Episode 6

2028 Words
             Gerardine dan Viria tersenyum manis ke arah Joseph. Joseph mengangguk ke arah teman-temanku. Viria malah menarik tanganku dan menyeretku menjauh. "Waduh gileee, kenapa lu nggak bilang kalau kakak lu ganteng gitu?"               "Lah, kan baru aja gue kasih tahu kalau gue baru punya kakak angkat. Mana sempet gue kasih tahu lu. Lagipula dia nggak ganteng kok. Biasa aja menurut gue."              "Kayaknya gue naksir pada pandangan pertama nih. Lice, lu bantuin gue biar deket kakak lu dong? Ya? Ya?"               "Aduh lu tuh, kakak gue banyak yang naksir. Barusan aja ada yang ngejar-ngejar dia sampai ke rumah. Dari Sydney coba sampai dikejar-kejar gitu." Kugeleng-gelengkan kepalaku mengingat perilaku Jasmine yang sampai membuat aku dan Joseph harus kabur ke sini.              "Yah nggak apa-apa kan kalau nambah satu lagi yang deketin kakak lu? Bantu temen dan kakak sendiri kan pahala banget."              "Bantu apaan? Kalau Joe nggak mau, gue juga kan nggak bisa maksa," bantahku sambil mengangkat bahu. Jangan sampai aku terjepit di tengah-tengah.              "Biar lu jadi adik ipar gue gitu. Ntar gue traktir deh."              Kutoyor dahi Viria dengan main-main. "Ogah gue punya kakak ipar kayak lu. Bisa-bisa gue disiksa tiap hari wakakakkaka."              Viria baru mau membantah tapi omongannya terpotong Joe yang memanggilku. "Alice, sudah belum cari bukunya? Malah asyik ngobrol lagi?"              "Eh, iya iya. Ini Viria nih, Joe. Malah ngajak ngerumpi."              Viria malah tersenyum malu-malu ke arah Joseph. Bolak-balik dia curi-curi pandang ke arah Joseph. Joseph malah tidak sadar kalau Viria terpesona padanya.              Baru aku memilih dua buku untuk kubeli, Viria mendekatiku lagi. "Pokoknya gue minta lu jadi mata-mata gue, Lice. Kalau ntar gue beneran jadian sama kakak lu, minta apa aja boleh deh."              "Termasuk minta rumah, mobil, duit di Bank?" tantangku iseng.              Giliran Viria yang menoyor dahiku. "Kira-kira woi kalau minta. Itu sih matre lu."              Kami malah ngakak berdua. Gerardine dan Sonny yang juga asyik mencari-cari buku UAN sampai heran melihat kami berdua.              "Kalian ngomongin apa sih dari tadi? Kayaknya asyik banget?" ujar Gerardine penasaran.              Aku mengangkat bahu, berlagak pura-pura tidak tahu. Kutunjuk-tunjuk ke arah Viria. "Tanya aja nih sama Neng Viria."              Viria malah cengengesan tidak jelas, tapi masih tetap curi-curi pandang ke arah Joseph. Pelan-pelan pipinya memerah juga. "Adaaaa aja. Want to know aja lu."              Gerardine geleng-geleng kepala melihat kelakuan Viria. Sementara Sonny tetap cuek saja dan tidak berkomentar.              Sesudah 30 menit aku serius mencari-cari, membaca, membolak-balik, membandingkan buku satu dengan buku lainnya, akhirnya aku memilih tiga buku untuk dibeli. Kucari-cari Joseph, ternyata dia sepertinya ada di bagian lain.              "Gue cari kakak gue dulu ya, Temen-temen. Tar ngobrol lagi besok, ya?"              "Oke, daaaaahhhh," lambai Gerardine, Viria, dan Sonny.              Baru sekitar 10 langkah aku berjalan, ponselku berbunyi. Viria mengirimkan bbm. Pokoknya jangan lupa laporannya tentang Joe. Gue pingin tahu semua tentang dia. Oke? Oke? Please? Emang lu temen gue yang paling baek, paling cantik, paling pinter, paling semuaaaanya deh. Sip, ya?              Aku hanya cekikikan sendiri membaca bbm Viria. Memang khas Viria, kalau ada maunya pasti merayu-rayu setinggi langit.              "Sudah belum cari bukunya? Malah ketawa-ketawa sendiri, disangka gila baru tahu rasa kamu."              "Eh, Joe, baru aku mau cari kamu. Heheheh, iya lucu aja Viria. Ini sudah dapet bukunya kok."              "Sini kasih ke gue. Biar gue yang antri."              Akhirnya kuberikan buku yang kupegang ke Joe. Joe bergegas ke kasir dan membayar bukunya. "Nih, belajar yang bener. Gue nanti sore kirimin aplikasi kamu ke UNSW. Tar kalau ada perkembangan kabar dari sana gue kabarin."              "Sip! Makasih Kakakku yang baik!" balasku ringan.              Di luar dugaan, ekspresi Joseph malah jadi keruh. Dia seperti mau mengatakan sesuatu, tapi berubah pikiran. "Yuk, pulang. Gue masih banyak kerjaan."              Waktu kami sudah di jalan, aku mencolek pinggang Joseph.              Joseph mengedik. "Apa sih colek-colek? Geli tahu?" omelnya, tapi malah mengeratkan tanganku ke pinggangnya.              "Ehm.. menurut kamu gimana Viria, Joe?"              "Viria? Biasa aja, kenapa?"              "Uhm... nggak apa-apa."               Aneh, tiba-tiba saja aku merasa lega dengan jawaban Joseph. Tadinya aku agak was-was, soalnya Viria memang sangat cantik dan supel. Banyak sekali yang suka Viria, tapi dia lebih suka dengan yang lebih tua. Mungkin syndrome father complex, yang menyukai laki-laki lebih tua yang mirip ayahnya. Mengingat ayah Viria memang sangat berwibawa dan kebapakan.              "Alice?"              Karena terlalu asyik melamun, panggilan Joseph tidak kuhiraukan. Sampai akhirnya Joseph mengelus tanganku dan memanggilku dengan nada mesra, "Sayang? Kok diem aja?"              Terkejut, kupukul punggung Joseph pelan. "Apaan sih? Lupa minum obat, ya?"              Joseph mengakak keras sekali sampai motor terguncang-guncang.              "Eh, awas nabrak ntar. Apa sih, Joe?"              "Abisnya gue panggil-panggil dari tadi kamu diem aja. Mikirin apa?"              "Eh.. manggil aku, ya? Hehehe nggak kedengeran. Engg.. mikir... kalau kamu pacaran sama Viria gimana?              Joseph malah tertawa semakin kencang. Sampai-sampai dia harus membuka kaca helm untuk mengusap air mata yang keluar.              "Ih, ditanya malah ngakak. Ati-ati nyetirnya. Kamu tuh, Joe, gimana sih?"              Joseph lagi-lagi tersenyum tengil. Menatapku lewat spion kiri. "Viria naksir gue ya? Huahaha emang pesona gue nggak tertahankan. Tapi tenang, gue nggak bakal kok naksir dia. Kamu tenang aja." Digenggamnya erat beberapa detik tanganku yang ada di pinggangnya.               Kuembuskan napas pelan mendengar jawaban Joseph. Lega! Sepanjang jalan aku tersenyum-senyum sendiri. Kutatap punggungnya dengan hangat. Kusandarkan kepalaku ke punggungnya sambil mendesah pelan.               Apa aku memang sudah mulai menyukai kakakku sendiri? Lalu bagaimana aku harus jelaskan ke Viria? Terlebih ke Papa dan Mama? Aku menggeleng-geleng. Lebih baik tidak usah berpikir terlalu jauh. Belum tentu ini cinta. Lagipula aku juga tidak tahu perasaan Joseph padaku.               Sejak bertemu Viria di toko buku, Viria lebih sering lagi bbm dan telepon aku. Sehari lebih dari tiga kali, kalah deh itu resep obat yang sehari tiga kali. Sampai-sampai aku mulai mual juga dengar pertanyaan Viria yang itu-itu saja.               Hari ini Viria telepon yang keempat kalinya. Pertanyaannya bolak-balik sama, "Lice, Joe sudah punya pacar belum?"               "Belum."               “Ada yang lagi pdkt sama dia nggak?"               "Tahu tuh."               "Joe sukanya cewe kayak gimana?"               "Entah, gue juga nggak tahu. Lu tanya sendiri sendiri aja sama orangnya."               "Kyaaa, gue kan malu. Gini-gini gue pemalu."               Arghhhhhh! Gemas! Mungkin kalau berhadapan langsung dengannya, sudah kutoyor juga kening Viria yang lebar itu. Katanya sih pertanda orang cerdas, tapi mengingat pertanyaan tidak bermutu yang bolak-balik dilontarkannya padaku membuat aku benar-benar ragu dengan mitos itu.               Sayang dia termasuk sahabatku. Jadi biarpun aku sudah mulai mual, bosan, ingin sekali membanting ponselku (eh, jangan kalau yang ini. Ponselku tidak bersalah hehehe), tetap kulayani juga pertanyaannya.               "Pemalu? Pemalu dari Hongkong? Malu-maluin baru bener," ledekku sambil meleletkan lidahku. Sayang Viria tidak bisa melihatnya.               "Sialan lu! Wakakakkaak. Tapi emang Joe itu gile keren abissss! Body-nya man! Aduhhh! Alisnya tebel, matanya tajem. Idungnya mancung. Ahhhhhh, gue heran lu tiap hari lihat dia apa nggak stroke?"               "Hush! Payah nih punya temen satu, malah doain gue yang enggak-enggak," sungutku.               "Bercanda, Bu. Ya, kan kalau deg-degan tiap hari berarti pembuluh darah ke jantung bekerja lebih cepet. Nah siapa tahu aja pembuluhnya overload trus pecah," ceramah Viria panjang lebar.               "Halah, baru belajar tentang sistem peredaran darah aja sudah sombong lu. Sana kalau mau ngasih pelajaran sama Sonny. Biologi dia kan jeblok. Lha, sama kakak sendiri mana ada deg-degan?" kilahku berbohong, sambil menyilangkan jari di balik punggungku. Aku sendiri tidak tahu efeknya, tapi yang kulihat-lihat di film-film kalau habis berbohong rata-rata tokohnya menyilangkan jari di balik punggungnya. Mungkin tolak bala supaya tidak kualat gara-gara bohong. Entah, aku ikut-ikutan saja mitos itu.               "Ah, tapi itu kan kakak ketemu gede. Lagian nggak ada hubungan darah sama sekali kan sama lu?" bantah Viria. "Bisa aja sekarang lu bilang gini gitu. Mana tahu besok lusa, lu kesambet dan naksir senaksir-naksirnya sama Joe," sambungnya panjang lebar.               Deg! Kalau mau jujur, sebenarnya memang sudah ada rasa itu. Sayangnya aku juga bingung. Aku tidak mau mengecewakan Papa dan Mama, apalagi buat malu keluarga kami. Apa kata orang kalau tahu aku suka kakakku sendiri? Ehem, walau yah, tidak ada kaitan darah apapun.               "Lha lu malah diem aja. Tidur lu?" cerocos Viria lagi.               "Enak aja tidur. Dengerin radio butut dari tadi gimana gue bisa tidur? Kuping gue sakit tahu, boro-boro bisa tidur," ledekku lagi.               "Aishhhh, radio butut apanya? Kuping lu tuh yang ngaco. Suara gue merdu gini."               Aku mengeluarkan suara seperti orang muntah. Kami tertawa-tawa.               "Paling juga kalau gue nggak telepon, lu bakalan kangen. Iya engga? Pasti iya dong. Gue tahu kalau gue emang ngangenin sih." Repetan Viria masih terus saja memuji dirinya sendiri.               "Sudah, sudah. Sebelum gue muntah beneran ntar. Eh ya, udahan dulu ya, Vir. Ada sms masuk dari Anthony, katanya mau telepon gue nggak bisa. Lagian sudah bosen gue ngobrol sama lu. Topiknya itu-itu mulu."               "Ya sudah lu angkat dulu sana. Tar gue telepon lagi. Peluk cium buat Joe ganteng. Muaaah."               Aku tertawa kecil sambil mematikan ponsel dan segera mengangkatnya lagi beberapa detik kemudian.                           "Halo Anthony? Sorry tadi Viria telepon. Ada apa?"               "Hi Alice, uhm.... itu. Kan adik gue ulang tahun sweetseventeen di hotel Hilton. Dia suru gue undang lu. Bisa datang nggak?"               "Oh tanggal berapa? Jam berapa?"               "Tanggal 16, Sabtu. Jam 6 sore. Ntar gue jemput kalau memang lu nggak ada yang nganterin. Gimana?"               "Kayaknya sih gue bisa, tapi gue harus izin dulu sama Papa Mama. Ada dress code-nya nggak?"               "Enggak ada kok. Ntar kalau sudah pasti dapat izin, kabarin gue, ya, butuh jemput atau enggak?"               "Sip! Thanks, Ton."               Aku heran juga. Dessy, adik Anthony, sebenarnya tidak dekat denganku walau kami saling mengenal. Tapi diundang datang ke perayaan ulang tahun ke-17 yang cuma sekali seumur hidup, sebisa mungkin aku ingin datang juga.               Buru-buru kucari Mama di dapur. Ternyata Mama tidak ada di dapur. Kucari di kamarnya, juga tidak ada. Akhirnya aku lihat Mama di taman belakang. "Ma, dicari-cari ternyata ada di sini toh."               "Ada apa, Sayang? Sampe keringetan gitu coba. Nih, lap dulu keringet kamu." Mama menyodorkan saputangannya padaku.               Kuusap keringatku yang bercucuran gara-gara berlari-lari dari dapur, ke kamar, ke kamar mandi, sampai ke ruang tamu, dan akhirnya ke taman belakang. Itu berarti dari belakang, ke tengah, ke belakang lagi, ke depan, lalu ke belakang lagi. Pusing? Hehehe, aku juga. Saputangan Mama wangi bunga, sepertinya wangi bunga mawar. Warnanya merah muda yang lembut, persis seperti Mama.               "Alice nanti masukkin ke ember cuci ya, Ma, saputangannya."               Mama mengangguk-angguk. "Tarik napas dulu. Ada apa cari Mama?"               "Gini, Ma, temen Alice ada yang ngundang ke pesta ulang tahun adiknya yang ke-17. Alice boleh datang kan, Ma? Kata Tony, itu yang adiknya ulang tahun, dia bakal jemput kalau emang nggak ada yang anterin Alice. Boleh ya, Ma? Boleh, ya?"              "Boleh aja, asal pulangnya jangan terlalu malam. Soalnya kasian juga Papa kalau harus jemput malam-malam," jawab Mama sambil tersenyum kecil. "Tapi nanti kamu bilang dulu ke Papa lho, Alice."               "Iya, Ma. Pasti."               Baru aku berbalik, Mama memanggilku lagi. “Alice?”               Aku tidak jadi kembali ke kamarku. "Apa, Ma?"               "Tony itu temen deket kamu, ya?"               "Hm..., enggak kok, Ma. Ya, temen biasa aja. Kalau temen deket Alice kan Gerardine, Viria, Sonny. Memangnya kenapa, Ma?"               "Kalau adiknya Tony, siapa namanya?"               "Dessy, Ma. Kenapa, Ma?"               "Kamu deket juga sama Dessy?"               "Ya enggak sih, Ma. Cuma kenal gitu aja. Emang kenapa sih, Ma?" tanyaku penasaran dengan pertanyaan Mama yang beruntun.               Bukannya menjawab Mama malah senyum-senyum sambil memandangku. Mama lalu menepuk-nepuk kursi taman, menyuruhku duduk di sebelah Mama. "Mama cuma aneh aja kok Tony mau jemput kamu segala. Apalagi Tony dan Dessy bukan temen deket kamu. Jangan-jangan...." Mama malah tidak melanjutkan perkataannya. Membuatku tambah penasaran.               "Jangan-jangan apa sih, Ma? Ih, Mama nih. Alice jadi tambah penasaran."               Mama mencubit kecil tanganku. "Kayaknya Tony suka kamu kalau gitu."               "Hah? Tony? Nggak mungkin deh, Ma. Ngomong sama aku juga jarang."               "Ya, barangkali dia gugup kalau harus ngobrol sama kamu. Oh ya, kamu sudah punya pacar belum, Sayang?"               "Eh..., belum, Ma."               "Kalau misalnya sudah ada, jangan lupa dibawa ke rumah. Kenalin ke Mama dan Papa, ya? Misalnya nanti pacaran sama Tony, ya ajak ke rumah."               "Ah, Mama nih. Kalau sama Tony sih enggak deh, Ma. Bukan tipe Alice."               "Memang tipe kamu seperti gimana?"               Bayangan Joseph muncul di benakku. Membuatku langsung tersipu malu. Buru-buru aku menggeleng-geleng kepala, mencoba menghapus bayangan itu. Di sebelah Mama, bisa-bisanya aku malah terpikir Joseph. Aduh!               "Kenapa, Alice?"               Aku terdiam beberapa saat. Kupegang tangan Mama sambil menatap dalam-dalam. "Uhm..., Ma, kalau misalnya Alice suka sama orang yang Mama dan Papa nggak mungkin setujui gimana?"               Mama tidak menjawab, malah menatapku balik. Seolah-olah ingin membaca pikiranku. "Yah, kalau buat Mama, jelas harus lihat dulu orangnya baik atau engga. Keluarganya juga. Kalau sampai Mama nggak setuju, pasti ada alasan jelas. Sebisa mungkin, Mama nggak bakal buru-buru nggak setuju kalau memang pilihan kamu itu baik. Jadi jangan takut. Kalau ada yang kamu suka, ajak ke rumah aja dan kenalin ke Papa dan Mama. Ya, Alice?"               Mendengar jawaban Mama membuatku menggigit bibir bawahku. Rasanya aku semakin tidak sanggup kalau harus mengecewakan Mama. Mama sudah begitu bijaksana dan baik, bagaimana mungkin aku harus membuat Mama sedih? Lagipula Joseph tidak pernah mengutarakan perasaannya padaku. Mungkin saja dia cuma senang mempermainkan aku. Toh jarak usia kami cukup jauh, mungkinkah dia tertarik padaku? Rasanya tidak mungkin....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD