Episode 2 : Hubungan Terlarang Rarendra Dengan Suci
****
Rasa bosan mulai tidak bisa Sasmita halau. Rutinitas hanya itu dan itu, dari bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan bekal, beres-beres berikut melakukan pekerjaan rumah tangga dan terbilang tidak seberapa sampai-sampai cat pintu berikut kusen kontrakannya lecet saking seringnya dibersihkan, membuat Sasmita membutuhkan rutinitas lain.
Memang, keputusan Rarendra meminta Sasmita untuk tidak bekerja, benar-benar membuat Sasmita hidup kelewat santai. Hanya saja, Sasmita yang sudah terbiasa melakukan banyak hal justru menjadi stres jika kurang rutinitas. Kepala Sasmita sampai pitak karena rambutnya terus rontok.
Selain memang tipikal aktif, dulunya Sasmita merupakan sales dari beberapa produk. Pekerjaan Sasmita benar-benar banyak dan membuatnya mengunjungi banyak tempat termasuk ke luar kota. Dulu, Sasmita akan pergi pagi pulang malam. Sementara sekarang, hanya menghabiskan waktu di kontrakan tanpa banyak hal yang bisa dilakukan, apalagi Rarendra juga akan pulang larut malam. Sungguh tak ada hal lain apalagi hal yang bisa Sasmita banggakan.
****
“Memangnya, uang bulanan kurang?” Rarendra menatap Sasmita dengan dahi berkerut.
Sambil mendekap nampan bekasnya menyuguhkan menu sarapan berupa nasi goreng dan segelas teh manis hangat, Sasmita langsung menggeleng.
“Bukan masalah uang, Mas.”
“Terus?”
“Mas tahu, aku tipikal yang enggak bisa diem. Yang ada, aku bisa stres bahkan sakit, kalau aku kurang kerjaan. Lihat, kepalaku sampai pitak gara-gara rambutku rontok terus. Aku mau sekalian potong rambut!” cerocos Sasmita.
Di tengah kenyataannya yang masih mengernyit menatap sekaligus menyimak apa yang Sasmita keluhkan, Rarendra sibuk menggeleng. “Jangan potong rambut. Ganti shampoo saja, mungkin kamu salah shampo. Atau kalau enggak, lakukan perawatan.”
“Sudah ganti shampo beberapa kali tapi tetap pitak, Mas!” keluh Sasmita sambil kembali menunjukkan bahkan menyodorkan pucuk kepalanya yang memang pitak kepada Rarendra.
Rarendra mengelus kepala Sasmita yang memang pitak nyaris sebesar uang logam lima puluh rupiah. “Iya. Nanti aku carikan shampo atau obat-nya,” ucap Rarendra berusaha memberi pengertian di tengah tangan kanannya yang masih mengelus kepala Sasmita.
Sasmita yang merasa momen pagi ini terbilang langka, tak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Wanita berkulit kuning langsat itu sengaja bergelendotan, manja di d**a Rarendra.
“Lagian, Mas takut banget sih, kalau aku keluar jauh-jauh dari kontrakan?”
“Aku enggak bakalan hilang, Mas. Aku ini tipikal yang gampang hafal jalan melebihi kecerdasan kucing atau kodok yang kalau dibuang, bakalan balik lagi ke tempat asal. Kalau pun nyasar, aku kan punya mulut buat tanya-tanya.”
“Kalau Mas takut ada orang jahat ke aku apalagi penculik, mana mungkin. Jangankan manusia berhati atau malah manusia setengah siluman, siluman beneran saja takut sama aku!”
Rarendra yang awalnya menjadi penyimak baik, menyikapi setiap keluh kesah sang istri dengan serius, di mana ia juga siap memberikan solusi, tak kuasa menahan tawanya. Rarendra menjadi tertawa lepas, sedangkan Sasmita yang kemudian nekat duduk di pangkuan Rarendra, buru-buru mencium sebelah pipi suaminya dengan gemas. Benar-benar momen langka sedangkan Sasmita juga tak mau menyia-nyiakannya.
****
Setelah beberapa kali mengajukan lamaran pekerjaan, dari yang berkabar dengan penolakan atau malah tanpa jejak dan membuat Sasmita memutuskan untuk melupakannya, Sasmita justru diterima oleh salah satu perusahaan periklanan terbesar di ibukota, di mana Rarendra juga bekerja di sana.
“Ajaib! Melamar di tempat kecil selalu ditolak, sekali melamar kerja di tempat elite, justru langsung diterima!” Sasmita menatap saksama hasil keputusan wawancara yang ia lakukan di perusahaan suaminya bekerja.
Di lembar putih yang Sasmita keluarkan dari amplop besar warna putih tersebut menegaskan wanita periang itu diterima. Sasmita girang bukan main, apalagi semua pelamar kerja seangkatannya dan jumlahnya lebih dari belasan, ditolak!
Di depan pintu masuk utama gedung lima belas lantai yang juga akan membuat Sasmita menjumpai beberapa artis, Sasmita menatap penuh syukur sekeliling.
“Mungkin ini yang dinamakan rezeki istri selalu berdekatan dengan rezeki suami!” gumamnya sambil mendekap beberapa map menggunakan kedua tangannya.
“Kira-kira, jam segini Mas Rara sibuk enggak, ya?” pikir Sasmita yang memutuskan untuk kembali memasuki gedung yang baru saja akan ia tinggalkan.
Dikarenakan Rarendra bekerja di bagian marketing dan bisa jadi sedang sibuk-sibuknya di jam selepas makan siang layaknya sekarang, Sasmita menjadi ragu melanjutkan langkahnya.
“Takut salah. Lagi pula kan aku belum jadi karyawan tetap. Di sini aku masih orang asing! Nanti bahasnya kalau Mas Rara sudah di rumah saja!” pikir Sasmita.
Sasmita yang sudah akan memasuki lift di hadapannya, justru harus menghadapi rombongan karyawan yang akan memasuki lift dan satu di antaranya tak lain Rarendra. Ia refleks tersenyum, menatap suaminya dengan kebahagiaan yang sudah sangat ingin ia bagikan. Mengenai keberhasilannya diterima bekerja di tempat Rarendra bernaung. Akan tetapi, Sasmita yang sampai mendekati Rarendra justru ditinggalkan begitu saja.
Rarendra melewati Sasmita tanpa sapaan bahkan sekadar basa-basi, seolah mereka hanya orang asing yang untuk sekadar menyapa, tidak penting.
Sasmita terdiam dengan senyum riang yang seketika hilang dari wajah cantiknya. Ia tetap berdiri membelakangi lift. Tak lama kemudian, terdengar bunyi yang menandakan lift tersebut tertutup, mengangkut penumpangnya pergi di mana Rarenda menjadi salah satu penghuninya.
“Sebenarnya Mas Rara kenapa, sih?” Sasmita menoleh ke lift. Tangan kanannya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga kanan. “Mas Rara enggak mungkin mendadak amnesia dan sampai enggak mengenali aku, kan?” batin Sasmita. Ia menunduk bersama air matanya yang luruh. Karena meski dirinya gampang bahagia bahkan tertawa, Sasmita juga tipikal cengeng.
****
Semenjak pulang bahkan hingga sekarang menunggu kepulangan Rarendra yang tak juga tiba, Sasmita terus bertanya-tanya mengenai kesalahannya. Mengenai alasan Rarendra yang mendiamkannya, menatapnya tak mengerti, ketika di perusahaan, di depan lift, siang tadi.
Yang membuat Sasmita semakin bingung, hingga detik ini Rarendra tak kunjung memberi kabar meski hanya lewat pesan. Sasmita sendiri tidak berani memulai jika keadaan sudah seperti sekarang. Sasmita takut mengganggu, bahkan meski sebagai seorang istri, ia berhak mengetahui kabar suaminya.
Setelah melongok dari jendela depan, Sasmita yang tak juga melihat tanda-tanda Rarendra pulang, memutuskan keluar. Ia berjalan gelisah meninggalkan jejeran kontrakan yang masih ramai aktivitas, dengan ponsel yang masih ia genggam di tangan kanan. Sasmita sampai keluar dari gang kontrakan dan berdiri di sana cukup lama.
Sambil menunggu, Sasmita sengaja menelepon Sarnia sang mamah.
Di sambungan ke tiga, telepon yang Sasmita lakukan mendapat jawaban.
“Assalamualaikum, Mah?” ucap Sasmita guna mengurangi pikirannya yang sedang terombang-ambing memikirkan Rarendra berikut hubungannya dengan suaminya itu.
“Walaikum salam. Ada apa, Ta?”
“Enggak, Mah. Cuma mau tanya kabar saja.”
“Eh bentar, Ta. Itu Rendra mau pamit.”
Ucapan Sarnia barusan sukses menohok Sasmita. “Hah, Mas Rara di situ, Mah?”
“Iya. Ini baru mau pulang.”
Ada rasa lega yang seketika Sasmita rasakan lantaran tanpa sepengetahuannya, suaminya ity memiliki hubungan terbilang baik dengan keluarga Sasmita.
“Dari sore, Rendra sudah di sini bareng Suci. Rendra kan sudah biasa anter jemput Suci. Mereka baru beres makan malam. Bentar ya ….”
Sasmita terdiam tak ubahnya batu, bersama rasa pegal yang menguasai dadanya. Jauh di dalam sana seolah ada banyak benda tajam yang sibuk menghantam dengan kejam. Sasmita cemburu pada Suci meski wanita itu kakaknya sendiri!
Sejak kapan Rarendra suaminya justru sibuk mengantar jemput Suci? Atas dasar apa, kenapa tidak ada yang cerita bahkan dari Rarendra sendiri?
“Tuhan … salahkah aku jika aku cemburu!” jerit Sasmita dalam hatinya. Tubuhnya gemetaran menahan rasa cemburu dan membuatnya ingin mengamuk. Ia berjalan sambil menunduk demi menyembunyikan air mata berikut tangisnya dari para tetangga.
“Kenapa juga mamah membiarkan suamiku justru sibuk mengurus mbak Suci? Kenapa mamah dengan entengnya berkata seperti tadi?”
****
Tak seperti biasa, malam ini, Sasmita tak menunggu kepulangan Rarendra. Sasmita meringkuk dan meluapkan tangis kesedihan berikut kekecewaannya di bantal. Selain tidak sampai mengunci pintu, Sasmita bahkan membiarkan makanan yang ia masak susah payah untuk makan malam mereka, begitu saja di dapur. Bukankah suaminya sudah kenyang tanpa peduli Sasmita menunggu dan sampai kelaparan agar bisa makan malam berdua?
Ketika deru suara motor Rarendra terdengar semakin jelas, Sasmita sengaja menarik selimut dan menutup tuntas tubuhnya yang masih meringkuk. Terdengar suara pintu yang kemudian terbuka diikuti langkah Rarendra lengkap dengan salam yang pria itu layangkan.
Sasmita susah payah menahan diri, agar ia diam dan mengabaikan Rarendra yang kini ia dengar keberadaannya sudah ada belakangnya.
Rarendra meletakan asal tasnya di tembok sebelah kasur. Ia jongkok dan menyibak selimut yang menutupi kepala istrinya.
“Ta, kamu sakit?” tanyanya sarat kekhawatiran.
Sambil tetap membelakanginya, Sasmita mengangguk-angguk. Kontras dari biasa yang akan langsung ‘menyerang’ bermanja ria kepadanya di setiap ada kesempatan.
“Sudah minum obat? Tubuhmu panas. Kamu sudah makan, belum?”
“Memangnya kalau aku belum lapar bahkan sakit karena nahan lapar hanya demi bisa makan sama Mas, Mas peduli? Yang terpenting buat Mas, mbak Suci, kan?”
“Aku heran, yang istri Mas itu aku, apa Mbak Suci? Bisa-bisanya Mas perhatian dan punya banyak waktu buat mbak Suci, sedangkan buat aku? Sekadar mau kirim pesan ke Mas saja, aku takut ganggu, Mas!” Sasmita tak dapat mengontrol emosinya.
“Ta?” Sebelah tangan Rarendra mengelus kepala Sasmita.
Sasmita buru-buru menyingkirkan tangan Rarendra dengan kasar dari kepalanya. Ia beranjak dengan merangkak, menjauhi Rarendra.
“Kalau Mas maunya sama mbak Suci, kenapa Mas nikahnya sama aku? Sebenarnya kenapa? Ada apa dengan kalian?”
Rarendra langsung terdiam dengan wajah yang seketika memucat. Kenyataan tersebut membuat Sasmita merasa frustrasi.
“Mas tega. Kalian jahat. Kalian punya hubungan …?” Sasmita menatap kecewa Rarenda. Air matanya semakin berlinang, sedangkan dadanya yang bergemuruh sudah sesak tak karuan.
Diamnya Rarendra membuat Sasmita merasa kecewa. Pernikahan impian yang ia kadang-gadang akan ia jalani bersama pria di hadapannya, seolah hanya tinggal kenangan.
“Enggak apa-apa, Mas. Serius, enggak apa-apa. Daripada terus dijalani, yang ada aku juga ikut berdosa.”
“Jika memang Mbak Suci lebih baik, mbak Suci jauh lebih membuat Mas bahagia, aku rela.”
“Lagi pula, aku juga manusia biasa. Aku enggak mungkin terus-menerus bisa pura-pura. Aku enggak mungkin terus-menerus menunggu Mas, sedangkan pernikahan kita ada, karena Mas yang minta.”
Sasmita menyeka air matanya menggunakan kedua tangan. Susah payah ia mencoba untuk tegar. “Aku bingung harus ngomong apa? Mau minta Mas pulangin aku ke orang tuaku, jelas enggak mungkin karena orang tuaku saja tahu hubungan Mas sama mbak Suci. Mereka bahkan terkesan jauh lebih bahagia melihat hubungan kalian.”
“Ta ….”
“Ya sudah, Mas. Ceraikan aku saja.” Sasmita beranjak dari duduknya. “Aku beresin barang-barangku. Malam ini juga, aku pergi.”
Sasmita tak hanya merasa kecewa, melainkan hancur. Bagaimana bisa suaminya justru memiliki hubungan terlarang dengan Suci selaku kakak sekaligus satu-satunya saudara kandung Sasmita, dan parahnya justru didukung oleh orang tua mereka?
Pantas, … pantas hingga detik ini Rarendra tak kunjung menyentuhnya. Sasmita masih berstatus istri perawan. Namun, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Suci dan orang tua mereka juga tega?
Bersambung ….