"Untuk ukuran cewek yang sifatnya nyeleneh kayak lu bagus juga ni rumah."
Mario melihat-lihat seisi rumah Mira yang benar-benar terawat. Barang-barangnya tertata rapi, berbeda sekali dengan Mira di kehidupan nyata.
"Emang harusnya kayak gimana, njir?" ucap Mira meletakan tasnya di sofa. Dan melepaskan high heelsnya.
"Rumah sama pemiliknya beda banget."
Buk!
Satu pukulan melayang di bahu Mario.
"Gue kira lu mau muji."
"Suara gue mahal buat muji lu."
"Tuhkan ngajak gelut lagi. Gue lagi mau istirahat gelut satu hari."
"Ini lu tinggal sendirian?" ucap Mario tak mengindahkan ucapan Mira.
Mira mengangguk, "Iya."
Mata Mario membulat, "Serius?"
"Iya bawel … udah mana baju lu, gue cuciin."
"Oke," jawab Mario tanpa protes lagi pula Mira dengan senang hati menawarkannya masa ditolak. Ya meskipun sebenarnya Mario juga merasa tidak enak.
Mario melepaskan kaosnya. Mira yang melihat itu, langsung memalingkan muka. Ehm- tidak Mira sangka, Mario punya badan yang bagus. Sebelum ia berpikir yang aneh-aneh lebih baik membuang muka saja.
"Nih," ucap Mario memberikannya ke Mira.
"Iya," Mira menerima kaos yang lembab itu, "Lu duduk aja di sini … mau minum apa?" tanya Mira masih memandang ke arah lain.
"Oh gausah repot-repot. Gue sebentar aja."
"Oh, oke … gue cariin dulu baju ganti buat lu."
Mario mengangguk, "Iya."
Mira pergi meninggalkan Mario sendirian di ruang tamu.
Mario duduk di sofa dengan bertelanjang d*da. Ia menatap sekeliling rumah Mira yang rapi, dan bersih. Untuk tinggal di rumah ukuran segini sendirian, lumayan besar.
Mario yang bosan tidak melakukan apa-apa, memutuskan beranjak dari sofa. Melihat-lihat foto-foto yang berdiri di atas meja.
Mario mengambil salah satu foto masa kecil Mira, lalu tersenyum, "Polos banget waktu kecil, pas gedenya ganas. Tapi masih tetep lucu," ucap Mario tanpa sadar memuji. Tapi sedetik kemudian, Mario menepuk bibirnya.
"Ngomong apa sih lu Mario …" ucapnya lalu meletakan lagi pigura Mira waktu cilik.
Mira yang baru saja selesai merendam baju Mario di bak mandi, memutuskan pergi ke kamar. Ia membuka lemari lebar-lebar.
"Baju … baju … mana baju yang cocok ya," gumam Mira, memilih-milih baju yang tergantung di lemari.
"Yang ini," Mira menarik gantungan kaos polos berwarna putih, dan menatapnya lekat-lekat, "Kayaknya ga muat."
Mira melempar bajunya ke belakag dan mendarat ke atas kasur.
"Apa yang ini?" Mira meraih gantungan kemeja lengan 3/4, "Ga muat juga."
Mira terus memilih-milih baju, dan melemparnya. Setelah sekian lama ia mencari baju, tak ada satupun yang terlihat muat untuk Mario.
"Aduh … ga ada yang muat lagi, coba Mira berpikir," Mira menopang dagu, berpikir baju apa yang akan cocok untuk Mario. Tentu saja ukurannya dengan ukuran Mario jauh berbeda.
Semisalnya, ukuran L di wanita, akan berbeda dengan ukuan L di laki-laki. Lingkar bahu laki-laki dan wanita juga berbeda.
Mira kembali mengotak-atik bajunya, memilih baju satu persatu.
"Baju yang cocok itu … nah! Ini dia!" Mira bersorak semangat menatap baju hitam ditangannya. Ini memang baju wanita sih, tapi ukurannya Oversize, barangkali akan cocok di tubuh Mario. Ukurannya all size tapi lebih lebar.
"Oke sip," Mira tersenyum girang, menutup pintu lemari. Mira keluar kamar, menghampiri Mario yang sibuk menatap bingkai yang terpajang.
"Mario."
"Yop," Mario menoleh, ia menggenggam satu bingkai foto.
Mira berjalan mendekati Mario, "Nih bajunya udah siap."
"Oh oke, thanks," Mario meletakan foto seorang tentara yang tersenyum. Kemudian meraih baju yang Mira pinjamkan untuknya.
"Mar …"
"Ye."
"Anj*r … yang lembutan dikit kek."
"Iya apa Mira? Tuh kurang lembut apa gue."
"Foto yang lu pegang tadi itu bapak gue."
"Hah serius?!" Mario membulatkan matanya terkejut, meraih lagi foto yang sempat ia letakan di atas meja.
"Dia letnan."
"Ini bapak lu? Serius? Kok anaknya beda?"
"Beda apanya sih sat? Mirip lah anj*r."
"Bapaknya begini, anaknya begini," ujar Mario menunjuk Mira.
"Begini apaan?"
"Sumpah serapah mulu."
Buk..!
Satu pukulan kembali melayang di bahu Mario.
"Udah pake baju lu sana. Gue ga tau ya itu bakalan muat sama lu apa engga."
"Lah gimana? Nawarin baju gatau ukurannya."
"Itu gue pake insting milihnya. Udah sana cepetan lu ganti baju."
"Iya-iya bawel," jawab Mario membawa baju itu, dan melangkah pergi.
Tok tok tok
"Ya," ucap Mira melangkah menuju pintu utama.
"Siapa yang dateng siang-siang gini?"
Tok tok tok
Mira berhenti di depan pintu, meraih gagang pintu kemudian membukanya.
"Mir."
Melihat siapa yang datang ke rumahnya, membuat hati Mira sakit, ia berusaha menutup pintu. Namun Daniel menahan pintunya, menyelipkan kaki di celah pintu yang terbuka.
"Mir. Dengerin penjelasan aku dulu."
"Dengerin apa?"
"Iya aku minta maaf, soal aku ga dateng sesuai jam yang kita sepakati kemarin. Tapi aku nyari kamu di kafe, Mir. Aku bukannya ga dateng, tapi aku benar-benar lupa."
Mira mendorong pintunya kuat-kuat, berusaha menutup pintu, "Pergi aja, Dan."
"Mir, kasih aku kesempatan dulu."
Mario yang baru saja keluar dari kamar mandi, menatap Mira yang rebut-rebutan di depan pintu. Mira terlihat mendorong pintu, namun di sisi lain terlihat pintu itu didorong orang lain dari luar.
"Mira?" jawab Mario panik takut wanita itu kenapa-kenapa. Pasalnya suara ribut mereka terdengar sampai kamar mandi.
Mario melangkah mendekati pintu, "Kenapa Mir?"
"Mario," ucap Mira terkejut. Kalau Daniel sampai lihat Mario disini, nanti-
Bam..!
Saat Mira lengah, pintu terbuka lebar. Daniel mendorong kuat pintu hingga Mira hampir terjatuh untung Mario menahannya.
"Mira."
Mata Daniel melebar, terkejut.
"Dan, ini- ga seperti yang kamu pikirkan."
Daniel mengepalkan tangannya, menatap pria yang berada di belakang Mira. Kalau kalian beranggapan Daniel marah, karena melihat Mira bersama cowok lain. Salah besar.
Kata orang, dunia tak selebar daun kelor. Dan yang membuat Daniel marah adalah Mario.
Pria yang Daniel cari-cari telah berdiri di hadapannya. Pria yang ia lihat di lift sedang menikmati es krim bersama Davina.
Mata mereka menyalakan api permusuhan.
Mario mengepalkan tangan erat. Menatap pria yang selama ini Mario cari-cari. Pria yang begitu membahayakan dirinya, Dion, dan juga hubungan Dion dan Sena. Pria ini terlihat seperti benalu yang akan merusak tanaman apa saja.
Mereka berdua saling mengibarkan bendera perang. Sesungguhnya, diam-diam mereka berdua saling mengetahui satu sama lain.
Selama ini Mario selalu mencari tahu siapa pria yang berteriak-teriak di apartemen Dion memanggil Davina.
Dan sekarang ia bertemu. Sungguh kebetulan yang tak terduga.
Mira yang posisinya wanita sendirian, meneguk ludah. Ia panik, menatap mereka berdua yang saling beradu mata.
"Daniel, Mar … tolong jangan ribut."
Buk..!
"Aaaaa," Mira menjerit histeris.
Tanpa aba-aba, Daniel memukul rahang Mario hingga jatuh tersungkur. Daniel memandang marah pria yang membawa kabur gadisnya.