"Dion."
"Iya," jawab Dion tanpa mengalihkan pandangannya.
Dion menempelkan plester kuning bermotif bintang-bintang di pipi kanan Sena yang beset tergores jembatan.
"Maaf-" Sena menundukan kepalanya, "Sena buat Dion khawatir."
"Iya …"
Dion turun dari ranjang, berjongkok menghadap lutut Sena yang terluka. Ia membuka kotak P3K yang berada di sampingnya, dan mengeluarkan obat merah dan kapas.
"Dion marah ya?" Sena menunduk menatap Dion yang sibuk mengobatinya.
"Engga."
Setelah pulang dari pantai, Dion memutuskan untuk menginap di hotel. Rasanya terlalu malam untuk pulang, dan juga luka Sena harus segera diobati sebelum infeksi.
Setelah sampai di hotel, mereka pun mandi bergantian, dan mengganti pakaian mereka dengan bathrobe. Karena tidak ada baju ganti.
"Dion jangan singkat-singkat jawabnya," ucap Sena mengerucutkan bibir.
"Aku ga marah Sena."
Dion meniup luka di lutut kiri Sena, lalu menuangkan obat merah itu di atas kapas.
"Terus kenapa Dion—aww Dion perih," jerit Sena saat permukaan kapas menyentuh lukanya yang basah. Ia meremat bahu Dion kencang.
"Tahan ya."
"Dion pelan-pelan."
"Iya Dion udah pelan kok."
Sena mengusap air matanya yang berair, rasanya perih saat kapas berisi betadine itu menyentuh luka.
Dion menutup kotak P3K-nya, dan meletakkan kotak itu di sebelah gadis itu.
"Sena … janji sama aku kamu ga akan pergi sendirian lagi," ucap Dion menatap mata Sena dalam-dalam.
Sena mengulum bibirnya, mengangguk pelan.
"Good," ucap Dion tersenyum tipis lalu mengacak-acak rambut Sena yang masih basah. Ia berdiri meraih kotak P3K yang berada di samping Sena.
"Dion mau kemana?" tanya Sena saat melihat Dion beranjak pergi.
Dion menoleh, menatap gadis itu, "Tidur di sofa."
"Dion ga tidur sini?"
Dion menarik nafas dalam-dalam, mendengar pertanyaan polos gadis itu. Bagaimanapun ia tetap seorang pria, masih punya naluri. Akan berbahaya jika ia dan Sena tidur satu kamar, apalagi ehem— mereka hanya pakai bathrobe.
"Bahaya kalau aku tidur sama kamu."
"Kenapa?"
"Karena aku laki-laki."
Ehm— pernyataan macam apa itu Dion. Semua orang pun tahu ia laki-laki.
"Emang Dion laki-laki, kan."
Dion menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal, "Iya juga ya … maksudku kalau bukan mahram tidur satu kamar bahaya."
"Tapi Sena ga bisa tidur."
Dion menghela nafas, lalu meletakan P3K itu di meja cermin yang terletak di sebelahnya.
"Dion tunggu sini, sampai Sena tidur," ucap gadis itu penuh harap.
"Baiklah."
Sena tersenyum senang, lalu berbaring di atas ranjang.
Dion mendekati ranjang putih itu, dan menyelimuti Sena sampai atas perut.
"Dion … ceritakan sebuah dongeng."
"Jadi kamu mau dongeng?"
Sena mengangguk senyum.
"Baiklah."
Dion duduk di sisi ranjang, menatap hangat Sena yang berbaring.
"Pada suatu hari, hiduplah seekor landak kecil bernama Landy-"
Sena menatap Dion, mendengarkan seksama.
"Landak itu sangat baik hati. Namun tak ada satupun yang mau berteman dengannya. Semua penghuni hutan menjauhi Landy, karena Landy berbeda. Dan membiarkan landak kecil itu bermain sendirian–"
"Pada suatu hari, landak kecil itu merenung di tepi sungai. Meratapi nasibnya. Ia menangis di tepi sungai lalu berkata 'Mengapa mereka tidak mau bermain dan berteman denganku? Padahal tidak ada seekor binatang pun yang tertusuk diriku' Kemudian datanglah seekor kura-kura yang lambat namun bijaksana mendekati Landy. Ia bertanya 'Hei Landy, kenapa kamu murung?' Landy yang malu menjawab 'Ah tidak ada.' Kura-kura yang bijak itu duduk di sebelah Landy dan menghiburnya 'Jika kamu ada masalah, kamu bisa menceritakannya denganku. Aku siap mendengarkannya. Kamu tidak perlu khawatir, aku siap jadi sahabatmu. Percayalah!' Landy yang mendengar itu sangat gembira."
Sena tersenyum sumringah, "Terus, terus?"
"Terus mereka bersahabat, dan bermain bersama. Landy tidak lagi bersedih karena duri yang dimilikinya. Melihat kura-kura yang selalu keberatan membawa cangkangnya kemana-mana. Landy jadi tahu kalau Tuhan menciptakan sesuatu ada kegunaannya. Dan dia tidak boleh bersedih atas apa yang Tuhan kasih."
"Kura-kura nya baik ya," ucap Sena tersenyum.
Dion mengusap-usap rambut Sena, "Iya."
"Terus kelanjutannya apa?"
"Lalu pada suatu hari, Landy dan kura-kura main di tepi danau. Dan datanglah seekor kelinci membawa dua undangan. Kelinci itu berkata 'Hei kura-kura, Landy besok siang datang ya ke pesta ulang tahunnya kancil' Landy yang mendengar itu sangat senang, karena penghuni hutan satu persatu mau berteman dengannya."
"Lalu keesokannya, kura-kura dan Landy datang ke pesta kancil. Mereka memberikan kado dan ucapan selamat pada kancil. Namun tiba-tiba datanglah tamu yang tak diundang. Yaitu serigala. Mendengar akan ada pesta di hutan, serigala sengaja datang untuk memangsa mereka. Suasana pesta tiba-tiba menjadi kacau. Para hewan berlari menyelamatkan diri, kura-kura bersembunyi di cangkangnya. Dan landak tidak berlari, dia hanya berdiam di tempat."
"Terus terus?"
"Serigala tersenyum senang bahwa dia akan makan hari ini. Lalu saat serigala mendekati Landy. Landy membulatkan tubuhnya. Serigala yang tidak sabar ingin memangsa, langsung menerkam Landy, namun setelah itu serigala berteriak kesakitan. Duri-duri Landy menusuk tubuhnya."
"Lalu serigala itu berlari menjauh. Dan semua penghuni hutan bersorak kegirangan. Landy si landak kecil bisa melumpuhkan serigala. Dan mereka-mereka yang menjauhi Landy meminta maaf dan berterima kasih kepada Landy."
Sena bertepuk tangan senang, "Wah Landy hebat."
"Nah sekarang waktunya tidur," ucap Dion menaikan selimut Sena.
"Dion."
"Hemm?"
Dion menatap mata jernih Sena. Ia tak sadar bahwa jarak mereka sedekat itu. Hanya 15 sentimeter.
Chup
Dion mematung. Entah kenapa oksigen rasanya mendadak terhenti. Jantungnya juga berdegup kencang tak karuan. Otaknya berusaha menetralkan apa yang terjadi barusan.
Sena mencium bibirnya.
Sena yang malu menarik selimutnya sampai kepala. Bersembunyi. Wajahnya memerah seperti tomat.
Dion mengusap bibirnya, lalu beranjak pergi. Ia tak bisa bersama lama-lama dengan Sena. Apalagi dengan kejadian tadi.
Dion pergi ke wastafel. Mengontrol nafasnya yang memburu. Ia menyalakan keran lalu mencuci wajahnya.
Dion menatap cermin, dan mengeratkan genggamannya di sisi wastafel. Jangan tanya apa yang ia pikirkan sebagai seorang laki-laki, "Sepertinya kita harus menikah-"
Sedangkan Sena yang berada di dalam kamar. Berguling-guling frustasi.
"Aaaaaaa kenapa juga Sena cium Dion."
Sena sama sekali tidak bisa tidur. Bayangan dirinya yang mencium Dion terus berputar seperti kaset.
"Ya ampun Sena. Cewek macam apa kamu."
Sena menggulingkan badannya ke kanan, "Kalau Dion marah gimana?"
Lalu menggulingkan badannya ke kiri, "Terus, ya ampun! Kok bisa sih."
Sena menutup dirinya dengan selimut lalu berguling lagi ke kanan.
"Kenapa Sena ga bisa tahan diri. Kenapa Dion ganteng banget dengan rambut basah kayak gitu. Apa jangan-jangan Sena suka Dion?"
Sena berguling lalu ke kiri, "Tapi kalau Dion ga suka Sena gimana?"
Sena berguling lagi ke kanan, "Aaaaa gimana dong?"
Sena terus-terusan berguling sampai akhirnya ia terjatuh dari ranjang.
"Aww sakit," ucapnya merintih, memegang pinggang.