Suara beberapa langkah kaki yang bergerak sangat cepat, terdengar cukup nyaring, dalam ruang IGD yang malam itu tidak terlalu dipadati oleh pengunjung. Wajah pria paruh baya itu, terlihat sangat khawatir, sedangkan sang istri, terus terisak, tanpa memperdulikan tatapan kebingungan dari beberapa orang, yang sedang berada dalam ruang tersebut.
“Selamat malam, Pak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang perawat bagian resepsionis, ketika melihat pria dan wanita paruh baya di hadapannya, menghentikan langkah mereka di depan meja.
“Sus, saya orang tua pasien yang bernama Azeira, yang beberapa saat lalu dihubungi oleh pihak rumah sakit, dan tim penyelamat. Di mana putri saya, sekarang?” tanya pria paruh baya itu.
“Oh, di sebelah sana, Pak!” sahut wanita itu, sembari menunjuk salah satu ruang tindakan, setengah tertutup oleh tirai.
Setelah diberitahukan keberadaan putri kedua mereka, tanpa banyak berdiam lagi, sepasang suami istri itu pun berlari menuju salah satu ruang tindakan yang ditunjuk, hingga tiba-tiba langkah kaki keduanya terhenti, ketika melihat sosok gadis yang masih mengenakan seragam sekolah, terbaring di atas brankar, dengan wajah penuh luka dan lebam, juga penampilan yang sangat berantakan.
Kaki wanita paruh baya berhijab itu seketika melemas, hingga hampir terjatuh, jika saja sang suami tidak lebih dulu meraih tubuh kecil di sampingnya.
“Astagfirullah, Z-Zei,” gumam Rhea, lirih.
Entah apa yang harus dikatakan oleh Oris, untuk menenangkan sang istri saat ini, karena ia sendiri pun cukup terkejut melihat keadaan putrinya yang masih tak sadarkan diri.
Tak begitu lama, seorang pria bersneli, membawa sebuah tablet di tangannya, berjalan menghampiri kedua orang tua pasien, yang beberapa saat lalu, di bawa oleh para petugas penyelamat 119. Pria itu mengambil posisi setengah membungkuk, lalu berdiri di samping brankar pasien.
“Selamat malam, Pak, Bu. Saya Stevan, Dokter Umum yang sedang bertugas di IGD,” sapanya dengan ramah.
Oris membalas salam hormat pria bersneli itu dengan sekali anggukkan kepala, sedangkan Rhea yang baru saja suaminya dudukkan di atas kursi, samping brankar putrinya, masih tidak bisa di ajak bicara, dan lebih terfokus pada keadaan Zeira, sembari menggenggam sebelah tangan putri tersayangnya.
“Selamat malam, Dokter Stevan. Saya Oris, ayah dari Zeira.” Pria paruh baya yang masih terlihat sangat segar itu, melirik sesaat pada Zeira, lalu kembali menatap Stevan, seakan banyak hal yang sangat ingin ia tanyakan perihal keadaan putrinya, namun sulit untuk diungkapkan.
Pria bersneli yang sangat mengerti dengan hal itu, mengulas senyum hangatnya, sembari menaruh tablet yang sedari tadi di genggamnya, untuk memperlihatkan sebuah gambar hasil foto rontgen tulang bahu gadis tersebut pada walinya.
Oris pun segera mengambil benda pipih yang cukup besar itu, lalu memperhatikan gambar yang tertampil pada layar.
“Apa ini hasil rontgen tulang bahu putri saya?” tanya Oris, ketika melihat gambar fraktur clavicula, atau kondisi di mana tulang selangka atau tulang yang berada di daerah bahu, nampak patah.
Stevan menganggukkan kepala. “Setelah memberi pertolongan pertama, dan membersihkan luka, serta mengobati lebam pada kedua sisi wajahnya, kami pun segera melakukan foto rontgen pada tulang selangka putri Bapak, saat melihat bahu sedikit merosot, disertai memar membiru, dan bengkak pada area tersebut. Dan hasilnya seperti yang bisa Bapak lihat, tulang selangka pada area ini, patah.” Dokter Stevan menunjuk area yang dimaksud pada gambar tersebut, lalu kembali menatap pada Oris dan Rhea secara bergantian. “Tapi, puji Tuhan … patah tulang selangka yang dialami oleh putri Bapak dan Ibu, tidak sampai menembus kulit, mengalami sesak, atau pun pendarahan. Jadi, kami bisa mengobatinya tanpa melakukan pembedahan. Cukup dengan menggunakan arm sling atau penyangga lengan, dan juga obat-obatan penghilang rasa sakit, seperti ibuprofen, sebagai tindak lanjut pengobatannya,” lanjut Stevan, menjelaskan.
Entah harus merasa lega, senang, atau sedih mendengar penjelasan sang Dokter, Oris yang sejak tadi terdiam, hanya menganggukkan kepalanya, sembari merangkul bahu sang istri, yang masih terus terisak.
“Dok, apa … ada kekerasan fisik lainnya, yang putri saya terima? Misalnya … kekerasan seksual?” tanya Oris ragu-ragu, karena dirinya dan Rhea hingga saat ini masih belum mengetahui penyebab putrinya, hingga seperti ini.
Dokter Stevan kembali tersenyum, sembari menggelengkan kepala. “Tidak ada, Pak. Dokter Violin, spesialist obstetri dan ginekologi sudah memeriksa secara keseluruhan. Saat pasien dibawa oleh tim 119, dan menjelaskan kronologi, bagaimana pasien ditemukan, kami segera mengambil tindakan cepat, karena melihat korban sepertinya mengalami tindak kekerasan, masih dibawah umur. Dan puji Tuhan, semua hasilnya baik. Kecuali patah tulang akibat pukulan tongkat bisbol yang ditemukan di samping korban, juga cedera pada ligamen pergelangan kaki,” jelas Stevan.
Setelah mendengar penjelasan dari pria bersneli itu, Oris dan Rhea, tanpa sadar menghela napas lega secara bersamaan. Karena bagaimanapun, hal yang sangat ditakutkan oleh orang tua, terhadap putri remajanya, yaitu kekerasan seksual yang bisa mempengaruhi keadaan psikis gadis itu sendiri.
“Alhamdulillah … terima kasih, Dok, atas bantuannya. Kami benar-benar sedang tidak bisa berpikir jernih saat ini, setelah melihat keadaan Zeira,” ucap Oris, melirih.
“Sama-sama. Jika Bapak memerlukan surat visum dari rumah sakit, Saya siap untuk membantu,” ujar Stevan dengan tulus.
Pria bersneli itu sangat tahu betul, bagaimana perasaan wali pasien tindak kekerasan, ketika mengetahui anak yang sangat mereka sayangi, menjadi salah satu korban, para manusia tidak bermoral, dan tidak berakal, hingga mengalami trauma mendalam. Karena ini, bukan kali pertama, Stevan mendapatkan pasien seperti Zeira. Maka dari itu, ia bisa memahami, perasaan yang tengah dirasakan kedua orang tua pasiennya, saat ini.
Pria paruh baya yang nampak lelah itu, memaksakan seulas senyum, lalu menganggukkan kepala. “Terima kasih, Dok. Saya akan mengurus pelaporan tindak kekerasan putri Saya, besok pagi, dan akan berkoordinasi dengan pihak sekolah, juga penjaga yang menemukan putri Saya. Sekali lagi, terima kasih, Dok, atas bantuannya.” Oris pun mengambil posisi setengah membungkuk, untuk memberi hormat pada Dokter yang sudah menyelamatkan putrinya itu, begitu juga dengan Rhea yang menundukkan kepalanya satu kali.
Sedangkan di tempat lain, satu unit motor Ducati Panigale V4 berwarna merah, nampak melaju dengan kecepatan tinggi, menembus rintik-rintik tipis air hujan, diikuti satu unit mobil sport dari belakang. Karena jalanan utama sudah sangat lengang, membuat kedua pemuda, pengendara motor dan mobil sport tersebut bisa leluasa menjalankan kendaraan mereka secepat mungkin, bahkan hingga melanggar rambu-rambu lalu lintas, yang sedang menyala merah.
‘Bagas ... tunggu!! Pembalasan dari gue akan lebih menyakitkan, dari rasa sakit yang Zezei rasain, karena ulah lo!! Udah cukup, gue bungkam, dan menutup mata dengan semua tindakan lo terhadap Zezei, karena permohonan sahabat gue! Sekarang … gue udah gak peduli lagi dengan ancaman lo terhadap Zezei. Lo bakal habis di tangan gue!’ monolog Arash dalam hati.
***