Menikah

1263 Words
“Jaga sikapmu saat berinteraksi dengan lelaki, saya tidak mau ada skandal apa pun dalam rumah tangga kita nanti. Jangan rusak personal branding yang sudah saya bangun susah payah hanya dengan kekonyolan kamu,” tegas Ardika memperingatiku. Aku menyahut mengiyakan peringatannya. “Kamu tahu kalau Shafeeya kabur karena diterima S3 di universitas dambaannya?” tanya Ardika membuat aku termenung. Ya, aku sudah tahu. Kak Feeya melarikan diri dari pertunangan hari itu setelah menerima pengumuman dirinya diterima di universitas impiannya. Selangkah lagi saja Kak Feeya akan mencapai mimpinya. Mimpi yang dulu pernah aku impikan pula. “Sudah tahu,” jawabku singkat. Ardika menoleh menatapku. Meski tidak melihatnya secara langsung, aku dapat melihat dari sudut mataku kalau dia sedang melihatku. “Kamu ikut turun,” titahnya setelah sedari tadi memilih diam. Kami masuk ke kantor pengacara, kuasa hukum Ardika. Ardika memberiku kertas berisi perjanjian pranikah. Satu hal yang aku tahu adalah Ardika seorang pengusaha sukses yang sangat rasional dan berorientasi pada bisnis, memutuskan untuk menikah demi keuntungan strategis. Pernikahan ini hanyalah sebuah perjanjian bisnis yang akan memperkuat posisi kedua belah pihak dalam dunia korporat. Ardika menegaskan bahwa pernikahan ini tidak lebih dari sekadar perjanjian bisnis dan menyusun perjanjian pranikah yang sangat ketat. Dalam perjanjian tersebut, dia menyatakan bahwa segala harta yang dimilikinya, baik sebelum maupun setelah pernikahan, akan tetap menjadi miliknya. Tidak akan ada pembagian harta gono-gini. “Keberatan? Saya tetap bertanggung jawab atas nafkah lahir kamu, memastikan kebutuhan finansial dan material kamu terpenuhi tanpa kekurangan suatu apa pun. Namun, kamu tidak saya izinkan ikut campur dalam urusan harta yang saya miliki dan tidak memiliki hak atasnya,” jelasnya panjang lebar. Tanpa ragu aku menyetujuinya dan membubuhkan tanda tanganku. Kulihat dia mengangguk puas. “Kamu hanya perlu duduk rapi, menikmati semua yang saya berikan, dan menerima statusmu menjadi istri Ardika Jayendra,” tambahnya. “Aku juga punya syarat,” ujarku, membuat Ardika dan pengacaranya saling memandang, kemudian memintaku untuk mengatakannya. “Aku tidak ingin pekerjaanku diusik. Setelah menikah, aku tetap akan menjadi dokter.” Ardika menyemburkan tawanya, seolah menyepelekanku. “Tenang saja, calon istri. Saya tidak punya banyak waktu untuk mengurus kepentingan orang lain. Lakukan apa yang kamu suka, tapi jangan mencampuri urusan saya,” tegasnya. *** Sepulang dari kantor pengacara, kami pergi untuk fitting baju pengantin. Tidak ada yang istimewa. Ardika dingin, formal, dan penuh jarak. Tidak ada kehangatan, tidak ada cinta. Hanya kewajiban. Sesampainya di butik, kami disambut dengan ramah oleh pegawai yang membantu kami memilih baju. Aku mencoba beberapa kebaya modern, sementara Ardika duduk di sudut ruangan, sibuk dengan ponselnya. Sesekali, dia mengangkat pandangan dan memberikan anggukan singkat ketika ditanya pendapatnya, tetapi tidak lebih dari itu. "Apa kamu suka gaunnya, Ardika?" Aku mencoba membuka percakapan, berharap ada sedikit kehangatan. "Ya, bagus," jawabnya singkat, tanpa melihatku. Aku mengembuskan napas panjang. Entah seperti apa pernikahan yang akan aku jalani nanti. Setelah fitting selesai, Ardika mengantarku ke apartemen. “Persiapkan semua barang-barang kamu karena setelah menikah nanti kita akan tinggal di apartemen saya,” ujarnya sebelum aku turun dari mobil. *** Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku dalam balutan kebaya pengantin yang indah. Hari ini adalah hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidupku, tapi perasaan campur aduk mengguncang hatiku. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak bisa dihindari karena momen sakral ini. Di sisi lain, ada rasa getir karena aku menikahi Ardika, seorang lelaki yang tidak kucintai. Hari-hari berlalu dengan cepat sejak keputusan berat itu kuambil. Pernikahan dengan Ardika sudah di depan mata, tapi terasa seperti beban yang menghimpit. Pernikahan dilakukan secara tertutup hanya keluarga inti. Sejak hari itu, Farhan tidak pernah terlihat lagi di rumah sakit. Apa dia memutuskan untuk pergi jauh, menghindari segala sesuatu yang mengingatkannya padaku. Suara riuh tamu undangan terdengar sayup-sayup dari luar kamar, sementara aku mencoba menenangkan diri. Pintu kamar terbuka pelan, dan mamaku masuk dengan senyum penuh haru. "Asya, kamu siap?" tanyanya lembut. Aku mengangguk, berusaha tersenyum. "Iya, Ma. Asya siap." Dengan langkah hati-hati, aku keluar dari kamar, menuju ruang akad. Suasana berubah hening ketika aku muncul. Semua mata tertuju padaku, tapi aku hanya fokus pada Ardika yang berdiri di depan penghulu, tampak tenang dan percaya diri. Ardika menatapku sejenak, lalu tersenyum tipis. Senyum yang menenangkan tapi tidak bisa menghapus perasaan asing di hatiku. Aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. Inilah saatnya, momen di mana hidupku akan berubah selamanya. Ardika mengucapkan lafaz akad dengan suara mantap, hingga serentak saksi dan beberapa tamu yang hadir berseru, "Sah!" Ardika melafazkan akad nikah dengan suaranya yang tetap tenang dan datar, tanpa emosi. Aku merasa seperti berada dalam mimpi buruk, pernikahan yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dalam hidupku terasa kosong dan hampa. Ketika akhirnya akad selesai, kami resmi menjadi suami istri. Namun, tidak ada yang berubah. Ardika masih bersikap dingin, dan aku merasa seperti terperangkap dalam hubungan tanpa cinta. Acara akad nikah digelar dengan sangat sederhana. Hanya keluarga inti yang hadir, seperti yang diinginkan Ardika. Tidak ada musik, tidak ada dekorasi yang berlebihan. Semuanya begitu sederhana, begitu dingin di salah satu ruangan hotel. Setelah acara selesai, kami kembali ke kamar hotel ternyata Ardika memesan connecting room. “Saya tidur ke kamar sebelah. Besok pagi pukul tujuh kita turun sarapan bersama,” titahnya. Aku menganga tidak percaya saat dia membuka pintu kamar sebelah, lalu menghilang begitu saja. *** Sesuai titahnya, pukul tujuh aku sudah keluar dari kamar dan bersamaan dengannya. Dia tidak menyapaku dan terus berjalan ke arah lift. Wajahnya tanpa ekspresi. Ardika mengingatkanku lagi, siang ini setelah checkout kami akan mengambil semua barang-barangku untuk di pindahkan ke apartemennya dan aku mengangguk paham. Bahkan saat sedang bersama menikmati sarapan, aku merasa hampa. Aku berharap setidaknya ada sedikit kehangatan atau pemahaman antara aku dan Ardika. Namun, harapan itu pupus dengan cepat. *** Setelah dari hotel, Ardika membawaku ke apartemen miliknya, yang jauh lebih besar dan mewah dibandingkan apartemen kecil yang kumiliki. Namun, kemewahan seperti ini pasti terasa hampa tanpa cinta. "Ini kamarmu," katanya dengan suara datar, membuka pintu ke salah satu kamar tidur yang telah disiapkan untukku. Ruangan itu indah, tetapi terasa asing dan dingin, seperti semua hal dalam pernikahan ini. Ardika menyerahkan sebuah kartu debit padaku. "Setiap bulan, akan ada uang bulanan yang dikirimkan ke rekening ini. Jumlahnya saya pastikan melebihi gajimu," katanya tanpa melihatku. Aku menerima kartu itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku merasa seperti diperlakukan dengan baik secara materi, tetapi di sisi lain, aku merasa seperti dibeli, diatur, dan dikendalikan. Tidak ada rasa hormat atau perhatian dalam tindakan Ardika, hanya kewajiban yang ia penuhi dengan cara yang paling dingin. *** Pagi harinya, suara deringan telepon mengusik tidurku. Aku kelelahan hingga bangun kesiangan. Aku meraih ponselku mendapati Pak Bram, sekretaris Ardika menghubungiku. "Ibu Asya, Pak Ardika mengatur perjalanan bulan madu kalian. Kalian akan pergi ke Jepang." Aku terkejut mendengar itu. Sudah lama aku ingin mengunjungi tempat itu. Namun, perasaan senang itu cepat menghilang saat aku tahu kebenarannya saat Ardika mengambil alih ponsel sekretarisnya. "Kita akan pergi ke Jepang besok," katanya bernada datar. "Saya akan sibuk dengan urusan bisnis selama seminggu di sana. Jadi kamu bebas menikmati liburanmu sendiri." Kata-katanya menusuk hati. Bulan madu yang seharusnya menjadi momen indah bagi pasangan baru hanyalah kedok belaka untuk Ardika. Dia lebih memilih urusan bisnis daripada menghabiskan waktu bersamaku. *** Kami berangkat ke Jepang keesokan harinya. Dalam pesawat, tidak ada percakapan hangat atau perhatian darinya. Dia tenggelam dalam pekerjaannya, sementara aku hanya memilih tidur. Sesampainya di Jepang, kami langsung menuju hotel. Ardika memberiku jadwalnya yang penuh dengan pertemuan bisnis dan meninggalkanku dengan peta kota dan beberapa rekomendasi tempat wisata. "Nikmati liburanmu," katanya sebelum pergi, meninggalkanku sendirian di lobi hotel. Gila nih orang, ya, batinku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD