"Davina kamu dimana?" lirih Daniel memandangi pigura dirinya dan Davina saat SMA.
Daniel mengusap-usap wajah Davina yang tersenyum manis ke arah kamera. Ia rindu senyuman ini. Senyuman polos seperti anak anjing. Daniel mengingat kembali kenangan dibalik foto ini. Dimana mereka mengunjungi photobox dekat stasiun sekolah.
Photobox yang ramai dikunjungi muda-mudi. Terutama para pasangan yang ingin mengabadikan momen kebahagiaan.
Mereka berlarian menembus hujan sepulang sekolah.
"Jangan lari-larian Davina. Nanti kalau kepleset gimana? Kan aku udah bilang jangan sering hujan-hujanan nanti sakit," ucap Daniel memberikan wejangan pada kekasihnya setelah sampai di depan pintu Photobox. Ia tak percaya Davina akan menerobos hujan sederas ini. Padahal ia sudah membawa payung. Namun saat ia meraih payung di dalam tasnya, gadis itu malah berlari meninggalkanya. Sontak ia memasukan kembali payungnya, memilih mengejar Davina.
Davina yang dimarahi seperti itu hanya menyengir, merapikan rambutnya yang basah kuyup, "Kan aku suka hujan."
Daniel menghela nafas. Ia tak bisa marah pada Davina. Ia mendekati gadis itu, dan membantu menyisir rambut Davina dengan jari-jarinya, "Aku ga marah. Aku hanya khawatir."
Daniel menahan dadanya yang sesak. Ia sungguh rindu Davina. Ia mengingat pertemuan mereka yang indah saat masih duduk di bangku SMP. Pertemuan pertama yang takkan pernah Daniel lupakan.
Hari itu hujan turun sangat lebat. Para siswa yang ingin pulang, mengurungkan niatnya. Mereka berdiri di koridor menunggu hujan berhenti.
Daniel yang memang penyendiri dan tak ingin berteman dengan siapapun, berdiri di ujung koridor. Bersandar di dinding sambil membaca komik kesukaannya. Detektif Conan series ke-10.
Namun perhatiannya teralihkan pada siswi imut yang berdiri di ujung koridor sana. Ia sangat imut, dengan rambutnya yang dikuncir dua dengan ikat rambut pink hello Kitty.
Entah kenapa siswi itu menarik perhatiannya. Namun Daniel tersadar ia tak seharusnya memperhatikan wanita itu. Ia kembali melanjutkan bacaannya. Berusaha melenyapkan bayang-bayang gadis itu.
Tapi sekali lagi, Daniel tak dapat menahannya. Entah kenapa, gadis itu membuatnya candu. Ia bahkan tidak bisa untuk tidak menatap gadis imut itu.
Daniel kembali menatapnya, namun ia begitu terkejut gadis itu menerobos hujan yang sangat deras. Tanpa ba-bi-bu ia memasukan komiknya ke dalam tas, dan berlari menembus koridor, mengejar gadis itu. Ia benci hujan. Sangat benci. Namun entah kenapa aura gadis itu begitu kuat memikatnya, sampai-sampai ia berani berdiri di tengah lapangan menembus hujan. Menembus hal yang sangat ia benci dalam hidupnya.
"Kenapa kamu hujan-hujanan?"
Gadis itu berbalik saat merasakan lengannya di pegang oleh seseorang. Mata mereka bertemu.
Daniel merasakan aliran listrik menyengat sampai ke hatinya. Tatapan mata polos gadis itu seperti masuk ke dunianya. Daniel merasakan hal yang aneh dan sulit dijelaskan.
Gadis itu terus mematung, sampai akhirnya Daniel mengguncangkan bahu gadis itu, "Hei."
"Oh iya," ucap gadis itu tersadar.
"Kata mamaku kalau hujan itu berteduh, bukan hujan-hujanan."
"Karena aku suk-" belum sempat gadis itu menyelesaikan ucapannya. Tangannya ditarik oleh Daniel, entah menuju kemana. Ia hanya mengikut saja tanpa protes apapun.
Daniel mendorong pintu gudang dengan kakinya. Gudang di atap memang tak pernah dikunci.
"Kenapa kita kesini?"
"Berteduh."
Sedari tadi Daniel tak pernah melepaskan genggamannya pada gadis itu. Entah kenapa ukuran tangan Davina begitu pas di tangannya.
Dan juga- begitu nyaman.
"Kok kita berteduhnya jauh banget?"
Daniel terhenyak, namun memilih tak menjawab. Ia melepaskan genggamannya, dan berjalan lebih dahulu. Melepaskan tas dan meletakkannya di atas meja.
"Jangan hujan-hujanan lagi."
Daniel membuka tasnya, dan mengeluarkan semua buku-bukunya yang basah kuyup ke atas meja.
"Tapi aku suka hujan," ucap Gadis itu berjalan mendekati Daniel. Dan berdiri di sampingnya.
"Hujan cuma bikin sakit."
"Itu menurut sudut pandang kamu."
Daniel menoleh menatap gadis itu, "Memang menurut sudut pandangmu hujan seperti apa?"
"Sesuatu yang baik."
"Apanya yang baik?"
"Kamu ga akan mengakui kebaikannya kalau kamu sendiri ga suka."
"Aku tidak peduli hujan itu baik atau tidak. Yang jelas, aku tidak suka."
"Kalau kamu nangis di bawah hujan. Pasti orang ga akan percaya kalau hatimu lagi hancur. Setidaknya orang lain tidak tahu kamu lagi nangis saat itu. Hujan baik, kan?"
Dion terdiam.
Gadis itu tersenyum, melepaskan tasnya, dan meletakkannya di atas meja, "Aku Davina," ucap gadis itu memperkenalkan diri.
Daniel menyunggingkan senyumannya, "Daniel."
Tanpa sadar kenangan itu membuat Daniel menangis. Tetesan air matanya berjatuhan mengenai pigura.
"Maaf. Aku yang merusak semuanya."
Daniel menangis sesenggukan. Kehilangan Davina adalah luka yang teramat menyakitkan. Ia begitu naif dan bodoh di masa lalu. Bahkan dosa-dosanya terlalu banyak pada gadis itu. Akankah Tuhan mau memaafkannya?
*
*
"Gimana enak ga?" tanya Mario sambil menyuapkan satu potong pizza ke mulutnya. Matanya tak pernah lepas memandang Sena. Gadis itu begitu imut saat mengunyah. Pipinya menggembung penuh makanan seakan ingin meledak.
Sena bertepuk tangan senang, dan mengambil sepotong pizza lagi. Namun Mario menahan tangannya.
"Abisin dulu yang di pipi."
Sena mengangguk, lalu meletakan pizza itu lagi.
Mario tersenyum lebar. Entah kenapa Sena imut banget hari ini.
"Bagussssss, bisa-bisanya dateng ke apartemen gue. Setelah gue blacklist beberapa jam yang lalu."
Dua insan yang sedang asyik makan itu menoleh ke arah pintu. Terlihat Dion sedang menatap mereka masam. Tangan Dion dipenuhi kantong belanjaan.
Sena menelan semua pizza di kerongkongannya, berlari menghampiri Dion seperti anak meminta mainan, "Diooooon."
"Apa," ucap Dion dingin tak mau menatap Sena.
"Hadiah buat Sena mana?"
"Ketinggalan," ucap Dion singkat, padat, dan jelas. Lalu berlalu meninggalkan Sena. Entah kenapa dirinya menjadi sedikit badmood.
"Katanya Dion janji mau beliin hadiah buat Sena."
Sena mengekori Dion, berusaha menyeimbangi langkah Dion yang panjang.
Mario yang menatap itu tersenyum. Setidaknya Dion ada kemajuan terhadap wanita.
Dion berjalan ke kamarnya, diikuti Sena yang terus memanggilnya. Dion meletakan semua barang belanjaan di bawah lantai, dan berbalik badan.
"Loh, kok kamu ikutan masuk?"
"Emang ga boleh ya?" ucap Sena polos.
"Ya ga boleh lah Sena. Ini kamar cowok. Cewek ga boleh masuk. Udah sana keluar gih main sama Mario. Kalau ada cewek cowok berduaan di satu ruangan, yang ketiganya setan."
"Sena mau liat kamar Dion."
Sena melihat sekeliling kamar Dion yang aesthetic. Disini juga rapi dan wangi lavender.
"Sena udah ya lihat-lihatnya," ucap Dion sedikit menghalangi pandangan Sena dengan badannya.
"Dion boleh masuk kamar Sena. Masa Sena ga boleh masuk kamar Dion?"
Jawaban Sena membuat Dion menggaruk rambutnya yang tak gatal, "Iya juga sih." Tapi, kan ia pemilik rumah ini.
"Waaah kamar Dion bagus," ucap Sena kagum lalu duduk di ranjang Dion yang empuk.
"Senaaaaa."
"Ihh Dion Sena mau main sebentar. Kamar Dion lucu ya ada poster lumba-lumba nya."