Daniel berlari tak tentu arah sepanjang koridor lantai 7, tak peduli mau kemana, yang penting kabur dulu. Mendapatkan gombalan dari Mira membuat bulu kuduknya merinding.
Daniel menoleh ke belakang, dilihatnya kosong. Mira tak lagi mengejarnya. Entah wanita itu mengejarnya atau tidak, pokoknya Mira menyeramkan. Baru kenal sudah modus ajak ke kamar mandi. Untung ia bukan pria-p****************g yang gampang tergoda. Tapi kalau khilaf, itu beda cerita.
"Hah hah hah."
Daniel berhenti berlari, nafasnya ngos-ngosan seperti habis lari maraton keliling lapangan Gelora Bung Karno. Daniel kembali menoleh, dilihatnya kosong. Daniel bernafas lega.
"Hah akhirnya aman," ucap Daniel menyentuh d*danya.
Daniel menyandarkan punggungnya yang lelah di dinding, "Kok bisa ya di dunia ini ada cewek kayak gitu? Ga lagi-lagi dah. Ga lagi-lagi! Plis plis, Jangan ketemu lagi ya Allah. Jangan ketemu lagi meskipun dunia ini sempit."
Baru pertemuan pertama dirinya sudah terkena mental. Bagaimana pertemuan kedua, dan selanjutnya. Daniel menggeleng cepat, menepis semua pikirannya. Ia tidak akan bertemu Mira lagi, tidak akan. Bertemu dengan Mira sungguh mimpi buruk.
*****
"Hmm enak," Sena tersenyum senang mengulum es krim stroberi cone miliknya. Tadinya Sena mengira akan kalah, tapi malah menang. Dan ia ditraktir Mario, bukan cuma satu es krim, tapi banyak.
"Enak ya?" Mario menunduk, menatap Sena yang berjalan di sampingnya.
Mereka jalan beriringan di koridor apartemen lantai satu.
Sena mengangguk polos, "Iya. Sena seneng … es krim Sena banyak, tuh–" Sena menaikan kantong belanjaan Alfimart, menunjukan semua es krim stroberinya ada di dalam sini.
Mario menyunggingkan senyuman. Ia senang kalau Sena senang.
Sena menatap ke depan, menikmati es krimnya yang meleleh di bagian atas, "Makasih ya Mario."
"Makasih untuk?" tanya Mario sambil mengulum es krim rasa cokelat.
"Udah beliin Sena banyak es krim."
"Sebenarnya aku males banget beliin kamu es krim. Harusnya aku menang tadi tuh, eh malah kalah. Cupu banget aku hari ini," ucap Mario bercanda.
Sebenarnya Mario tidak kalah. Ia hanya mengalah. Melihat Sena yang semangat bermain untuk mendapatkan sebuah es krim, membuat Mario tak tega kalau dirinya menang.
"Iya nih Mario. Masa Mario kalah. Tapi gapapa, kan kalo Mario kalah, Sena dapat banyak es krim," ucap Sena tersenyum senang.
Mario menurunkan es krim cokelat-nya, menatap senyum Sena.
Senyum terindah yang diciptakan Tuhan. Mario menatap garis wajah Sena dari samping. Entah bagaimana cara Tuhan menciptakan Sena, sampai seindah ini. Kalau saja Sena bukan- Mario menggeleng, menghapus cepat semua pikirannya. Entah kenapa sejak hari ini, Mario merasakan sesuatu yang aneh. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.
*****
Daniel berjalan di koridor apartemen lantai satu. Ia menunduk menatap kakinya yang berjalan menapaki lantai marmer mewah.
"Pokoknya saya ga mau tau, temukan foto pria bernama Dion dalam 1x24 jam," ucap Daniel di dalam telepon.
"Kenapa minta foto Tuan Daniel? Bukankah tuan Daniel sudah ke apartemen tuan Dion untuk cari bukti?"
"Ga ada. Ga ada bukti apapun. Saya udah ke apartemennya, tapi ga ada foto dia yang terpajang satupun. Dan juga bukan ketemu orangnya malah ketemu orang gila."
"Orang gila siapa, tuan Daniel?"
"Udah pokoknya, jangan nanya-nanya orang gila itu. Nginget dia aja udah buat otak saya mumet. Pokoknya nanti malam foto Dion harus ada di tangan saya."
"Nanti malam? Bagaimana caranya tuan Daniel? Saya sudah berusaha mencarinya tapi–"
Daniel memindahkan ponselnya dari telinga kanan ke telinga kiri.
"Terserah gimana pun caranya! Saya ga peduli."
"Tapi tuan, sulit untuk mencari foto tuan Dion di internet. Dia benar-benar tertutup dari sosial media."
"Saya ga mau tau, pokoknya saya-" Daniel menegakan wajahnya, menatap ke depan. Namun ucapannya terhenti saat seseorang yang dikabarkan mati di berita, hidup kembali.
Tubuh Daniel mematung. Oksigen dan waktu rasanya berhenti saat juga.
Apakah penglihatannya benar?
Apakah ia tidak salah?
Apakah ia tidak berhalusinasi?
Apakah ia tak bermimpi?
Di ujung sana Daniel melihat seseorang yang ia cari-cari selama ini. Seseorang yang sedang jalan beriringan dengan seorang pria sambil menikmati es krim.
Seseorang yang ia rindukan setengah mati.
Seseorang yang ia cintai sampai mau mati rasanya.
Seseorang yang membuatnya tak bisa tidur nyenyak.
Seseorang yang membuatnya gila.
Seseorang yang membuatnya tak nafsu makan.
Seseorang yang membuatnya hilang akal.
"Davina?" gumam Daniel pelan. Ia menatap Davina dan pria yang tak ia kenal jalan beriringan tertawa-tawa menuju lift.
"Itu Davina. Ga mungkin salah. Ga, aku ga mungkin salah," ucap Daniel yakin. Ia tak akan lupa wajah cinta pertamanya.
"Davinaku masih hidup. Davinaku ga hilang. Aku menemukan Davina lagi."
"Davina?!" teriak Daniel keras memenuhi koridor.
Daniel berlari cepat, menuju gadisnya. Ia tak ingin kehilangan lagi. Cukup sekali saja ia kehilangan, sekarang tak akan lagi. Ia tak mungkin salah, itu benar-benar Davina. Cinta pertama dan terakhirnya. Ia tak mungkin salah orang.
Daniel terus meneriakkan nama Davina.
Sena berhenti sebentar di depan lift. Ia seperti mendengar seseorang memanggil Davina. Kenapa rasanya ia seperti tidak asing dengan nama itu. Kenapa dimana-mana selalu ada nama Davina. Kenapa nama Davina selalu muncul di otaknya. Sebenarnya siapa Davina?
Belum beberapa detik lift telah dipenuhi orang-orang. Mario yang melihat Sena termenung, menyenggol lengan gadis itu.
"Sen, kok bengong."
Sena kembali sadar, "Oh iya."
"Yuk masuk,"
Sena mengangguk.
Mario mempersilakan Sena masuk lift lebih dahulu, baru dirinya.
"Davina?!"
Daniel mempercepat larinya, tinggal sedikit lagi ia akan meraih gadisnya, sebelum pintu lift tertutup.
Sena dan Mario masuk ke sudut lift. Badan mereka berdua tertutup orang-orang di depan.
"Davina! Jangan pergi!"
Sena merasakan beban berat menghantam kepalanya. Sena merasakan kepalanya sangat pusing. Ia menempelkan tangannya di dinding lift, menahan tubuhnya yang limbung. Pandangannya tiba-tiba kabur.
"Davina!"
Ting!
Pintu lift tertutup.
Daniel mengacak-acak rambutnya frustasi. Ia terlambat. Davina telah pergi. Daniel mencoba membuka pintu lift tapi tidak bisa terbuka. Ia pun mengetuk-ngetuk pintu lift, namun tetap saja pintu itu tertutup.
Daniel menekan-nekan tombol lift, berharap lift itu berhenti. Namun percuma saja, semuanya terlambat.
"Davina. Tolong jangan pergi!" teriak Daniel frustasi, air mata menumpuk di pelupuknya. Kehilangan Davina membuatnya seperti mayat hidup. Disaat ia menemukan Davina, kenapa harus lepas lagi.
Daniel menekan tombol lift satunya lagi. Setelah terbuka, ia masuk. Dengan tangan bergetar, dan tergesa-gesa Daniel menekan lantai 7.
"Sen?" Mario tiba-tiba khawatir. Tubuh Sena hampir terjatuh, namun Mario menahannya. Es krim yang Sena pegang jatuh mengenai baju Mario, dan berakhir di lantai lift.
"Sen, kamu sakit?"
Sena memegang kepalanya yang terasa berputar-putar, "Kepala Sena sakit, Mar," ucap Sena dengan mata berkaca-kaca.
Mario meraih Sena ke dalam pelukannya, "Sebentar lagi kita sampai, Sen," ucap Mario benar-benar panik. Apa ini karena ia memberikan banyak es krim untuk Sena. Mario jadi merasa sangat bersalah.
"Mar, Davina siapa?" gumam Sena pelan.
Mario mengernyit, bingung, "Davina? Davina siapa, Sen? Kamu ngomong apa?
"Davina ..."
Bruk…!
Sena jatuh pingsan di pelukan Mario.
"Sen, Sena …" Mario benar-benar panik. Ia menepuk-nepuk pelan pipi gadis itu, tapi tak ada respon.