pergi dan berhasil Rarendra tahan.
Pagi ini tak ada lagi keceriaan yang menghidupkan suasana kontrakan mereka. Suasana kontrakan mereka benar-benar sepi, mati. Rarendra pikir, Sasmita akan memaafkannya apalagi Sasmita hanya diam dan menunduk. Namun, nyatanya wanita itu lebih memilih pergi meninggalkannya.
“Memangnya kenapa, Mas? Apa, Mita sudah tahu ...?” Dari seberang, suara lembut Suci terdengar tertahan.
Rarendra menghela napas sekenanya. “Ya sudah. Aku mau siap-siap buat berangkat kerja.”
“Mas jangan khawatir,” tahan Suci dan sukses membuat Rarendra tak jadi mengakhiri sambungan telepon mereka.
“Kita sama-sama tahu, Mita seperti apa, Mas. Mita punya banyak teman, selain dia yang juga pandai bergaul. Baru ketemu saja bisa langsung akrab. Mita pasti baik-baik saja.”
“Tapi apa yang kita lakukan memang sudah keterlaluan, Ci. Ya sudah. Aku mau siap-siap.” Rarendra langsung mengakhiri sambungan telepon mereka tanpa kembali mendengar tanggapan Suci.
****
“Sekarang Mas tenang saja. Nanti kalau sudah tenang, Mita pasti pulang. Nanti aku juga bakalan bantu jelasin, kok. Oh, iya. Hari ini, aku sudah siapin Mas bekal makan siang. Gimana kalau kita makan bareng? Nanti biar aku yang ke kantor Mas …?” Baru Suci sadari, sambungan teleponnya dan Rarendra, kelewat sepi. Dan ketika ia memastikan, ternyata sambungannya sudah terputus.
Suci menatap sedih layar ponselnya yang tak lagi dihiasi sambungan telepon dengan Rarendra. Beberapa saat lalu, pria itu menelepon dan membuatnya yang sedang menyiapkan bekal di dapur, girang bukan main. Apalagi semenjak menikahi Sasmita, Rarendra memang tak lagi memiliki banyak waktu khususnya di malam dan pagi hari.
Sarnia yang baru datang ke dapur dan mendapati Suci menyeka air mata menggunakan ujung jilbab yang dikenakan, langsung menatap sang putri tidak tega.
“Ada apa?” tanya Sarnia.
Suci refleks terdiam dan berangsur menatap ke sumber suara. Di hadapannya, Sarnia yang baru memasuki area dapur dengan pintu yang tidak Suci tutup, menatap Suci penuh kekhawatiran.
“Ci …?” Bungkamnya Suci membuat Sarnia semakin khawatir.
“Seharusnya kalian menikah saja,” lanjut Sarnia.
Suci menunduk sedih sambil sesekali menyeka air matanya menggunakan ujung jilbab kuning yang menyempurnakan penampilannya.
Sarnia semakin iba kepada Suci. “Sudah, jangan nangis lagi, Ci. Selama ini, kamu sudah terlalu banyak berkorban. Bahkan Mamah enggak sanggup kalau jadi kamu.”
Suci memberanikan diri untuk menatap sang Mamah. “Mita, gimana, Mah?”
“Urusan Sasmita, biar Mamah yang beresin.” Tak hanya melalui tutur kata, sebab Sarnia juga semakin mendekati Suci dan memberinya pelukan hangat.
***
“Yang benar saja, kamu mau pergi? Kamu masih demam, lho, Ta. Kamu flu parah!”
“Ini bukan sembarang pergi, karena aku mau kerja, Gi. Hari ini, hari kerja pertamaku. Aku bekerja di tempat impian. Aku enggak boleh menyia-nyiakan kesempatan!” Sasmita melangkah tergesa sambil mendekap erat totebag di pundak kanannya meninggalkan sebuah kontrakan yang boleh dibilang jauh lebih bagus dari kontrakan Rarendra.
“Ya sudah … ya sudah, aku antar.” Setengah jengkel, Giani selaku sahabat Sasmita dan masih mengenakan daster batik selutut dan berlengan pendek, bergegas masuk ke kontrakan.
Sasmita yang awalnya sudah buru-buru pergi, refleks berhenti. “Kamu bilang, kamu mau kencan sama Adi?” Ia cukup berseru lantaran Giani yang bertubuh mungil dan berkulit putih bersih, sudah masuk ke kontrakan.
“Adi bahkan akan langsung menyalahkanku, jika sesuatu yang buruk sampai menimpamu!” seru Giani dari dalam dan terdengar mengomel.
Untuk sejenak, Sasmita yang merasa terenyuh dengan perhatian Giani, memang tersenyum. Namun perlahan, ia menunduk menyembunyikan kesedihan yang membuatnya menitikkan air mata. Sungguh, apa yang menimpanya mengenai Rarendra dan Suci, sukses membuatnya menjadi wanita lemah. Dan Sasmita berharap, pekerjaan barunya akan membuatnya sibuk sehingga ia bisa mengalihkan pikirannya dari kenyataan yang harus ia jalani.
“Andai, aku sama Mas Rara bisa seperti kalian yang enggak hanya menghargai hubungan kalian, tapi juga orang-orang dalam kehidupan kalian,” batin Sasmita.
Beberapa saat kemudian, Giani telah membonceng Sasmita menggunakan motor matik-nya. Ia tak lagi mengenakan daster dan sudah kelewat rapi. Karena sesuai rencana, setelah mengantar Sasmita, Giani yang hari ini libur kerja akan langsung pergi jalan-jalan bersama Adi sang kekasih.
“Hari ini juga, aku akan mendatangi Suci dan Rendra!” Giani cukup berseru lantaran ia mengemudi dengan cukup ngebut.
“Enggak usah! Kalau mereka memang saling mencintai dan mbak Suci bisa membuat Mas Rara lebih bahagia, aku ikhlas! Asal aku diceraikan dulu, itu jauh lebih baik daripada mereka main belakang dan hasilnya dosa!” Sasmita juga sampai berseru.
“Dosa gimana …? Kalau diam-diam mereka sudah nikah gimana? Kamu enggak sampai mikir ke situ apalagi orang tua kalian saja sudah sampai tahu? Lagian si Suci … orang tuamu … ya ampun! Itu jilbab buat apa kalau suami adik saja diembat? Kayak enggak ada laki-laki lain saja! Heran aku! Si Rendra juga kebangetan. Pengin aku jedotin apa tuh kepala biar amnesia!” Giani yang terbawa emosi, refleks meremaas gas hingga laju motornya semakin tak terkendali.
Sasmita panik dan refleks menghantam asal salah satu bahu Giani, sedangkan tangannya yang satu lagi mendekap erat perut sahabatnya itu.
“Jangan ngebut-ngebut, Gi … aku masih sayang nyawa!”
“Emosi aku, Ta. Emosi!”
***
Di depan sebuah gedung yang menjulang tinggi dan kiranya lebih dari lima puluh meter, Giani menghentikan laju motornya. Ia menatap sebal Sasmita sambil menerima helm pemberian Sasmita.
“Helm-nya berasa sampai mau terbang. Lihat, penampilanku jadi acak adul gini. Kamu ngebutnya berasa mau ngalahin silumaan!” Sasmita membenahi tampilannya. Dari ujung kepala termasuk kaki yang memang berantakan akibat dibawa ngebut oleh Giani. Namun, kesibukan Sasmita yang tak segan memastikan penampilan wajahnya melalui kaca spion, tak lantas karena ia juga sedang berusaha mengalihkan pikiran Giani mengenai hubungan Rarendra dan Suci yang membuat sahabatnya itu emosi.
“Doakan saja supaya aku kuat. Aku beneran enggak tahu harus gimana? Di lain sisi, pasti ada alasan kuat kenapa orang tuaku sampai bahagia dan merestui hubungan mereka. Apalagi dari dulu kamu tahu, aku enggak ada apa-apanya kalau dibanding mbak Suci.” Sasmita bertutur dengan suara sengau dikarenakan ia kembali menangis.
“Tapi ya ... itu. Aku bukan wanita baik-baik yang rela dimadu.” Sambil menunduk menyeka air matanya menggunakan kedua jemari tangannya, Sasmita yang hari ini memakai blus putih dipadukan dengan rok selutut warna hitam dan begitu mengekspos keindahan pinggulnya, berkata, “Apalagi … selama menikah, kami juga seperti orang pacaran biasa. Enggak ada kontak lebih. ”
“Kontak lebih gimana?” Giani mengernyit bingung, tapi otaknya telanjur berkelana, meyakini maksud Sasmita tak lain hubungan yang seharusnya terjadi antara suami dan istri; sekss.
“Jangan bilang … jangan bilang kalau kamu masih …?” Giani menebak-nebak dan tak tega menyampaikan pemikirannya. Mengenai Sasmita yang ia yakini masih perawaan dikarenakan Rarendra sampai tidak mau menyentuh Sasmita.
Meski berat bahkan malu, Sasmita memberanikan diri untuk menatap sahabatnya. Namun, menatap Giani membuat air matanya semakin berlinang.
Sasmita yang tak kuasa berucap dikarenakan lidahnya mendadak kelu, hanya bisa mengangguk sambil mengerjap. Seulas senyuman ia berikan sebelum berlalu meninggalkan Giani yang membisu.
Giani, wanita itu tak hanya marah, sedih bahkan kecewa. Sebab Giani merasa harga dirinya turut diinjak-injak hanya karena mengetahui seorang wanita yang dinikahi secara baik-baik, justru tidak diberi nafkah batin padahal usia pernikahan sudah lebih dari dua bulan!
“Mita …?” batin Giani menjerit. Ia melepas kepergian Sasmita yang memasuki sebuah perusahaan tujuan mereka. Perusahaan yang bergerak di bidang entertainment dan salah satunya periklanan. Menurut cerita Sasmita, sahabatnya itu akan menjadi orang di balik layar.
Memikirkan apa yang menimpa Sasmita, air mata Giani berlinang, semakin lama semakin deras. Apalagi, sebagai sahabat, Giani merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Sasmita. Giani menekap mulutnya menggunakan kedua tangan. Ia bingung harus berbuat apa demi meringankan beban Sasmita. Hanya doa terbaik yang mampu ia panjatkan agar secepatnya, Tuhan memberikan Sasmita pelukan dalam bentuk kebahagiaan.
Bersambung ….