PART 119 - KANDUNGAN SENA

1016 Words
Daniel turun dari mobil dengan langkah terburu-buru. Ia berlari menuju kafe yang Mira bilang kemarin malam. Kenapa ia bisa lupa hari jadian mereka. Daniel mendorong pintu kaca. "Selamat datang di Alaya Cake." Suara pelayan kasir menyambut Daniel ramah. Tapi Daniel tak menghiraukannya. Ia memandang sekeliling kafe roti yang kosong pengunjung. Hanya pelayan kasir saja disana. Daniel berhenti di depan meja kasir, dengan wajah panik. "Ada yang bisa saya bantu, mas?" ucap kasir itu ramah. "Mbak, ada wanita yang sebelumnya menunggu di kafe ini gak?" Dahi mbak-mbak kasir itu mengernyit, "Wanita?" "Iya mbak namanya Mira, orangnya manis, badannya ga terlalu kurus, tingginya kira-kira 155 sepundak saya," ucap Daniel mendeskripsikan Mira. "Wanita ya?" Mbak-mbak kasir itu mencoba mengingat-ingat. "Yang mas maksud wanita yang mana? Soalnya sebelum mas kesini, banyak wanita yang makan disini." "Aduh," Daniel menepuk dahinya, benar juga. Jika mendeskripsikan secara umum seperti itu, pasti susah dicari. "Namanya Mira, mbak." "Maaf mas, saya ga kenal orang yang mas maksud." "Hah," Daniel menghela nafas, "Duh gimana ya …" ujar Daniel bingung. "Mbak, benar-benar ga tau orangnya?" tanya Daniel sedikit mendesak. "Mungkin tau, tapi karena ada banyak wanita yang kesini. Jadi bingung wanita yang mas maksud yang mana … Mas juga kurang spesifik jelasinnya." "Wanita itu nungguin saya disini mbak. Saya terlambat datang … coba mbak inget-inget lagi." "Wanita …" mbak-mbak kasir berpikir sejenak. "Iya mbak," mata Daniel memburu penasaran. "Oh iya! Saya ingat. Tadi emang ada wanita yang nunggu disini mas selama 4 jam." "Sekarang wanita itu kemana, mbak?" "Dia udah pergi mas dari 15 menit yang lalu." "Oke, makasih mbak." Tanpa ba-bi-bu Daniel berlari meninggalkan kafe. ***** "Ma, nasi Sena banyak banget." Sena tercengang menatap nasinya yang menggunung. Diana terus saja menyendokan nasi untuknya. Entah yang beberapa kali. "Gapapa sayang, biar kamu kenyang." "Tapi ma- Sena takut ga habis …" ucap Sena hati-hati takut Diana marah. Diana tersenyum hangat, "Gapapa. Kamu makan aja semampu kamu." "Makasih ma," ucap Sena tersenyum. Hah, hatinya menghangat. Diana memperlakukannya seperti seorang anak. Sena jadi iri punya ibu. Tapi ibu Sena? Ibu … Apa Sena punya ibu? Yang Sena tahu di dunia ini, ia hanya punya Dion. Tidak punya siapa-siapa lagi. Setelah menyendokan nasi di piring Sena, Diana kembali duduk. "Ayo kita makan." "Iya ma," jawab Sena dan Dion. Siang itu hanya suara dentingan piring dan sendok yang terdengar. Mereka sibuk makan, tak bersuara sekalipun. Ayam goreng, sambal terasi ulek, sayur sup berbaris rapi di meja makan. Dan juga ada air dingin, serta es teh. Terlalu lama mereka terdiam, sampai akhirnya sebuah suara memecahkan keheningan. "Bagaimana hubungan kalian?" Dion yang sedang menuangkan air ke gelas menjawab, "Baik-baik aja ma." "Mama harap begitu. Mama doakan yang terbaik untuk kalian." "Terima kasih, ma," jawab Sena dan Dion bersamaan. Dion meneguk air dingin, merasakan aliran air yang membahasi tenggorokannya. "Janin dalam rahim Sena gimana kabarnya? Sehat?" Uhuk uhuk Pertanyaan mamanya membuat Dion seketika tersedak. Uhuk uhuk "Dion, Dion gapapa?" Sena buru-buru memberikan tisu untuk Dion. "Gapapa, gapapa," Dion menerima tisu dari tangan Sena dan mengelap mulutnya. Jujur saja, itu pertanyaan yang mengejutkan. Janin? Janin apa? Dion saja tidak tahu. Ia saja belum pernah melakukan hubungan yang lebih dalam dengan Sena. Pembaca tahu, kan maksud Dion. "Janin?" tanya Dion terkejut dan juga shock. Dion menatap Sena dan mamanya bergantian. "Apa Sena hamil?" rutuk Dion dalam hatinya, "Menyentuh Sena selain kiss saja, ga pernah." "Kok muka kamu kaget begitu. Sena lagi hamil, kan?" Suasana yang tadinya tentram, mendadak runyam. Sena yang tidak tahu hamil itu apa, menatap Dion dengan bingung. "Kok pada diem?" "Emm … Iya ma," jawab Dion mengiyakan saja. Perasaan Dion campur aduk. Antara shock, terkejut, bingung, dan juga ada rasa sedikit marah. Sena hamil? Apa ada sesuatu yang terjadi saat ia tidak ada di rumah? ***** Setelah makan siang, Dion menghampiri Sena yang sedang mencuci piring di wastafel. Jika bertanya kemana Diana. Mamanya ada urusan bisnis sebentar, meninggalkan Dion dan Sena berdua. "Sena." Suara baritone Dion membuat Sena berbalik, "Oh Dion," sambut Sena dengan wajah ceria. Sena menggosok piring dengan spons yang berbusa, "Ada apa?" ucap Sena melanjutkan pekerjaannya. Dion berhenti di samping Sena, "Sen …" "Iya?" jawab Sena masih menggosok piring. "Coba hadap aku." Sena berbalik, berhadapan dengan Dion, "Kenapa?" Alis Sena bertaut. Sena masih memegang piring dengan tangan yang berbusa. Tanpa aba-aba Dion meletakan telapak tangannya di perut Sena. Merasakan perut gadis itu. "Kenapa Dion?" Dion tak menjawab. Sena merasakan perubahan raut wajah Dion yang tidak seperti biasanya. Dion mengusap perut Sena naik-turun. "Perut Sena masih datar, harusnya kalau hamil kan-" gumam Dion pelan. Bagaimanapun Dion adalah mahasiswa kedokteran, ia sedikit tahu tentang kehamilan. "Apa yang kamu rasain selama dua minggu ini?" "Dua minggu ini?" Sena terdiam mengingat-ingat. "Iya apa yang kamu rasain selama dua minggu ini?" "Emm … Sena ngerasa seneng Dion pulang lagi, sama mama ada disini." "Bukan perasaan itu Sena. Tapi kondisi kamu. Apa kamu sebelumnya pernah muntah-muntah?" "Emm muntah?" Sena terdiam beberapa detik, mencoba mengingat, "Sena lupa … kayaknya engga. Ehmm … apa iya ya? Apa engga?" Dion menepuk dahinya, ia baru ingat Sena amnesia. Kalau bertanya masa yang sudah lewat Sena mana ingat. "Kamu siap-siap, kita ke dokter sekarang." "Ke dokter?" Sena mengernyit, bingung, "Emang Sena sakit apa?" ***** "Makasih ya mar, udah nganterin gue," ucap Mira semanis mungkin. Di balik sikap Mario yang sering membuatnya darah tinggi, pria itu baik juga ternyata. Baik loh, baik. Mira hanya memujinya saja, bukan berarti suka. Mario selalu mengantarnya sampai depan pintu. Engga depan gang. "Emm," gumam Mario bete. "Napa muka lu?" baru saja Mira memujinya, kini Mario kembali menyebalkan. "Napa lu bilang? Lu liat nih, baju gue penuh ingus lu semua anjir. Gimana gue pulangnya?" Mira tertawa puas, "Hahaha, oh jadi muka lu mesem karna itu?" "Iyalah anjir karna apa lagi." "Tadi lu bilang gini 'Kalo bahu gue bisa bikin lo tenang, lo boleh nangis sepuasnya' …" "Ya … ya iya … tapi ga gini juga anjir. Baju gue basah semua." "Kata lu, gue boleh nangis sepuasnya. Yaudah gue nangis aja sampe mata gue kering." "Tapi jangan nyumbang ingus juga, Mira … Gue sebagai pria jomblo, anak kost, yang ga pernah laundry. Gimana nyucinya?!" "Hahaha," Mira tertawa terbahak-bahak. Sumpah ekspresi Mario kalau lagi marah benar-benar lucu. "Yaudah buka." "Buka apaan anjir?" ucap Mario panik. "Lu mau bersih ga bajunya?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD