Tidur dalam Satu Kamar

1052 Words
Pesta malam itu telah berakhir sepuluh menit yang lalu. Suasana gemerlap yang sebelumnya memenuhi ballroom telah meredup, digantikan oleh langkah-langkah perlahan Jasmine dan Reiner menuju pintu keluar. Mereka hendak bergegas menuju kamar hotel yang telah mereka pesan untuk beristirahat malam ini, namun takdir berkata lain ketika Reiner dipanggil oleh seseorang dari belakang. "Reiner!" Suara itu menggema di lorong, menarik perhatian keduanya. Jasmine mengenali Evano Kalau, salah satu sepupu jauh suaminya. Tak hanya Evano, dua perempuan lainnya yang terlihat seperti sepupu Reiner juga menyusul dari belakangnya. Jasmine menyambut mereka dengan senyum hangat. "Hi Evano,” sapa Jasmine ramah. "Bro, can I get a picture with Jasmine? I didn't get a chance to take one earlier," ucap Evano sambil meminta izin pada Reiner, sambil mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi kamera. Reiner melirik jam tangannya sebentar. "Two minutes," jawabnya singkat. "Oh come on. Just two minutes?" Evano memandang Reiner tidak percaya. "If you don't want to, it's fine," ucap Reiner sambil mengangkat bahu, mencoba untuk mendorong Jasmine untuk melanjutkan perjalanan mereka. "Okay, okay. Two minutes it is," seru Evano cepat sebelum Reiner benar-benar memimpin Jasmine pergi. Reiner mendecak kesal dan sedikit menambah jarak antara dirinya dan Jasmine. Dia mengizinkan Jasmine untuk bergabung dengan sepupu-sepupunya tanpa kehadirannya. Jasmine tak keberatan berpose berlama-lama dengan mereka untuk foto. Meski badannya lelah dan ingin segera mandi, kehadiran keluarga Reiner memberinya rasa nyaman. Namun, Jasmine merasa ragu menyadari bahwa mereka harus berbagi kamar setelah ini. Hubungan mereka tidak pernah nyaman. Mungkin karena pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Di tengah-tengah sepupu-sepupunya, Jasmine tersenyum lebar pada kamera. Senyumnya memamerkan barisan gigi putihnya dan matanya berbinar saat tersenyum. Senyumnya tak kunjung pudar. Seperti sebuah tanda bahagia dari pernikahan ini, meskipun hatinya berkata lain. Tanpa disadari, senyumnya menarik perhatian Reiner yang tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Jasmine. Reiner tidak bisa mengelak dari pandangan itu sejak siang tadi. Wajah Jasmine yang selalu disertai senyuman. Terpaksa, Reiner mengakui satu kelebihan yang dimiliki Jasmine. Senyumnya. Satu kelebihan? Ya, mungkin itulah yang Reiner lihat saat ini. Namun, kelebihan itu dibayangi oleh ketidaknyamanan Reiner terhadap latar belakang keluarga Jasmine yang menurutnya, kelas bawah dan tak jelas asal-usulnya. Kekurangan itu cukup kuat baginya untuk meremehkan Jasmine. Jasmine melihat hasil foto di ponsel Evano dengan senang. "Wow, bagus sekali hasilnya. Van, bisakah aku dapatkan fotonya?" "Tentu saja. Kamu yang paling berkilau di foto ini," balas Evano sambil tersenyum. "Aku akan kirimkan ke nomor HP-mu nanti. Boleh minta nomornya?" Evano dengan sigap menambahkan nomor Jasmine ke kontak ponselnya. Jasmine memberikannya dengan senang hati, tidak menyadari bahwa dalam diam, Reiner masih memperhatikan mereka dari kejauhan, dengan perasaan campuran di dalam hatinya. Jasmine tidak banyak berpikir sebelum memberikan nomor ponselnya pada Evano. Tepat saat dia hendak menyebutkannya, Reiner menyela dengan ekspresi datar yang biasa ia tunjukkan. "Tidak perlu! Waktu kalian sudah lebih dari dua menit, Van. Aku sudah bosan menunggu," ucap Reiner dengan nada tegas. Jasmine memandang Reiner dengan kebingungan. Menyebutkan nomor ponsel hanya butuh sebentar lagi, tidak akan membuat mereka terlalu lama di sana. Namun, tatapan tajam Reiner membuatnya segera mengikuti langkahnya menjauh dari Evano, yang terlihat kebingungan dengan situasi tersebut. Dia mengikuti Reiner menuju lift. Meskipun high heels yang dia pakai tidak terlalu tinggi, gaunnya yang lebar membuatnya kesulitan berjalan cepat. Untungnya, mereka tidak perlu menunggu lama. Pintu lift terbuka dengan cepat dan keduanya masuk ke dalamnya, menuju lantai sepuluh. Suasana di dalam lift terasa tegang, membuat Jasmine merasa tidak nyaman dengan keheningan yang menyelimuti mereka. Setelah membersihkan tubuhnya di kamar mandi, Jasmine mengenakan pakaian tidur dan mengeringkan rambutnya sebelum keluar. Ketika dia masuk ke dalam kamar, leganya dirasakannya tidak menemukan Reiner di sana. Pria itu tampaknya sudah mandi lebih dulu. Mungkin dia tidak ingin berbagi kamar dengan Jasmine malam ini. Pikiran ini membuat Jasmine lega. Tidak ada lagi kekhawatiran tentang harus bersinggungan dengannya. Namun, harapan Jasmine pupus saat pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Reiner muncul dengan sesuatu di tangan kanannya. Dia mendekat dan memberikan ponsel Jasmine. "Ini milikmu? Pelayan menemukannya di kursi tempatmu tadi duduk," ucap Reiner tanpa ekspresi. Jasmine terkejut. Dia meraih ponselnya dari tangan Reiner. "Terima kasih pada pelayan yang sudah menemukannya." "Ceroboh sekali," gumam Reiner. "Sebuah ponsel bisa kubeli puluhan kali lipat." "Masalahnya bukan pada ponselnya," tolak Jasmine, "tapi data penting di dalamnya yang sulit didapatkan kembali jika hilang." Reiner hanya mendengus. "Kamu tidak tahu bagaimana rasanya memiliki sesuatu tanpa harus memikirkan harga." Jasmine mengikuti langkah-langkah Reiner dengan ekor matanya, melihatnya bergerak di sekitar kamar. Dia kaget ketika Reiner akhirnya merebahkan tubuhnya di tempat tidur di sampingnya. "Jadi, kamu mau tidur di sini?" ucap Jasmine, tidak dapat menahan rasa penasaran. "Ya. Kamu tidak suka? Kalau begitu cari saja tempat lain," ucap Reiner tanpa melirik ke arah Jasmine, suaranya penuh dengan kepastian. "Kita satu kamar hanya malam ini saja. Setelah sampai di rumah saya besok, kita tidak akan satu ruangan lagi. Kamar kita berbeda," tambahnya lagi, nada suaranya tak berubah. "Aku mengerti," jawab Jasmine singkat, suaranya terdengar redup dalam keheningan kamar. Tidak ada upaya untuk membantah atau menyalahkan, meskipun hatinya mungkin sedikit teriris oleh keputusan itu. Dia menempatkan ponselnya di atas nakas dengan hati-hati sebelum naik ke atas ranjang, menghindari tidur di sofa yang terasa tidak nyaman. Kakinya terasa pegal setelah berdiri sejak siang di pelaminan. Jasmine menarik selimut hingga ke d**a, berbaring membelakangi Reiner yang masih terjaga. Reiner sendiri tidak segera tertidur, sibuk memeriksa pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Ekspresi wajahnya sedikit terkejut saat melihat pengirimnya adalah Evano, dengan sepuluh foto yang dikirimkan padanya. Pesan terakhir meminta untuk menitipkan foto-foto tersebut pada Jasmine. Mata Reiner melirik ke punggung Jasmine, bertanya-tanya apakah gadis itu sudah tidur atau masih terjaga. Dengan ragu, Reiner memutuskan untuk tidak memperlihatkan foto-foto itu pada Jasmine. Tidak hanya karena malas untuk menjelaskan lebih banyak, tetapi juga karena ada ketidaksukaan yang tidak diungkapkan terhadap hasil foto Jasmine bersama Evano. Alasannya tidak jelas, mungkin hanya sebatas preferensi pribadi agar ponselnya tidak dipenuhi oleh gambar-gambar itu. Alih-alih menghapus foto-foto tersebut, Reiner mengunci ponselnya dan meletakkannya di atas nakas. Ia kemudian bangkit dari ranjang untuk mematikan semua lampu di kamar. Kegelapan menutupi ruangan, sesuai dengan keinginannya untuk tidur tanpa ada cahaya sedikit pun. Tiba-tiba, terdengar suara Jasmine memecah keheningan. "Bisakah lampunya dinyalakan saja? Aku tidak bisa tidur dalam keadaan ge--" "Tidak bisa! Kalau kamu tidak suka, silahkan tidur di ruangan lain," potong Reiner dengan tegas, membaringkan tubuhnya kembali membelakangi Jasmine. "Reiner... tolong--" "Sekali tidak, tetap tidak!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD