PART 6 - MOMENT

1036 Words
"Apa Davina sudah ditemukan?" ucap seorang pria bertubuh jangkung di dalam teleponnya. "Belum tuan," jawab dari balik telepon. "Hah," pria itu menghela nafas berat lalu memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sudah 2 hari gadis-nya menghilang tanpa jejak. Segala upaya telah ia lakukan. Melaporkan kejadian hilang ke polisi, menyewa detektif, bahkan menyewa orang profesional untuk mencari keberadaan Davina. Rasanya ia hampir mati. Pria itu memandang kosong tak b*******h. Bahkan pemandangan indah senja dari atas balkon tak sedikitpun menarik perhatiannya. Bagaimana indahnya burung-burung yang bertaburan di langit oranye membentuk huruf V berbondong-bondong pulang ke sarangnya. Dan sang mentari yang perlahan-lahan menghilang dari peraduan. "Tolong cari gadis-ku," ucapnya lirih. Pip…! Pria itu mematikan sambungan teleponnya. Menunduk dalam, menyesali perbuatannya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Apa yang sudah ia lakukan, tak bisa kembali lagi. "Maaf." Hanya permohonan maaf yang bisa ia ucapkan. Bagaimana caranya menebus dosanya? Bahkan raganya terasa ada, namun rohnya entah melayang ke mana. Pria itu menutup matanya, merasakan hilir angin yang menyentuh kulitnya. Berdoa, agar angin juga membawa rasa risaunya. Grep…! Pria itu mendadak membuka mata, merasakan pelukan hangat dari belakang. Tangan lentik nan putih itu melingkar di pinggangnya. Daniel melepaskan pelukan itu. Ini bukan pelukan dari gadis-nya, ini orang lain. Ia berbalik badan dengan perasaan marah. Netranya menatap tajam sosok wanita yang ingin ia hindari. "Daniel kamu sengaja nge-jauh dari aku?" Daniel memandang ke arah lain, menghindari tatapan itu. Wanita itu mendorong bahu Daniel meminta penjelasan, "Jawab aku." Daniel memasukan tangannya ke dalam saku, "Aku udah bilang berapa kali sih? Kita putus Chika. Kita putus." "Tapi aku ga mau putus." "Ya itu urusan kamu." Chika mengepalkan tangannya, marah. Rasanya seperti habis manis sepah dibuang. Peribahasa yang menuju ke arahnya. Seharusnya Daniel jatuh cinta padanya, kenapa se-susah itu? Padahal Davina sudah lenyap ditelan bumi. "Kamu ga bisa tinggalin aku gitu aja." Daniel menurunkan pandangannya. Menatap gadis itu. Mata mereka beradu, dengan perasaan yang berbeda. Daniel dengan perasaan marah, dan Chika dengan perasaan berkecamuk. Marah, sedih, kecewa, semuanya beradu jadi satu. Rasanya air matanya ingin tumpah saat itu juga. "Dari awal, bukan aku yang mulai. Tapi kamu. Kamu selalu berharap lebih sama aku." "Terus selama ini apa?" Air mata Chika mendadak tumpah. "Kamu anggap aku apa? Selama setahun hubungan kita, kamu ga anggap aku siapa-siapa, bahkan kamu orang pertama yang ambil Virgin aku. Kita udah ngelakuin semuanya bareng-bareng." "Semua yang kita lakukan, cuma kamu anggap angin lalu?" ucapnya bergetar. "Hubungan kita udah dalam, Daniel hikss …" Daniel mematung, hatinya mendadak luluh. Kedua kalinya ia membuat wanita menangis. Ia menunduk dalam, ia menyesal membuat Davina menangis. Dan kini ia menyesal membuat Chika menangis. Daniel menarik tubuh ringkih itu ke pelukannya, mengusap pelan rambutnya, "Maaf." Daniel mengusap-usap rambutnya, berharap gadis itu akan berhenti menangis. Namun dibalik itu, sang gadis yang menangis mendadak tersenyum. Dan sorotan matanya yang sendu berubah menjadi tajam. Melenyapkan Davina memang tujuan awalnya. * * "Hah," Dion menghela nafas lega setelah meletakan semua barang-barang Sena ke tempat yang tepat. Handuk, dan selimut yang didapat dari rumah sakit disusun ke dalam lemari. Dan sisa-sisa makanan yang dibeli di minimarket, ia letakan di kulkas. Ia terpikirkan sesuatu, seharusnya ia juga meletakan satu kulkas di kamar Sena. Agar gadis itu tidak perlu jauh-jauh ke dapur. Kalau lapar. Ehm, tunggu sepertinya Dion menyadari sesuatu. Dion membuka kembali lemari yang baru saja ia bereskan. Ia sedikit tersentak, ternyata belum ada baju perempuan di kamarnya. "Oh iya," Dion menepuk dahinya. Bahkan saat pulang ke Apartemen pun, Sena masih memakai baju rumah sakit. "Kamu udah selesai?" Suara lembut nan halus itu mengalun di telinganya. Dion menutup pintu lemari, dan berbalik. Menatap gadis itu yang telah duduk, entah dari kapan. Dion mengangguk, "Udah. Kok kamu ga tidur?" Sena tersenyum, "Ga bisa tidur," ucapnya menggeleng. Dion mengangguk mengerti, "Kamu pasti lapar. Tunggu ya, aku masakan sesuatu." "Memangnya kamu bisa masak?" "Apasih yang ga bisa dari seorang Dion." Gadis itu tertawa, "Percaya dirimu bagus," ucapnya mengacungkan jempol. "Antara percaya diri dan sombong dikit," jawabnya terkekeh. * * Bsss…! Suara bumbu yang dimasukan ke dalam minyak panas. Bumbu-bumbu basic yang terdiri dari bawang putih, bawang merah, dan sambal yang telah dihaluskan. "Harum." Dion menoleh saat sang pemilik suara merdu itu telah berdiri di sampingnya. "Loh? Kok disini. Kan aku suruh duduk aja." Sena tersenyum, "Bosen. Masa aku ga ngapa-ngapain." "Udah kamu duduk aja." Sena mengerucutkan bibir, memainkan jari-jarinya, "Aku mau bantu juga." Dion menghentikan aktivitasnya, meninggalkan spatula di wajan. Ia berbalik menghadap Sena di sampingnya. Gadis imut yang tingginya hanya se-dagu. Dion meletakan tangannya di bahu Sena, "Princess duduk aja. Kan, lagi sakit." Sena menunduk tersipu malu, rasanya seperti ribuan kupu-kupu yang menggelitik hatinya. Dion memutar Sena, dan mengarahkannya berjalan menuju meja makan. Setelah sampai di meja makan, ia menarik kursi, dan mendudukan Sena disana. "Kamu duduk aja disini, sampai aku siap. Oke?" "Tapi, aku kan mau ban-" "Udah kamu duduk manis disini aja. Aku masak dulu ya, nanti gosong," ucapnya lembut. Sena mengangguk pasrah, "Yaudah deh." Dion kembali ke pekerjaannya. Mengambil dua piring nasi, dan memasukannya ke dalam wajan. Tangannya yang lihai mengaduk-aduk nasi goreng, hingga rata dengan bumbu. "Beginilah kehidupan jadi Dion. Ganteng, kaya, tajir, bisa masak, perfect, uwoww uwwu good banget lah pokoknya," ucapnya ngomong sendiri. Yang pasti tentu saja Sena tidak bisa mendengarnya. * * Dion tersenyum menatap dua piring masakannya yang telah tersaji dengan baik. Dengan perasaan senang, ia melangkah ke arah meja makan. Meletakan dua piring nasi goreng yang ia buat dengan perasaan tulus dan cinta. Ehm? Cinta. Ehm maksudnya cinta akan sesama. Dion duduk berhadapan dengan gadis yang ia ibaratkan Psyche itu, "Gimana?" ucapnya menaikturunkan alis. "Gimana apanya?" "Nasi gorengnya?" ucapnya menyengir lebar. Menunggu jawaban. Seakan mengerti maksud Dion, Sena bertepuk tangan, "Waaa hebat." Dion menghela lega, lalu bersandar ke punggung kursi, "Siapa dulu dong? Dion. Apasih yang ga bisa dari Dion." "Yaudah yuk makan," ucap Dion mengambil sendok dan garpu, lalu meletakkannya di piring Sena. Dan mengambil untuknya juga. "Kamu makan duluan." Sena mengangguk, lalu menyuapkan satu sendok nasi goreng, "Emm enak." Dion tersenyum bangga. Lalu menyuapkan nasi gorengnya. Benar kata Sena, ini enak. Waaah, ia bangga pada dirinya sendiri. Malam itu, hanya ada suara dentingan piring dan sendok. Untuk pertama kalinya bagi Dion, membawa seorang perempuan dan makan bersamanya di satu meja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD