PART 75 - PERTEMUAN MARIO DAN DANIEL

1021 Words
Ting! Lift berhenti di lantai 7. "Beri jalan, beri jalan." Sang penumpang lift berusia lanjut, menyuruh orang lain tuk minggir. Mereka yang tadinya memadati tengah-tengah lift, kemudian bergeser ke pinggir, memberikan jalan untuk Mario. "Makasih semuanya," ucap Mario santun, menggendong Sena bridal style keluar dari lift. Mario mempercepat langkahnya, berharap cepat sampai apartemen Dion. "Maafin aku Sen. Aku bikin kamu kayak gini," ucap Mario dengan hati berkecamuk. "Aku ga akan maafin diri aku sendiri, kalo sampe terjadi sesuatu sama kamu." Rasanya langit seperti runtuh. Mario yang diamanatkan Dion untuk menjaga Sena, malah membuat Sena sakit. "Lu b**o Mar, b**o," ujar Mario tak berhenti mengutuk. Mario tidak tahu lagi, bagaimana mendeskripsikan rasa cemas dan khawatirnya, "Harusnya aku ga ngasih kamu banyak es krim." Mario mempercepat jalannya, mengambil jalur kiri. Selang beberapa menit. Lift di lantai 7 kembali berhenti. Seorang pria keluar dari sana. Raut wajahnya menujukan frustasi dengan rambut acak-acakan, tak terbentuk. Saat di lift, Daniel terus saja menggumamkan nama Davina berulang kali seperti orang gila. Tak peduli pada tatapan orang dalam lift yang memandangnya aneh. Daniel gila. Iya dia gila. Ia gila karena Davina. Ia gila karena gadis yang berhasil membuat hatinya porak-poranda. Ia gila karena cintanya yang buta. Jika saja ia bisa memecahkan pintu lift atau mempercepat laju lift untuk sampai di hadapan Davina. Ia akan melakukannya. Apapun. Ia tak peduli. "Aku ga akan melepaskanmu lagi, Dav. Aku bersumpah akan memberi perhitungan pada laki-laki itu." Daniel berlari cepat, mengambil jalur kanan. Tok tok tok! "Mir buka, Mir. Cepetan!" Mario mengetuk pintu berulang kali. Tok tok tok! "Mir." Cklek..! "Aduh … Bisa ga sih Mario, kalau ngetuk pintu itu-" ucapan Mira berhenti, saat tatapannya turun pada seseorang yang digendong Mario. "Astaga Sena!" Mira membulatkan matanya, terkejut. "Sena kenapa Mar?!" teriak Mira marah sekaligus panik, meminta penjelasan. "Panjang ceritanya." Tanpa ba-bi-bu, Mario menyelonong masuk. Tak peduli Mira yang dari tadi menghujamkan banyak pertanyaan. "Jelasin ke gue, Mar. Sena kenapa? Kenapa?! Lu apain si Sena?!" Mira mengekori Mario dari belakang. "Sena tadi baik-baik aja. Kenapa jadi gini?!" Mario membuka pintu kamar Sena, dan melangkah masuk. "Jawab gue, Mar! Jangan diem aja." "Gue pusing, Mir. Jangan banyak tanya. Ini salah gue. Salah gue yang bikin Sena pingsan." Mario meletakan Sena perlahan-lahan di atas ranjang. Lalu membenarkan posisi kepala Sena di bantal, dan membuka sepatu Sena satu persatu. "Gue udah bilang, Mar. Tolong jaga Sena! Kenapa lu bikin Sena gini. Lu apain si Sena?! Jawab gue!" "Jawab gue anj*ng. Jangan kayak orang ga punya mulut." Mario meletakan sepasang sepatu Sena di bawah kolong ranjang, "Jangan ngoceh-ngoceh mulu anj*ng, gue pusing dengernya. Gimana gue mau jawab kalo lu nyerocos mulu kayak mesin jahit." Mira berkacak pinggang, menatap tajam pria yang lebih tinggi darinya, "Yaudah apaan! Cepetan! Lama bangs*t ga ngomong-ngomong." Mario menatap wanita yang lebih pendek darinya. Tinggi badannya aja yang pendek. Tapi bacotnya panjang seperti mesin pemotong rumput. "Gue belum ngomong anj*r. Lu potong-potong mulu kapan gue ngomongnya." "Males gue ribut sama lu tau ga, bikin gue emosi." "Apalagi gue, baru pulang, panik gara-gara Sena pingsan. Malah diocehin terus sampe kuping panas. Ini kalo dicek pake termometer, ga bakalan terdeteksi saking panasnya kuping gue." "Bisa ga sih lu ga usah ngajakin ribut?! Sena tuh lagi pingsan. Telpon dokter kek, ambulan, atau panggilan darurat." "Gue kasih nafas buatan entar." Buk..! Mira memukul bahu Mario kencang, bisa-bisanya ia lagi serius malah diajak bercanda. "Ga usah nyari kesempatan. Sekarang jawab pertanyaan gue. Kenapa Sena bisa pingsan?" Mario menarik nafas dalam-dalam, mempersiapkan diri sebelum ia akan dihantam Mira. "Gue ga ngapa-ngapain Sena sih … Cuma ngasih es krim aja." Mira menaikan satu alis, "Es krim?" Mario menyatukan dua jari telunjuknya, "Ya, ga banyak si. Cuman …" "Cuman apa?" tanya Mira tak sabar. "Cuman dikittttt," Mario mendekatkan jempol dan jari telunjuknya, membentuk huruf C yang lebih rendah. "Dikit apa?" "Dikit. Dikit dikit doang." Mira memutar bola matanya, "Muter-muter mulu anj*r, ya ga mungkinlah Sena pingsan cuma gara-gara makan satu es krim doang." Mario mengusap-usap leher belakangnya, "Bukan satu si, tapi …" "Ah elah, lama amat. Waktu adalah uang nih." "Sepuluh." Plak…! Satu tamparan mendarat keras di pipi Mario. "Lu gila ya? Anak orang lu kasih makan 10 es krim." "Ya abisnya gimana dong. Sena suka banget es krim stroberi. Sebenernya ga sepuluh sih. Dua puluh. Sepuluhnya Sena makan, sepuluhnya lagi di kantong belanjaan, hehehe," ujar Mario menyengir. Plak! ***** Daniel menghentikan langkahnya di depan pintu apartemen Dion. Meskipun ia kehilangan jejak Davina dan pria itu, tapi ia yakin gadisnya disini. Ia yakin gadisnya disembunyikan disini. Tidak apa-apa tak mendapatkan foto Dion. Ia juga tak perlu sekarang, karena Semesta memberikan langsung yang ia minta. Davina. Tok tok tok Ketukan di pintu apartemen, membuat dua insan yang sedang berdebat, berhenti. "Siapa tuh?" tanya Mira menatap Mario. Mario mengendikan bahu, "Gatau, kucing kali minta makan." Buk..! Mira memukul bahu Mario, "Yakali kucing mau minta makan bertamu dulu. Permisi bu, Assalamualaikum, saya minta makan. Ada ga ya?" "Ya kan siapa tau aja. Kucing titisan manusia." Tok tok tok "Lu aja deh, Mar yang bukain pintu. Gue jagain Sena." "Lu aja. Gue harus tetap di sisi ayang Sena. Kan gue yang bikin yayang Sena pingsan, jadi harus tanggung jawab." Mira menghela malas, "Ah lu aja." "Lu aja lah." "Lu aja, Mar." "Lu." "Lu!" "Lu!" "Yaudah berdua!" jerit mereka kompak, karena tidak ada yang mau mengalah. Mario dan Mira tanpa keributan, bagai sendal jepit tanpa tali. Tadi berdebat tidak ada yang mau membukakan pintu, sekarang berebutan buka pintu. "Gue aja yang buka pintu," ucap Mira menyiku Mario, agar menjauhi pintu. "Gue aja!" "Lah kok jadi lu yang mau? Gue aja yang buka pintu." "Gue aja," jerit Mario tak mau kalah. "Gue!" "Yaudah berdua!" teriak mereka lagi kompak. Tangan mereka berdua saling bersatu untuk membuka gagang pintu. Tidak ada faedahnya sih, tapi yang namanya Mario dan Mira tidak ada yang mau kalah. Seperti Tom and Jerry. Tapi ini versi lokalnya, Tompi dan Juminten. Mereka menarik pintu. Sosok pria tampan nan jangkung, membuat Mira dan Mario saling bertukar pandang. Lalu kembali lagi menghadap depan. Menatap pria yang tinggi semampai. "Mas ganteng?" Mario menaikan alisnya, "Mas ganteng?" ucapnya menatap Mira dan pria asing itu bergantian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD