Bukan Honeymoon

1062 Words
Aku menghela napas panjang, tidak menyangka bulan madu bisa sebegitu membosankan. Sebentar, apa yang sebenarnya kuharapkan dari bulan madu ini? Aku menggeleng cepat, meraih ponselku yang berdering di atas nakas. Dengan malas, aku mengangkat panggilan telepon dari Pak Bram, sekretaris Ardika. “Halo, Pak Bram,” sapaku tanpa semangat. Hampir setiap hari beliau menghubungiku hanya untuk menanyakan kabar. Entah itu sedang di mana atau sudah makan atau belum. Aku sempat berpikir, sebenarnya yang menikah denganku ini Ardika atau Pak Bram? Sudah menjadi istrinya pun aku tidak memiliki nomor ponsel suamiku. Aku dan Ardika hanya akan berkomunikasi melalui Pak Bram jika kami sedang tidak bersama. Bukan istri, aku lebih terkesan seperti kliennya saja. “Hari ini Pak Ardika masih akan melanjutkan pertemuan hingga besok malam baru akan kembali ke Tokyo,” terang Pak Bram di seberang sana. “Ada yang ingin Mbak Asya tanyakan atau mungkin ingin disampaikan dengan Pak Ardika?” Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan itu. Definisi hal yang mudah diperumit ya begini. Alhasil, aku hanya menyahut paham, tidak mengatakan apa-apa lagi, dan segera menyudahi panggilan telepon. *** Aku berdiri di balkon kamar hotel, memandangi pemandangan Tokyo yang gemerlap di malam hari. Udara malam terasa dingin, dan kesendirian semakin menyelimuti hatiku. Hatiku terasa hampa, dan tiba-tiba saja aku merindukan Farhan. Sudut bibirku terangkat mengingat tingkah usilnya dan perseteruan kami yang tidak ada habisnya setiap hari. Aku mengalihkan pikiranku yang sepi ini dengan berselancar di media sosial hingga sudut bibirku melengkung sempurna mengetahui tiga sepupuku Damar, Seno, dan Zein sedang berada di Jepang untuk perjalanan bisnis. Aku memutuskan untuk menghubungi mereka. Ketiganya terkejut saat tahu aku berada di Jepang dan ingin bertemu denganku. Aku pun setuju, setidaknya aku tidak begitu kesepian. Aku menghubungi Pak Bram, tapi nomor beliau tidak bisa dihubungi. Jadilah kami hanya bertemu di kafe yang tidak jauh dari hotel tempatku menginap. Ketika mendengar tentang pernikahanku mereka tampak terkejut. Pernikahanku dengan Ardika benar-benar mendadak dan tertutup. Larut bercerita bukannya lega aku malah semakin putus asa. Entah dari mana keberanian itu datang, aku ingin melepas penat hati dan pikiranku di sebuah klub yang berdiri megah di depan kafe. Meminta mereka untuk menemaniku ke klub itu. Ini bukan diriku yang sebenarnya, aku tidak pernah berpikir untuk mengunjungi klub hanya untuk pelarian. Namun, malam ini, aku hanya ingin melarikan diri sebentar saja. "Ayo, temani aku ke klub," kataku, hampir putus asa. Zein, yang paling protektif dari ketiga sepupuku, menolak. Aku merengek pada ketiganya dan Damar menyodorkan Zein. Aku menatapnya dengan tatapan memohon dan dia akhirnya setuju untuk menemaniku. “Menyusahkan saja. Ya sudah cepat!” ketus Zein. Suasana di dalam penuh dengan musik keras dan lampu yang berkelap-kelip. Aku mencoba menikmati kebebasan sementara ini, tetapi bayangan Farhan dan Ardika terus menghantui pikiranku. Gila, bagaimana kehidupanku setelah ini. Pernikahan seperti apa yang aku jalani ini. Zein tidak mengizinkan aku meminum minuman selain pilihannya lemon tea iced. Yang benar saja mau melupakan sejenak problematika hidup, aku malah disuguhkan lemon tea iced, tapi tetap menurut. Melihat lautan manusia bergoyang mengikuti irama dan hiruk pikuk kebisingan di klub ini malah membuatku tidak nyaman. Aku tersentak saat seseorang menyapaku. “Mbak Asya, saya diperintahkan Tuan Ardika untuk membawa Anda pulang," kata salah satu dari mereka dengan suara tegas. Aku merasakan ketegangan yang luar biasa. Zein berdiri di hadapanku, mencoba melindungiku. “Ada apa ini?” tanya Zein tidak terima. Lelaki yang berdiri di hadapanku enggan melayani Zein dan memilih menghubungi seseorang hingga suara Pak Bram menyapaku. “Mbak Asya, Pak Ardika meminta Mbak segera pulang ke hotel sekarang,” ujarnya. “I—iya,” jawabku terbata-bata. Zein tetap tidak percaya, dia mengatakan akan mengantarku sampai ke hotel, aku menolak. Aku mengaku mengenal lelaki dalam telepon itu hingga akhirnya Zein melepasku pulang bersama anak buah Ardika. *** Aku terus masuk ke dalam kamarku. Begitu membuka pintu, Ardika berdiri di dekat pintu melipat kedua tangannya di depan d**a, dan menatapku tajam. Ketegangan seketika menyergap hingga membuat aku kesusahan menelan salivaku. “Pantaskah seorang istri keluar tanpa izin dari suaminya?” tanyanya dingin. “Aku keluar sebentar—” Aku tersentak saat dia meraih lenganku dan menyeretku serta membanting tubuhku ke atas kasur. “Aku sudah menghubungi Pak Bram, tapi—” “Bukankah saya sudah pernah bilang jangan merusak personal branding yang sudah saya bangun!” bentaknya. Dia sama sekali tidak mengizinkan aku menjelaskan. Saat aku hendak kembali bersuara menjelaskan, Ardika menarik daguku dengan kasar memperlihatkan fotoku di klub tengah merebahkan kepalaku di bahu Zein pada layar ponselnya. Ardika melepas tangannya di daguku dengan menghentak tak kalah kasar. Dia mengaku pulang lebih awal dari yang dia rencanakan. Saat kembali ke hotel dia mendapati kamarku kosong. Amarahnya membara saat mendapat foto itu dari anak buahnya yang diperintahkan untuk mencari dan membawaku pulang. “Tidak perlu berlebihan Ardika. Dia Zein, sepupuku.” Ardika mengembuskan napas kasar, tatapannya menyala—meraih ponselnya meminta seseorang di seberang sana mencari tahu identitas Zein. “Jangan coba-coba bermain dengan saya, Asya,” tekannya padaku, tatapannya memancarkan ketidaksukaan yang teramat sangat. “Sudah boleh mendengar penjelasanku?” tanyaku dan dia menatapku tajam. Tak lama ponsel Ardika berdering, Ardika menerima panggilan telepon itu. Dia hanya diam mendengar dengan seksama lalu mematikan sambungan telepon itu. Sepertinya Ardika sudah mendapat jawaban atas keraguannya. “Saya tidak butuh penjelasanmu,” ketusnya. Aku menerjap saat Ardika tiba-tiba membuka bajunya dan melempar asal ke kursi rias. Segera aku mengalihkan pandanganku. Keningku mengerut saat dia merebahkan tubuhnya di atas kasur dalam keadaan topless. Apa-apaan dia ini? Aku memiringkan tubuhku, sedikit menoleh—melirik ke arahnya. “Apa tidak sebaiknya kamu pesan kamar lain?” tanyaku hati-hati. “Kenapa harus?” jawabnya ketus. Ardika sibuk dengan ponselnya dan memintaku untuk mengganti pakaian. Aku pun menurutinya, setelahnya aku melangkah ragu usai mengganti piama tidur. Sebentar, apa kami akan...? “Sya, sini,” panggilnya menepuk sisi di sampingnya, memintaku naik ke atas kasur. Aku semakin ragu untuk melangkah hingga mendengar embusan napas kasarnya. “Cepat sedikit, Sya! Saya sudah mengantuk,” tekannya. Aku pun perlahan naik ke atas kasur dan Ardika langsung menarikku masuk ke dalam pelukannya, membuat aku menerjap saat wajahku berada tepat di depan d**a bidangnya. Aku membeku saat mendengar suara jepretan kamera, lalu Ardika melepasku dari pelukannya dan kembali sibuk dengan ponselnya. “Kakek sibuk menanyakan perjalanan kita sedari kemarin, jangan berani-berani menceritakan pekerjaan saya selama di sini. Sekarang kamu bisa turun dan tidur di sofa.” Apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD