Jadwalku selanjutnya hancur seketika. Bagaimana aku bisa melupakan fakta bahwa aku dan Sam pernah merekam hal itu beberapa kali?
Ya, Sam benar. Aku hanya gadis bodoh yang mencoba peruntungan untuk menjadi gadis licik. Belum menjadi gadis licik, aku sudah dibodohi habis-habisan oleh mantan kekasih gilaku.
"A-apa maksudmu?" tanyaku tergagap padanya. Sam tertawa merendahkan. Tubuhku terlalu bergetar untuk membalasnya telak seperti biasa.
Sam mengeluarkan ponsel miliknya, mengutak-atiknya sebentar lalu mengangkatnya ke udara. Betapa terkejutnya aku, tampilan di ponselnya adalah video kami saat itu. Aku nyaris menangis jika saa tak mengingat bahwa aku adalah pemenang piala Oscar lima tahun berturut-turut.
Seorang Gyorintt adalah orang yang kuat dan manusia paling bermulut sampah.
Aku membuat rileks seluruh tubuhku yang mulai kaku dan tegang. Sudut bibirku mulai membentuk seringaian. "Kau mencoba memerasku? Bukan hanya karierku yang akan hancur, kau juga bodoh!" kataku sambil tersenyum licik.
Dia balas tersenyum, senyum serupa dengan milikku. "Aku bisa membuat blur wajahku," katanya enteng.
"Mungkin jika video ini aku upload di Smart, kau akan lebih terkenal dari sekarang. Tetapi sebagai seorang pornstar," lanjutnya lagi licik.
Dan kali ini, aku kalah
1-1
∞∞∞
Mobilku sudah terparkir lebih dari satu jam di basement. Hari sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Namun aku masih belum ingin keluar dari mobil. Memikirkan hal tersebut membuat aku kesal sendiri.
Aku tak ingin Ibuku menangis karena kelakuanku kali ini. Tidak. Tidak boleh.
Berpikir, Gior.
Aku memukul-mukul kemudi karena tak ada satu ide pu yang muncul didalam kepalaku. Tak lama, cahaya menyilaukan muncul dan sebuah mobil Lexus berwarna hitam masuk dan parkir di blok yang sama denganku.
Pria itu.
Dengan cepat aku mengambil tas yang berada dikursi penumpang dan keluar mengejar pria itu.
"Hei tunggu!" teriakku pada pria itu, namun dia masih terus berjalan seolah-olah tak mendengarkan teriakanku.
Aku berlari semakin cepat, tak mempedulikan tatapan orang-orang yang melihat ke arahku heran karena berlari menggunakan stiletto setinggi 9 cm. Pria itu masih berjalan dengan santainya sambil menjinjing sebuah laptop berlambang apel dengan sudut yang tergigit.
Dengan usaha mati-matian akhirnya aku berhasil menahan tangannya untuk berhenti. Dia menoleh dan menaikkan satu alisnya kepadaku. Memberiku tatapan bertanya.
"Sedari tadi aku meneriakimu!" sergahku. Dia mendelik dan menyentak tanganku. Beberapa kali sentakkan tanganku terlepas dan dia berjalan terus tanpa melirik ke arahku lagi.
Dengan geram, aku melepaskan kedua stiletto milikku dan berlari secepat angin demi mengejarnya. Keberuntungan sepertinya sedang berpihak padaku, di depan kami sudah tersaji lift yang otomatis membuat dia berhenti untuk menunggu.
"Tuan, tuan. Dengarkan aku, "kataku sambil menghalangi jalannya. Lagi-lagi dia hanya mendelik, namun menungguku untuk bicara.
"Baiklah, aku akan mempercepat ini. Bisakah kau beritahu aku dimanakah aku bisa menemukan seorang hacker atau mungkin orang yang sangat ahli dalam teknologi?" tanyaku sambil memasang puppy eyes yang selalu sanggup meluluhkan Laura, Elsa, Sam, bahkan ibuku.
Dia menghela nafasnya kasar, "Memangnya apa yang akan aku dapatkan jika aku memberitahukannya padamu?"
Apa yang akan aku berikan? Bodoh!
"Apapun," jawabku cepat dan tegas.
Namun dia mendengus dan berjalan melewatiku masuk ke lift begitu saja. Apakah aku baru saja ditolak?
"Hey tuan! Kau menolakku?" tanyaku frustasi sambil mengikutinya masuk ke dalam lift.
Dia mengangkat bahu acuh.
"Kau ingin memberiku apa? Kau tak akan mampu jika aku meminta uang." A ku mendelik, namun kemudian aku baru menyadari jika hal itu benar. Pria ini tampan tak bercela dengan produk mahal menempel pada tubuhnya. Yang membuatku langsung bergidik ngeri. Ditambah lagi, hutang kartu kreditku yang belum kunjung lunas. Baiklah, penghasilanku melimpah, tetap saja sebagai seorang aktris Hollywood aku memiliki segudang kebutuhan juga!
"Apa kau secara tidak langsung menawarkan tubuhmu padaku?" tanyanya kurang ajar. Tanpa sadar tanganku melayang dan menampar pipi sebelah kanannya.
Lagi-lagi aku merutuki sikapku pada orang ini. Bahkan untuk kali ini aku tak bisa merendahkan harga diriku walaupun hanya sedikit. Aku lebih mementingkan egoku yang jauh di atas segalanya.
Aku meratapi tanganku yang kini terasa panas membakar, bukti bahwa aku menamparnya dengan keras. Sedangkan pria di sebelahku, keadaannya sangat menyedihkan. Kacamatanya terlepas dan tak tahu dimana keberadaannya sekarang. Pipinya memerah dengan bekas merah menyerupai tangan kecil terlukis indah di sana.
"Apa yang kau lakukan?" teriaknya marah. Aku hanya memejamkan mata dan menutup telinga, tak berani melihat atupun mendengar kemarahan lanjutannya.
"Kenapa kau begitu ketakutan?" tanyanya heran ketika aku sudah membuka mata dan telinga,
"Ah, tidak ... aku hanya ... well begitulah."
Tak ada lagi yang bicara di antara kami kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Lift ini bahkan berjalan begitu lambat yang membuat dadaku langsung sesak. Apa yang salah?
Dia terus memegangi pipinya sampai pintu lift terbuka. Sejujurnya aku merasa bersalah, tentu saja. Aku masih memiliki hati nurani. Walaupun terhadap pria-pria aneh seperti dirinya, maksudku pria nerdy.
"Mampir untuk mengobati lukamu?" tawarku yang langsung dibalas dengan delikan. Apakah pria ini tak bisa mengeluarkan ekspresi lain kecuali mendelik?
"Laura tak tinggal disana lebih dari setahun, dan kau baru berada disana tadi malam. Aku tak yakin kalian menyimpan obat-obatan," katanya acuh lalu kemudian menekan kode pengamannya sendiri. "Masuklah, obati aku didalam. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang kurang ajar lagi setelah tahu betapa sakitnya tamparanmu."
Aku menggaruk dahiku tak enak, "Eh ... Baiklah."
∞∞∞
Andrew Smart. Nama yang lucu.
Aku baru mengetahui nama tersebut ketika melihat beberapa pigura miliknya yang bertuliskan nama dan momen-momen apa saja dia hadiri.
Sepertinya dia memang seorang kutu buku sejati. Semua sudut ruangan ini dipenuhi oleh berbagai macam buku dan benar dugaanku, berbagai macam video game tersimpan rapi di dalam sebuah lemari kaca.
"Senang dengan apa yang kau lihat?" aku terkejut dan langsung berbalik, rambutnya acak-acakan dan tampak basah. Kali ini dia tidak menggunakan kacamata dan terbukti dia memang lebih tampan tanpa kacamata. Namun, warna merah di pipinya benar-benar mengganggu.
Dia duduk di sebuah sofa di depan TV dan menepuk-nepuk sisi yang berbeda. "Kemari, dan obati memarku!" perintahnya yang langsung aku turuti dengan segera.
Aku mengompres pipinya dengan campuran ramuan cina yang aku tak tahu bagaimana membacanya. Dia hanya diam bermain ponsel sambil sesekali meringis. Aku tak berani mengajaknya bicara, tentu saja takut menghadapi delikan serta kemarahannya lagi.
"Kau," panggilnya yang membuat aku tersadar jika sedang memperhatikan wajahnya, "Kenapa kau memerlukan seorang hacker?"
"Sejujurnya aku tak akan memberitahumu jika kau bukan seorang hacker," kataku dengan jujurnya.
Dia menatapku bingung, "Aku harus tahu alasanmu terlebih dahulu, jika tidak mungkin saja kau adalah mata-mata perusahaan lain yang akan membuat sebuah perusahaan hancur."
Aku memukul tengkuknya, "Kau terlalu banyak membaca w*****d!"
Dia mengaduh kesakitan, lalu kembali bertanya ada apa sebenarnya.
"Kenapa kau perlu tahu? Atau jangan-jangan kau akan menjual beritaku pada wartawan?" tuduhku dengan nada horror.
Dia mendelik, lalu menelusuri wajahku. Lalu kemudian dia tertawa. "Bagaimana aku tidak bisa mengenalimu? Bahkan wajahmu hampir terlihat disemua tempat."
"Jadi kau baru menyadarinya sekarang?!" tanyaku histeris. Dia tersenyum manis lalu mengangguk memamerkan kedua lesung pipinya. b******n mana lagi yang akan aku tipu dengan mengatakan bahwa dia tidak tampan?
Dia bagaikan karya Tuhan tanpa cacat.
Samar-samar suara gonggongan terdengar, perlahan merusak lamunan gilaku mengenai wajah tampan Drew. Dan sialnya suara itu semakin mendekat.
"KYAAAAAA SETAN KECIL APA YANG KAU SIMPAN DI DALAM SINI?!" teriakku ketika melihat dua ekor anjing berwarna putih berlari tanpa melihat arah. Tatapan kedua anjing itu terfokus pada Drew ... dan aku.
Drew tertawa lepas ketika anjing-anjingnya dengan girang menjilati wajahnya. Namun itu tak berlangsung lama karena kedua setan kecil itu mulai berpindah pada wajahku.
"Singkirkan benda berbulu ini, b******k!" teriakku semakin keras ketika kedua anjing ini semakin brutal menjilati, seperti ingin habis melahap wajahku.
"Tenanglah, mereka hanya Joo dan Coo," katanya sambil mencoba menarik dua anjin miliknya.
"Joo, Coo hentikan. Dia nona manis," katanya pada kedua anjing putih tersebut. Dengan ajaib kedua anjing itu langsung menghentikan menjilati wajahku.
"Aku akan mandi terlebih dahulu, baru akan membicarakan masalah kita lagi," kataku melihat ke arah pakaian yang penuh dengan liur, dan juga wajahku yang berbau aneh.
Dan Drew tertawa.
Sialan.
∞∞∞
"Aku kira kau akan seperti wanita lain, makan dengan salad dan air mineral," sindirnya padaku. Namun yang terlintas di kepalaku adalah Laura.
Saat ini dia membuatkanku pasta yang sangat enak, katanya sebagai permintaan maaf karena Joo dan Coo yang tak bersikap baik.
"Jadi apa masalahmu sebenarnya?" tanyanya sambil memilin-milin pastanya sendiri. Aku masih sibuk mengunyah sehingga belum bisa menjawab pertanyaannya.
"Sebenarnya semalam aku baru putus dari kekasihku," kataku memulai percakapan. Dia makan sambil terus mendengarkan perkataanku.
"Kami sudah tiga tahun berpacaran dan tak mengalami peningkatan apapun. Akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Dia tampak tidak terima. Namun aku masih tetap bersikukuh ingin berpisah." Aku mengambil jeda sesaat. "Tadi pagi dia datang dan mengancamku."
Drew berhenti makan dan menatapku sekilas, "Apa yang dia ancam?" katanya lalu kembali melanjutkan makannya.
"Dia mengancamku akan menyebarkan ... " aku sengaja memotong perkataanku untuk melihat reaksinya. Benar saja, pasta dimulutnya tertahan.
"Video skandal kami," lirihku pada akhirnya.
Dan Drew tersedak sampai memuntahkan seluruh pastanya.
Lagi-lagi aku menggaruk dahiku salah tingkah.
∞∞∞