Drrt drrt
Getaran di ponsel Daniel membuat Chika terduduk. Ia turun dari ranjang, dan meraih benda pipih itu di atas nakas.
Drrt drrt drrt
Ponsel itu bergetar berulang kali ada panggilan masuk. Baru saja Chika ingin membaca namanya, ponsel itu direbut paksa.
"Jangan sentuh."
Larangan keras itu membuat Chika terkejut.
"Kamu ga boleh baca-baca ponsel orang lain tanpa izin."
Chika mendongak, pria jangkung itu tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Dengan pakaian yang telah melekat sempurna. Celana jeans, dan kaos oblong bertuliskan Vans.
"Tapi itu …"
"Tolong hargai privasi aku, Chik …"
"Ga semua hal kamu harus tau," lanjut Daniel.
Chika terdiam sejenak, kemudian mengangguk pelan, "Maaf."
Untuk pertama kalinya Chika meminta maaf.
"Aku cuman- mau angkat telpon aja. Telpon kamu berdering mulu ga berhenti-henti. Cuma itu aja kok."
"Angkat telpon tanpa izin aku juga melanggar privasi."
Chika hanya bisa menghela. Kali ini ia mengalah. Memilih untuk tidak ribut dulu dengan Daniel. Ia lelah, jika harus beradu argumen sepanjang hari. Mungkin kali ini ia akan mencari jalan lain untuk mengambil hati Daniel.
Daniel menggeser layar, membaca nama pemanggil.
Mira.
Daniel memilih me-reject panggilannya.
"Siapa? Kok ga diangkat telponnya?"
"Bukan siapa-siapa."
Chika mengangguk. Tak curiga sama sekali.
"Daniel ayo kita makan."
"Aku sibuk."
"Cuma sebentar aja kok. Aku janji."
"Aku sibuk Chika. Banyak urusan."
Chika menghela, "Oh yaudah."
"Kamu mau kuliah ya?"
Daniel tak menjawab. Ia memasukan semua buku-bukunya ke dalam ransel. Setelah semuanya beres, Daniel berjalan menuju pintu kamar.
"Kamu pulang jam berapa?"
Bam..!
Pertanyaannya dijawab dengan bantingan pintu. Chika tersenyum kecut. Ia sudah biasa diperlakukan dingin seperti ini.
Mira menatap ponselnya nanar. Lalu menghela nafas sedih. Panggilannya ditolak Daniel.
Mira menatap sedih kue di depannya. Padahal semalam, Daniel telah berjanji mau bertemu dengannya di kafe ini. Tapi pria itu tidak juga muncul. Dan juga menolak panggilannya. Padahal Mira ingin memberikan kejutan untuk pria itu.
Senyuman di bibir Mira sirna. Gadis itu terlihat murung di kursi pojok.
Mira menatap cake Red Velvet di depannya. Lilin-lilin kecil melingkari cake berwarna merah muda itu, di tengah-tengahnya terdapat tulisan.
Happy Anniversary 1 month.
Mira ingin memberikan Daniel kejutan. Dalam rangka merayakan Anniversary hubingan mereka yang ke-1 bulan.
Mungkin terlihat kekanak-kanakan memberikan kue disaat Anniversary satu bulan.
Tapi ini pertama kalinya Mira merasakan pacaran. Mira ingin merayakannya bersama kekasih yang ia cintai.
Mira menghela nafas, "Hah … Daniel ga datang ya …" ucapnya murung.
Mira menatap jam dinding yang berjarak 3 meter dari tempatnya duduk.
"Udah tiga jam Daniel ga datang-datang. Itu berarti- Daniel ga mungkin datang."
*****
"Aaaaaaa ga adil!" protes Sena cemberut membaca selembar kertas yang Dion tulis dengan spidol hitam.
Peraturan untuk Sena selama di apartemen Dion.
Dilarang tidur di kamar Dion.
Dilarang masuk kamar Dion bila tak ada kepentingan.
Dilarang bawa bantal, guling, dan selimut ke kamar Dion seperti orang pindahan.
Dilarang nginep di kamar Dion. Karena punya kamar masing-masing.
Dilarang menyentuh dapur
Dilarang masak
Dilarang tidak setuju
Dilarang, pokoknya dilarang.
Segala hal yang dilarang harus ditaati.
Sekian dan terima kasih.
Dengan peraturan yang dibuat, Sena dianggap setuju. Hal ini bertujuan untuk saling melindungi privasi, melindungi bahaya kebakaran, dan mengurangi tingkat skinship yang berakibat pada timbulnya otak kotor. Peraturan pertama sampai ke empat dibuat untuk menjauhi kegiatan yang diinginkan. Eh salah. Maksudnya kegiatan yang tidak diinginkan.
Dengan semua peraturan yang tecantum di atas. Atas nama Sena. Dengan nama panjang Senaaaaa. Dan nama lengkap Sena. Sena doang.
Dengan ini yang bernama Sena tetangga dua langkah, dianggap setuju.
Yang bertanda tangan dibawah ini Sena.
"Gimana?" ujar Dion tersenyum senang. Hah, untuk kali ini Dion sangat-sangat bersemangat.
Saking semangatnya Dion menulis peraturan itu dengan huruf besar.
Dengan begini kehidupannya selama di apartemen akan aman, damai, tenteram, dan bersahaja. Tidak ada kasus kebakaran kompor lagi, dan juga tidak ada tindakan Sena yang memicu otaknya traveling.
Masih mending travelingnya ke luar negeri, nah kalau travelingnya ke luar tata Surya. Eh~ salah yah.
Ke luar pikiran jernih maksudnya.
Baru dua kali Sena tidur di kamarnya. Itu sudah Dion anggap bahaya. Bagaimana kalau misalnya ia khilaf coba.
Ya meskipun sebenarnya saat Sena tidur, jam 2 pagi Dion diam-diam pindah ke lantai. Tidur di sana tanpa alas. Hanya bermodalkan bantal saja.
Sena mengerucutkan bibirnya. Matanya berkaca-kaca membaca semua peraturan itu.
"Gimana peraturannya? Bagus, kan?"
"Setuju?" Dion menaikturunkan alisnya. Tersenyum menyebalkan.
"Gimana? Gimana?"
"SENA GA MAUUUUUU."
Dion menutup telinganya mendengar teriakan Sena yang nyaring.
"Sen, ssut ssut," Dion meletakan telunjuknya di depan bibir.
"Jangan teriak-teriak kalau kedengeran tetangga gimana? Disangkanya aku-"
"DION JAHAAAAT! SENA MARAH POKOKNYA. SENA GA MAU LIAT DION LAGI. SENA NGAMBEK!"
Dion menutup telinganya lagi.
Sena yang duduk bersama Dion di sofa, mengambil bantal sofa dan memukuli pria itu tanpa ampun.
"Sen, aw aw."
"Ga mau Sena ga mau."
Buk!
Buk!
Buk!
"Ini buat kepentingan kita berdua Sen biar engga-"
Buk!
Buk!
"Sena aw aw. Jangan dipukul terus. Aku salah apa?"
"Tuhkan Dion ga peka."
Buk!
Buk!
"Sena …"
Sena berhenti memukuli Dion, dan membuang bantal sofa. Ia menangis tersedu-sedu. Dan membuang muka.
"Sena ga mau. Sena ga setuju."
"Sen, tapi kan ini bukan peraturan aneh," ujar Dion berusaha membujuk Sena untuk menghadapnya.
"Ga aneh bagi Dion, tapi aneh bagi Sena."
"Bagian mana nya sih Sena yang aneh. Coba tunjukin ke aku."
Sena menghapus air matanya dengan punggung tangan. Lalu kembali duduk lurus, menatap kertas yang tergeletak di atas meja.
Sena meraih kertas itu dan membacanya, "Ini apa? Nomor satu sampai empat Sena ga boleh masuk kamar Dion," ucap Sena dengan suara sengau, habis menangis.
"Ya emang kenapa Sena? Dimana letak keanehannya?" ucap Dion masih tak mengerti.
"Itu sama aja Sena ga boleh deket-deket Dion."
"Astaga Sena," Dion mengusap-usap wajahnya, frustasi, "Ini tuh- peraturan supaya kita ga melewati batas. Kita tetep deket kok. Ga mungkin kan kita jauh-jauhan ngobrol enam meter."
"Pokoknya Sena ga suka."
"Sena ga mau!
"Sena ga setuju!"
"Sena ga mau tanda tangan."
Sena melipat kedua lengannya di depan d**a, dan membuang muka.
"Sena ga mau liat Dion. Sena lagi
marah."
"Ada gitu orang lagi marah ngomong-ngomong?"
"Pokoknya Sena marah."
"Hah," Dion menghela nafas, "Yaudah kamu maunya gimana?"
"Pikir aja sendiri."
"Busett ..." jawaban Sena membuat Dion speechless. Ternyata Sena masih perempuan.
Lah, kan memang perempuan Dion.
Maksudnya, Sena sama seperti perempuan pada umumnya. Atau semua cewek sama aja.
Kalau ada cewek yang ngomong. Kamu ga peka. Pikir aja sendiri. Terserah. Gapapa. Dan paling epic, kapan tanggal jadian kita?
Percayalah, wahai kaum Adam. Jika kaum hawa berbicara seperti itu. Anda sedang diuji.