PART 85 - MARIO YANG KALEM

1073 Words
PART 85 - TELAH SELESAI REVISI "Daniel … makasih ya," ucap Mira memandang lembut pria itu. Sejujurnya ia sedikit gugup sekarang, bagaimanapun ini pertama kalinya Mira merasakan jatuh cinta, dan berkencan dengan lelaki. Oh tuhan, bagaimana cara dia mengontrol jantungnya sekarang. Ia hampir saja kehilangan nafas berada di dekat Daniel. Daniel begitu memikat hatinya. Apalagi untuk momen panjang yang mereka lakukan hari ini. Menikmati kopi berdua, jalan-jalan romantis di taman indah kota Jakarta sambil memakan es krim. Dan jam 5 sore, mereka memutuskan pulang setelah menikmati hari yang panjang. Bisakah Mira mengaku sebentar. Daniel adalah cinta pertamanya. Dan ia baru tau, beginikah rasanya. Cinta bisa mengubah tingkah seseorang. Mario yang biasanya sering bilang Mira tidak bisa diam seperti ulat bulu, kini ia terlihat kalem seperti keong sawah. Bisakah Mira sekarang meng-klaim bahwa Daniel adalah jodohnya yang tertunda. Mungkin saja bisa. Karena yang Mira tahu, Daniel juga menyukainya, sama seperti perasaan yang ia rasakan sekarang ini. Itu artinya cinta Mira terbalaskan. Bukankah begitu? Daniel menghentikan mobilnya di luar gedung apartemen. Setelah berkendara kurang lebih 15 menit. Daniel menoleh, menatap gadis bergaun merah maroon. "Iya sama-sama. Aku yang harusnya berterima kasih sama kamu, udah kosongin waktu luang buat aku." Suara Daniel mengalun lembut di telinganya seperti konsonan lagu indah yang membentuk harmoni. Mira menunduk merasa ribuan kupu-kupu beterbangan di hatinya. "Ah engga kok." Pipinya seketika merah. Kalau saja ada Mario disini, dan melihat pipinya merah merona, pasti ia akan diledek seperti pipi Pikachu atau pipi Chibi Maruko-Chan. Atau lebih parahnya lagi pipi habis kena tampar bolak-balik. Mira yang biasanya malu-maluin seperti tak ada urat malu, sekarang malah bersikap malu-malu seperti bakso urat di dalam kumpulan bakso telur. "Masuk gih," ucap Daniel lembut. Ia menatap hangat gadis yang baru dikenalnya beberapa hari ini. Mira mengangguk, "I-i-iya … Kam-kamu ga mau masuk dulu?" Daniel terdiam sejenak, kemudian menggeleng. "Nanti …" ucap Daniel tiba-tiba dalam. Entah kenapa suasananya jadi berubah, apa hanya perasaan Mira saja. "Jika aku kesana sekarang, itu tidak akan baik, Mira." "Aku akan datang saat masa itu tiba." Mira tercenung, entah kenapa bulu kuduknya terasa merinding setelah mendengar ucapan Daniel. Mira mengusap-usap lengannya, "O-oh gitu ya." Jujur saja ia masih merinding sebenarnya. Tapi Mira menepis pikiran-pikiran negatifnya. Ah mungkin hanya setan lewat saja, makanya bulu tangannya tiba-tiba merinding. "Yaudah kamu masuk gih. Mau aku anterin ke dalam?" Mira menggeleng cepat, "Oh engga. Ga usah. Makasih Daniel. Kamu nganterin aku sampai sini aja, aku udah seneng kok." Daniel tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya yang menawan. Tuh, kan senyuman Daniel membuat hati Mira porak-poranda sekarang. "Baiklah," jawab Daniel lembut. Mira melepaskan sabuk pengaman, dan sebelum turun ia mengucapkan sepatah kata pada pria yang mencuri perhatiannya. "Hati-hati ya Daniel." Daniel mengangguk, "Iya." Mira tersenyum sebentar, kemudian membuka pintu mobil. Mira memijakkan sepatu heelsnya di tanah, lalu keluar dari mobil. Bam! Mira menutup pintunya keras. "Hati-hati," Mira melambaikan tangan. Dari kaca mobil, Mira dapat melihat Daniel tersenyum ke arahnya sebelum akhirnya mobil mewah Mercedez Benz hitam metalik keluar dari lingkungan apartemen. Mira menatap mobil itu sampai menghilang dari pandangan. "Hah," Mira menyentuh d*danya yang berdegup kencang. "Akhirnya bisa bernafas lega, setelah sekian lama tahan nafas." "Aaaa," Mira histeris kegirangan. Ia menangkup kedua pipinya yang memerah. "Akhirnya jadi juga," ucap Mira senangnya bukan main. Jika hatinya bisa dilukis dengan kata-kata. Mungkin isinya akan penuh dengan taman bunga. Hatinya seperti musim semi sekarang, bunga-bunga seolah bermekaran. Daniel mengendarai mobilnya menembus jalanan ibu kota. Ia kembali mengingat bagaimana reaksi wanita itu, dan ekspresinya saat berada di sampingnya. Daniel yakin wanita itu akan jatuh cinta dengannya perlahan-lahan. Lagipula wanita itu sepertinya tidak buruk. Hanya kesan pertama bertemu saja yang aneh. Tapi setelah Daniel mendekatinya, entah kenapa wanita itu tiba-tiba saja berubah kalem. Padahal awalnya Daniel memohon pada Tuhan untuk tidak dipertemukan selamanya karena wanita itu genit. Namun sekarang, ia malah mengajukan dirinya untuk bertemu wanita itu. Daniel menatap jari-jarinya yang sibuk dengan setir mobil. Namun pandangannya tertuju pada sesuatu yang melingkar di jari manis. Cincin. Lebih tepatnya cincin couple. Baru sehari mereka kencan, Daniel telah memberikan Mira cincin couple, sebagai pengikat. Daniel memang tidak menyatakan cinta, atau menembak Mira sebagai kekasihnya. Ia hanya memberikan sebuah cincin saja. Perlahan-lahan Daniel menginjakan rem saat lampu merah menyala. Mobilnya berhenti menunggu lampu berubah hijau. Daniel menatap jari manisnya, kemudian tersenyum tipis dan membuka cincin itu. Lalu meletakkannya di dashboard. Ia hanya akan memakai cincin yang sama dengan wanita yang ia cintai. Sepanjang perjalanan Mira terus saja tersenyum seperti orang gila. Sepertinya ia sedang mabuk asmara. Tak lama saat sampai di depan lift, ia ingin menekan tombol. Tapi tiba-tiba saja, tombolnya diserobot tangan seseorang. Mira menoleh ke samping, "Lah sarang burung." "Enak aja sarang burung. Sarang wallet." Pintu lift tiba-tiba terbuka. Dua insan yang berbeda jenis kelamin, masuk bersamaan dengan langkah sama. Mira menekan tombol lantai 7. "Abis darimana dandan menor kayak gini? Abis dari kondangan?" Mira menghela nafas, "Hah, hari ini gue lagi berbaik hati, ga mau gelut dulu. Karna hati gue lagi berbunga-bunga," jawab Mira tersenyum lebar. "Berbunga-bunga. Bunga bangke kali ah." Buk…! "Enak aja tuh congor ngomong. Tuh liat–" Mira menunjukan kelima jarinya ke wajah Mario. "Coba liat ada yang melingkar ga?" Mario menepis tangan Mira di wajahnya, "Mau sombong ceritanya?" "Iyalah. Ada yang melingkar tapi bukan ular, tapi …" "Cincin!" ucap Mira kegirangan. "Cincin doang. Di toko emas juga banyak." "Ini cincin bukan sembarang cincin. Ini cincin dari pujaan hati. Makanya gue mau sombong dulu. Gue udah punya pacar dong." "Nanti juga putus." Buk..! "Jangan doain dong anjir. Gue susah nih dapet cowok, malah lu doain putus." Ting! Pintu lift terbuka. Mira dan Mario melangkahkan kakinya keluar. Mereka jalan beriringan menuju kamar apartemen Dion. "Iya-iya gue doain lu langgeng." Sebenarnya ucapan Mario tidak salah sih, tapi kalau dengar ucapan Mario yang lempeng-lempeng aja, itu yang bermasalah. Biasanya kan Mario kalau ngomong suka ceplas-ceplos. Kalau Mario berubah rasanya ada yang aneh gitu. "Tumben kalem mas-nya." Mario menenteng dua plastik besar yang berisi makanan untuk Sena, "Gue kalem salah, gue berisik salah. Terus yang bener gue harus ngapain?" "Aneh banget ngeliat lu kalem kayak gitu. Ga cocok." Mario diam saja tak menanggapi. Fokus berjalan. "Mar?" Mario menggumam, "Ehmm?" "Jangan kalem kayak gitu ah. Gue ga ada temen gelut entar." "Gelut sama bantal, kan bisa." "Ah ga seru. Kalo sama bantal ga bisa diajak nge-gas." "Kompor noh ada gas-nya." "Ah ga enak, gas itu kalo diajak gelut langsung goodbye sampai ke surga." "Buset ... Banyak protesnya ni Miras." "Miras miras. Mira!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD