18

1289 Words
Gior POV Dekorasi, beres. Gaun, beres. Undangan, beres. Drew, rumit. Aku memeriksa semua persiapan pernikahan kami yang tinggal menghitung hari. Awalnya Drew yang melakukan hal ini, namun Smart tampaknya lebih membutuhkan perhatian Drew. Hingga dimana hari aku mengajukan diri untuk mengurus pernikahan kami. Drew menolak awalnya, namun aku bersikeras. Akhirnya Drew memutuskan aku boleh turut andil dalam persiapan pernikahan kami meskipun hanya sekedar mengecek hasil dari wedding organizer. Sore hari ini sangatlah cerah. Harusnya aku pergi ke pantai hanya untuk menikmati ombak seperti biasanya. Namun, hari ini Drew ke rumah orang tuanya untuk mengunjungi kantor pusat Smart. Sudah saatnya dia bekerja. Aku melirik beberapa pekerja yang sedang sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Berharap salah satu dari mereka menurunkan sedikit rasa formalitas hanya untuk sekedar mengajakku berbicara. Sejujurnya, kebosanan sudah menyergapku. Tak ada teman untuk bicara dan berbagi. Laura akan datang esok hari. Katanya, sebagai pembantu mempelai wanita, dia harus turut andil dalam pernikahan ini. Membuatku cantik dengan melakukan scrub dan sedikit pijat. Meskipun aku bukan seorang gadis lagi, menurut Laura aku tetap harus memberikan kejutan untuk Drew. Ahh wanita itu, pantas saja Rush sangat memujanya. Pria tua beruntung. Suara mesin mobil berhenti membuatku sadar dari lamunan. Sepertinya Drew sudah pulang. Aku bangkit berdiri dan setengah berlari menuju pintu untuk menyambut Drew. Pria itu berjalan sambil menunduk menjinjing tas kerjanya. Dengan sigap, aku bergelayut di lengannya. Dia tersentak, sepertinya baru menyadari kehadiranku saat itu juga. Wajahnya tampak lusuh. Kacamatanya berkabut, mengartikan jika benda itu sebelumnya tidak dipakai. Drew mencium keningku lama dan tersenyum letih. "Bagaimana harimu?" tanyaku dengan senyum merekah, berharap mengurangi rasa letih yang sedang dirasakan Drew. Bukankah senyum seorang istri bisa mengurangi beban suaminya yang bekerja seharian. Baiklah, aku memang bukan istri Drew. Dia menghela nafasnya, "Okay." Aku diam. Berharap ada kata lain selain Okay yang dia ucapkan. Apakah sebegitu lelahnya hingga membuat Drew hanya bisa menjawab Okay. "Okay?" tanyaku bingung. Namun Drew diam, hanya menatap wajahku lama. Ini membingungkan tentu saja. Drew yang biasanya menggodaku hari ini tampak berbeda. Kusentuh dahinya dengan punggung tanganku. Normal. Drew tidak sedang demam, badannya tidak menunjukkan tanda-tanda itu. Lalu dia kenapa? "Aku akan mandi dulu, G. Sesudahnya kita akan makan malam," ujarnya seraya meninggalkanku dan berjalan menaikki anak tangga. Aku mengernyit namun tetap menjawab, "Aku akan menyiapkan makan malamnya kalau begitu!" teriakku dari bawah. "Jangan terlalu lelah." Dan dia meninggalkanku sendiri di sini. Dasar aneh. ∞∞∞ Entah kenapa hari ini aku sangat ingin memakan masakan Italia. Itulah yang menyebabkan aku berkutat di dapur hanya untuk sekedar menambah menu makan malam. Sepertinya anakku yang meminta hal ini sering terjadi, namun biasanya aku akan menyuruh Drew menyiapkan semua. Drew. Pria itu belum turun semenjak dia berpamitan mandi. Belum lama memang, baru sekitar dua puluh menit pria itu mandi. Biasanya Drew akan menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk berendam. Dan aku mempunyai kesempatan untuk memasak. Beberapa menit kemudian, masakanku selesai. Tinggal menempatkannya di piring untuk disajikan. Namun sepasang tangan tiba-tiba melilitku. Memelukku dari belakang hingga punggungku membentur dadanya keras. Drew. "Biarkan seperti ini, G sebentar saja," ujarnya saat aku meronta. Tiba-tiba saja hidung dan perutku menangkap sesuatu yang tidak beres. Ini bau alkohol. Perutku sejujurnya bergolak. Namun sepertinya muntah itu masih bisa tertahan. Fokusku sekarang adalah Drew yang sedang mabuk. Entah mabuk atau tidak, yang jelas Drew baru saja minum-minuman beralkohol. "Kau mabuk?" cicitku tertahan. Dia tak menjawab, namun menyurukkan kepalanya didalam lekuk leherku, menghirup aromanya dalam. "Drew, kau mendengarku? Apa kau mabuk?" tanyaku sekali lagi dengan suara tak kalah lirih. Drew menggeram dan mengeratkan pelukannya pada perutku. Seolah perut itu akan jatuh tanpa pelukan eratnya. "Kalian adalah milikku, hidupku. Aku mencintai kalian berdua, sangat." Drew meracau. Bau alkoholnya semakin menyeruak menusuk penciuman. Sialan sekali, apa yang sebenarnya dia minum?! "Drew, ada apa?" tanyaku sekali lagi dengan frustasi. "Katakan kau mencintaiku, G." Aku diam tak menjawab. "Katakan, Gyorintt!" bentaknya sambil melepaskan pelukan kami. Rasa sesak itu datang disaat Drew kembali tak dapat menahan emosinya. Dia kembali membentakku dengan cara yang amat sangat menusuk hati. Sesaat kemudian suara pecahan kaca kembali terdengar seperti de javu. Drew membanting kembali gelas yang entah sejak kapan ada di dekatnya. Ingatkan aku memasukkan satu lusin gelas tambahan dalam daftar belanjaan. Aku berbalik menghadap kearahnya. Menyilangkan kedua tangan di depan d**a, menatap Drew dari atas sampai bawah. Bahkan dia belum mandi dan masih menggunakan setelan lengkap. "Kau bertingkah seperti ini lagi, Drew." Dia menatapku memelas, wajahnya tampak lelah membingkai mata sayu tanpa kacamata itu. "Katakan saja, Gyorintt. Katakan saja jika kau mencintaiku dengan sungguh-sungguh dari dalam hatimu. Katakan jika Samuel b******k itu berbohong ketika mengatakan kau tidak mencintaiku!" Aku tersentak. Tentu saja. Kali ini Drew melibatkan nama Sam yang nyaris tak pernah ada dalam topik pembicaraan kami. Kesinisannya ketika menyebutkan nama Sam membuat aku menyadari ini sudah tidak beres. Dengan cepat aku menutupi mode keterkejutanku dan berubah menjadi datar. Laura bilang, aku harus menghadapi Drew dengan tenang. Tanpa emosi yang menyala. Karena Drew tidak bisa dihadapi, tidak bisa dihadapi dengan emosi. "Alkohol, marah-marah, dan membanting gelas kepada kekasihnya yang sedang hamil. Bagiku ini tak ada toleransi lagi, Drew. Baiklah jika kau melakukan hal tanpa berpikir seperti ini, aku juga bisa melakukannya." Aku berjalan melewatinya keluar dari dapur kami dan naik ke lantai atas. Aku tak tahu jika adrenalinku akan berpacu seperti ini. Rasanya seperti akan memergoki Drew yang sedang mencumbu gadis lain. Atau apapun itu. Jantungku berdetak dengan cepat. Kutelusuri setiap ruangan di lantai atas. Namun aku tak menemukan botol-botol alkohol disana. Rasa penasaranku timbul saat menyadari jika di rumah ini, kami tidak pernah menyimpan alkohol. Lalu, darimana Drew mendapatkan minuman itu? Tidak mungkin dia mampir ke pub terdekat karena kondisi masih sore hari. Bahkan saat pulang, aku tak menangkap bau busuk itu sama sekali. Tinggal satu tempat yang belum aku lihat. Balkon kamar kami. Langkahku dengan cepat berjalan ke tujuan. Benar saja, saat kubuka kaca penghubung balkon dan kamar kami, aku langsung disuguhkan satu botol besar minuman keras yang tinggal setengah. Wajar saja Drew mabuk. Derap langkah kaki terdengar keras ketika menaiki tangga. Hingga tak lama kemudian, Drew muncul dengan wajah tegang. Dalam hati aku tersenyum licik. Persetan dengan kemarahannya. "Wow, kau meminum ini? Salah satu merk kesukaanku." Aku mengangkat botol itu tinggi dan mengguncangnya sedikit. Drew baru akan maju merebut botol itu, namun kalah cepat ketika aku meletakkannya dibelakang punggung. Tenang. Tenang. Tenang, lafalku dalam hati. Aku menarik nafas sebelum akhirnya mulai bicara. "Katakan apa yang terjadi padamu, Drew. Dengan tenang. Jika tidak, aku dengan senang hati akan mencicipi minuman ini. Kau sudah tahu jika ini benar-benar merk yang aku sukai," ujarku sambil menyeringai. Dia menghembuskan nafasnya lelah, sepertinya kesadaran mulai memeluk Drew. Pria itu mengangguk dan mulai bercerita. Aku sedikit terkejut ketika nama Sam yang disebut. Juga yang tak kalah mengejutkan, Sam menyebutkan nama Dad yang merupakan pecandu. Drew akhirnya menceritakan jika dia sedikit goyah karena kata-kata Sam yang menyebutkan jika aku tak mencintainya melainkan masih mencintai Sam. Yang benar saja pria itu... Dan yang terakhir, Drew merasa kecewa karena aku tak pernah menceritakan tentang keluargaku padanya hingga membuat Dad bisa meninggal karena tidak ada yang membiayai pengobatannya. Sialan sekali, Sam. Dia pikir aku tidak punya uang? "Astaga ... kau membuatku khawatir, Drew. Hanya karena ini kau mabuk dihadapanku. Padahal aku sudah bilang jangan membuatku iri dengan meminum-minuman enak ini," rajukku padanya. Drew melongo dan menatapku mengernyit. "Hanya?" tanyanya. Aku terkekeh. "Tentu saja! Jika kau berpikir aku tidak mencintaimu karena tidak memberitahumu apapun, kau salah. Aku menunggumu bertanya, dan mencoba peduli padaku." "B-Benarkah?" tanyanya lagi dengan nada tak percaya. Aku mengangguk girang, "Ya. Kau tak perlu mengkhawatirkan kakakku, Dad dan Mom. Semuanya sudah aku atasi, bersama Laura tentunya." "Aku menunggumu berbulan-bulan untuk bertanya. Namun kau tidak pernah melakukannya. Bahkan di pantai sore itu, kau hanya memelukku dan tak bertanya apa yang terjadi pada Dad." "K-Kau mencintaiku? Maksudku kau benar-benar mencintai manusia bodoh ini, G?" Aku mengangguk. "Kalaupun tidak, aku sudah terlanjur terjebak, Drew. Kita sudah terjebak." Senyum itu akhirnya terbit dari bibir Drew. "Ya, kau dan anak kita sudah terjebak denganku. Tidak ada alasan untuk lari dari pernikahan kita yang kurang dari satu minggu. Dan jangan berpikir meminta bantuan Laura untuk kabur saat hari pernikahan." Aku tertawa keras. "Ya Tuhan! Itu ide yang bagus, Mr. Smart. Aku akan mencobanya!" "Jangan berharap, Nona." ∞∞∞
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD