Episode 5

2028 Words
            Bulu kudukku meremang. Enggan rasanya berurusan dengan perempuan satu itu, tapi apa boleh buat? Jangan sampai Papa dan Mama nanti dibilang tidak bisa mengajar anaknya sopan santun. "Saya Alicia, Kak."             Jasmine cipika-cipiki denganku. Wangi parfum bunganya menyelubungiku dengan kuat. Tidak ada yang salah dengan aromanya, aku juga suka aroma ini. Sayang sepertinya Jasmine bukan cuma menyemprotkannya, tapi mungkin mencipratkannya banyak-banyak. Aromanya terlalu kuat di hidungku dan membuatku terbatuk.             “Alice, ayo kita makan,” ajak Joseph. “Gue sudah laper nih. Ijah sudah masak belum, ya?"             Aku buru-buru berdiri. Mudah-mudahan Jasmine tidak mengikutiku. "Kayaknya sudah deh, Joe. Makan, yuk?"             Begitu masuk ruang makan, harum hidangan lezat langsung tercium jelas. "Wah, kayaknya masakannya enak-enak." Kubuka tudung saji. Ada ayam goreng, sayur asem, tempe dan tahu goreng, ikan asin dan cumi asin goreng, sambel terasi juga ada. Aku bertepuk tangan girang. "Asyik nih! Joe, ayo kita makan!"             Joseph datang beberapa menit kemudian dengan diikuti Jasmine yang terus bergelayutan di lengannya. "Lu pulang gih? Gue mau makan siang nih."             Jasmine bertindak seolah-olah tidak mendengar kata-kata Joseph, malah langsung duduk di sebelah Joseph. Diambilnya piring, sesudah itu disendokkannya nasi untuk Joseph. "Ini, Sayang."             Joseph menarik napas panjang. "Sudah makan, lu pulang. Gue masih banyak urusan."             Lagi-lagi Jasmine masih tetap tersenyum. Malah asyik menyendokkan sayur yang ada ke piring Joseph. "Makan dulu sekarang. Urusan nanti, ya nanti aja."             Aku yang melihat kelakuan sok imut Jasmine jadi merasa mual. Tapi bagaimana lagi? Sambil makan aku cuma bisa memperhatikan Jasmine yang terus menempel ke Joseph. Kuputuskan untuk menyelamatkan kakakku. "Joe, tolong anter aku ke bank, ya? Aku harus print buku tabungan sambil ambil uang."             Joseph langsung tersenyum ceria. "Oke, begitu beres makan, gue anter, ya?             Baru saja Joseph mau bicara lagi, sudah dipotong oleh celotehan Jasmine. "Aku ikut ya, Joe? Nanti seudah dari bank, kita anter Alice pulang terus jalan-jalan ke PVJ, ya? Sudah lama aku nggak ke sana."             Kali ini Joseph tersenyum. Membuatku heran juga. Kenapa dia malah kelihatan senang? Apa dia memang mau menemani Jasmine?             "Lu pulang aja. Gue kan bonceng adik gue pake motor. Lu mau ikut gimana coba? Nggak muatlah. Lagian, lu kan paling anti naik motor. Lebih baik lu minta Aryo anterin pakai mobilnya." Joseph terus tersenyum-senyum.             Jasmine mengentakkan kakinya. "Kamu masa nggak punya mobil. Joe? Ayolah anterin aku."             Joseph menggeleng, sepertinya dia puas sekali dengan usulku tadi. "Begitu selesai makan, lu pulang. Kecuali lu mau jadi penunggu rumah gue, ya terserah." Joseph mengerling padaku dengan ceria.             Jasmine memonyongkan bibirnya. Aku membatin, "Sudah punya pacar sendiri, masih pingin aja nyosor Kak Joe. Memang dasar nggak tahu malu. Untung aja aku tadi kasih ide biar dia cepet pulang."             Selesai makan, Joseph buru-buru mengambil helm dan memberikan salah satunya ke aku. "Ayo berangkat sekarang. Kalau terlalu siang, tambah macet ntar."             Aku dengan riang menyahut, "Iya, Kak. Ayo!"             Jasmine akhirnya pulang juga, walau dengan diiringi kata-kata makiannya. Biarlah. Setidaknya dia sudah tidak di rumah kami lagi.             "Pegangan yang kenceng ke pinggang gue, ya? Gue nggak mau kamu jatuh."             Aku mengangguk. Punggungnya terlihat tegap. Sepertinya enak kalau aku bersandar ke sana. Waktu tanganku memeluk pinggang Joseph, tiba-tiba jantungku berdebar lebih keras. Pipiku terasa panas. Kenapa ini? Segera kuabaikan dan berusaha bersikap biasa. "Kamu kenal Jasmine di mana sih, Joe? Aneh gitu."             Joseph tertawa keras mendengar komentarku. "Di Sydney. Mungkin karisma gue kelewat tinggi, sampai-sampai cewe kayak dia yang sudah punya pacar juga masih ngejar-ngejar gue."             Kucubit perutnya. "Ih, GR banget! Lagian kalau cewe model gitu, aduh jauh-jauh deh!"             Joseph mengaduh pelan, tapi tertawa sesudahnya. "Gitu-gitu dia banyak yang suka juga lho. Gue juga heran."             Kubelalakkan mataku. Entahlah, aku tidak bisa melihat segi menariknya Jasmine, selain dia cantik dan kaya. Mungkin cara pandang laki-laki berbeda. "Cewe jejadian kayak gitu?" Aku mencibir perlahan. "Jangan deket-deket dia, Joe. Dia aneh!"             Joseph tertawa semakin keras. "Cemburu, ya?"             "Ih, apaan sih?" Kucubit lagi perutnya keras-keras. Perutnya terasa keras di jariku. Membuat aku bertanya-tanya bagaimana bentuk perutnya? Begitu pikiran itu muncul, buru-buru aku menggeleng. Ada apa dengan diriku?             Lagi-lagi dia mengaduh. "Sadis amat. Sakit tahu!"             "Biar! Nyetir yang bener!"             Dari balik kaca spion, bisa kulihat Joseph tersenyum-senyum. Sebelah tangannya menggenggam tanganku yang melingkari pinggangnya. Entah kenapa, jantungku berdegup kencang. "Eh, awas tar nabrak!" protesku. Padahal aku diam-diam juga suka digenggam begitu olehnya. Tangannya hangat sekali. Wajahku pasti sudah merah padam dari tadi. Rasanya panas sekali. Aduh! Kenapa aku jadi begini?             Joseph tertawa lagi. "Jangan khawatir. Gue nggak bakalan deket-deket sama dia."             Mendengar itu hatiku rasanya lega. Aneh, tapi aku rasanya tidak rela kalau Joseph dekat dengan Jasmine.                Sampai di bank, aku bergegas turun. Sudah cukup banyak orang yang ada di sana. Untunglah aku hanya ke atm dan ke customer service saja, bukan ke teller.             Sementara itu Joseph memarkirkan motor dulu. Baru saja aku mau berjalan beberapa langkah, Joseph memanggilku, "Alice, sini buku tabungannya. Biar aku yang ke customer service biar cepet beres."             Kuserahkan buku tabunganku, lalu aku mengantri di atm. Joseph sudah masuk dari tadi waktu aku masih mengantri. Masih tiga orang lagi, bahuku ditepuk dari belakang."Eh, Joe. Sudah beres lagi? Cepet amat?"             "Iya, di customer service sepi. Jadi begitu datang langsung di-print-in deh. Nih, simpen baik-baik."             Kumasukkan buku tabunganku ke dalam tas. Sepertinya orang di dalam dari tadi tidak keluar-keluar. Entah dia ambil uang puluhan juta atau banyak transaksi. Aku mulai kesal menunggu dari tadi. Mungkin sudah lebih dari 5 menit dan orang itu belum juga keluar-keluar.             "Nah, akhirnya!" Seruku waktu melihat orang itu keluar. Sayangnya ternyata dia bukan keluar, melainkan mencari satpam. Satpam terlihat membantunya melakukan transaksi. Sesudah itu satpam keluar lagi. Kukira tidak lama, orang itu akan keluar. Nyatanya dia masih terus berkutat di dalam. Aku sampai berjinjit-jinjit untuk mengintip yang orang itu lakukan. Tiga orang di depanku juga mulai kehilangan kesabaran.             "Alice, kamu butuh uang berapa? Apa mau ambil di dalem aja? Tapi di dalem juga panjang banget antriannya lho."             "Uhm, seratus ribu aja sih, Joe, buat beli buku persiapan UAN."             "Ya sudah, pakai uang gue dulu aja. Ketimbang tungguin terus di sini. Kamu kalau kurang uang, minta ke Papa aja."             "Iya, Kak. Eh, maksudku, iya, Joe."             Joseph hanya tersenyum kecil lalu dia menggandeng tanganku untuk berjalan ke tempat parkir. "Kamu mau ke mana lagi dari sini?"             "Ke toko buku aja, ya? Kamu lagi sibuk nggak, Joe? Aku nggak enak kalau ngerepotin kamu."             "Engga sibuk kok." Sempat kudengar sayup-sayup gumamannya, "Kalau buat kamu, apa juga bakal aku lakukan."             Ah, pasti aku salah dengar, tapi terdengar cukup jelas walaupun agak pelan. Beruntung aku punya Kakak sebaik Joseph. Walaupun dia hanya kakak angkatku, dia sepertinya benar-benar peduli padaku.             "Nih pakai yang bener helmnya. Jangan cuma asal dipasang tapi nggak dipasang talinya."             "Tapi kan ribet, Joe. Mana panas gini lagi," protesku.             "Sudah jangan ribut. Gue pernah lihat ada yang kecelakaan motor persis 100-200 meter di depan gue. Jadi yang nyetir kayaknya cowonya. Dia bonceng ceweknya. Ceweknya pake helm tapi cuma asal pake aja. Begitu tabrakan, ceweknya terlempar jauh gitu. Kena trotoar dan kepalanya bocor langsung. Kayaknya nggak selamat soalnya si cowoknya nggak lama nangis histeris."             Aku bergidik mendengar cerita Joseph. Kucemberuti Joseph waktu mengambil helm dari tangannya. Buru-buru kupakai helmku dan tidak lupa kupasang talinya. "Ngeri bener siang-siang cerita horor kayak gitu. Aku kan paling takut denger yang kayak gituan."             Joseph malah tertawa terkekeh-kekeh. "Syukur kalau kamu ngeri. Daripada kejadian, gimana coba nanti Papa dan Mama?"             Kucubit perutnya keras-keras. Dia sampai mengaduh. Ada beberapa orang yang di tempat parkiran yang menoleh ke arah kami. Aku jadi malu sendiri.             "Tuhh, gara-gara kamu, Joe. Jadi pada ngelihatin ke sini."             "Lho kok gara-gara gue. Tadi yang nyubit siapa?"             "Huh! Sebel!" Aku makin cemberut waktu naik ke motor.             "Pegangan yang kenceng. Jangan sampai lepas!"             "Iya, bawel!"             Joseph malah tertawa lagi. "Biar bawel tapi ganteng. Toh demi keselamatan kamu juga."             "Huuu, GR! Ya ampun punya kakak satu gini tapi narsis selangit."             "Eh, kenyataan tahu. Kalau aja kamu tahu, di kampus dan di tempat kerja, fans gue banyak bener. Kalau gue mau, dipacarin sehari ganti, terus besoknya sama yang lain lagi juga bisa."             Aku cuma menggeleng-geleng mendengar omongannya yang super narsis. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kakakku ini memang ganteng sih. Dia awalnya cenderung dingin. Sekarang malah asyik sekali untuk jadi teman mengobrolku.             Sepanjang jalan aku diam saja. Tadi pagi aku baru dihubungi agen asuransi Ibu, katanya aku mendapat uang pertanggungan asuransi jiwa Ibu. Aku sama sekali tidak mengira kalau Ibu ikut asuransi jiwa. Selama ini aku memang tidak tahu-menahu sama sekali. Uang pertanggungannya banyak sekali, 500 juta. Mungkin Ibu sudah tahu kalau usianya tidak lama lagi.              Ibu tidak pernah memperlihatkan wajah menderita, apalagi air mata kesakitan. Tidak ada sama sekali.... Itu sebabnya tiga minggu lalu, waktu tiba-tiba dipanggil ke kantor kepala sekolah, aku sangat kaget. Kepala sekolahku mengabarkan Ibu masuk rumah sakit.             Waktu aku ke rumah sakit, Ibu hanya tersenyum sahat melihatku. Malah Ibu berkata, "Ibu tidak apa-apa, Sayang."             Waktu akhirnya mendengar dari dokter mengenai kondisi Ibu yang sebenarnya, itu menghancurkan duniaku. Ibu terkena kanker stadium 4, tidak pernah datang untuk dikemoterapi. Itu sebabnya Ibu tidak menunjukkan tanda-tanda orang sakit kanker. Di depanku, Ibu selalu tersenyum, seakan semuanya baik-baik saja.             Kondisi Ibu makin memburuk setiap harinya, tapi di depanku sedikit pun Ibu tidak pernah menunjukkan hal itu. Ibu malah menyuruhku sekolah supaya tidak tertinggal pelajaran yang ada. Aku menolak supaya bisa bersama Ibu.             Selama 2 minggu aku melihat perlahan-lahan cahaya dari matanya mulai meredup. Sampai akhirnya Ibu meninggalkan aku pesannya yang terakhir, "10 hari dari sekarang, ambillah surat di lemari Ibu. Di sana Ibu sudah jelaskan semua yang harus kamu tahu. Ibu menyayangimu, Alice."             Tak lama kemudian, Ibu mengembuskan napas terakhirnya. Aku masih ternganga, sama sekali tidak percaya Ibu pergi begitu cepat. Di saat terakhir pun Ibu tetap tersenyum padaku. Bahkan Ibu sudah mengatur semuanya: mengenai tempat penguburannya (di samping kuburan Ayah), juga menyurati Papa, dan meminta tanteku menghubungi agen asuransi untuk membantu mengurus klaim uang pertanggungan untukku.             Semua hal sudah Ibu pikirkan. Ya, semuanya sudah Ibu aturkan untukku. Seakan-akan ingin memastikan kalau aku akan tetap terjaga sesudah kepergiannya.             Sampai sekarang, masih serasa tidak percaya karena Ibu sudah tiada. Rasanya seperti masih kemarin waktu aku mengobrol dengan Ibu sambil menikmati secangkir teh melati tanpa gula kesukaannya. Seakan-akan kepergian Ibu seperti mimpi buruk yang kuharap akan segera berlalu waktu aku terbangun.             Sayangnya, ini bukan mimpi buruk.... Terlalu banyak kenangan indah akan Ibu. Bahkan sampai akhir, Ibu hanya memikirkan aku. Asuransi itu sepertinya untuk memastikan supaya hidupku ke depan akan baik-baik saja. Tidak cukup hanya itu, Ibu juga mengabari Papa tentang aku.             Delapan belas tahun sudah lewat, tapi baru mendekati kepergiannya Ibu memberitahu Papa mengenai aku. Mungkin Ibu tidak mau merusak rumah tangga Papa. Mungkinkah Ibu mengira dia masih bisa bertahan? Masih bisa sembuh? Aku tidak akan pernah tahu jawabannya, yang kutahu aku sangat merindukannya.             Terbawa lamunan, aku tak sadar kalau kami sudah sampai di toko buku.             Genggaman Joseph pada tanganku yang di pinggangnya menyentakanku dari lamunan.  "Alice, kamu masuk duluan aja. Gue cari parkir dulu, oke?"             "Nggak sama-sama aja, Joe? Nggak apa-apa kok barengan."             "Jam-jam segini suka susah parkir. Daripada tar lama, sudah kamu cari dulu aja bukunya. Tar gue nyusul."             "Oke deh kalau gitu."             Aku mencari-cari petunjuk lantai lalu langsung ke lantai dua tempat khusus untuk buku pelajaran. Di sana sudah banyak dipajang buku persiapan UAN. Kuambil satu. Awalnya kulihat daftar isinya, kulanjutkan secara acak melihat-lihat soal dan pembahasannya, lalu membacanya perlahan.             Baru saja aku membalik satu halaman, punggungku ditepuk. Waktu kuberbalik ternyata Gerardine, Viria, dan Sonny, teman-teman sekelasku. "Hei, kirain siapa. Sampe kaget! Bertiga aja nih?"             "Iya, lu sama siapa? Sendiri?" tanya Viria.             "Enggak, gue sama kakak gue. Cuma dia lagi parkir motor dulu."             "Hah? Kakak? Gue baru tahu lu punya kakak, Alice. Bukannya lu anak tunggal, ya?" celetuk Sonny.             "Uhmm..., kakak angkat sih benernya, bukan kakak kandung atau kakak tiri."             "Oh, ya? Bukan kakak ketemu gede, kan?" goda Viria, sukses membuat aku jadi merona.             Aku cuma senyum-senyum sambil berlagak berpikir. Baru mau menjawab, kulihat Joseph sudah mendekati kamu. "Nah tuh dia kakak gue."             "Gimana sudah dapat bukunya?” tanya Joseph. “Eh, ada temen-temen kamu, ya?"             "Iya, ini Gerardine, Viria, dan Sonny. Mereka temen-temen sekelas aku. Temen-temen, kenalin kakak gue. Namanya Joseph, tapi gue dan orangtua gue biasa panggil Joe."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD