"Wey bro," ujar pria tampan berambut cokelat menyambut Dion. Pria itu mengangkat tangannya, menghampiri Dion yang baru tiba di basecamp bawah tanah.
Dion tersenyum, menyatukan telapak tangannya dengan telapak tangan pria itu, membalas highfive.
"Mana yang lain? Kok cuma bertiga?" Dion melangkah masuk. Menginjakan kakinya di basecamp Solidarity. Pria berambut cokelat mengekori Dion dari belakang.
Bau asap rokok, penerangan yang remang-remang, cat dinding berwarna cokelat, dan beberapa botol alkohol kosong yang bergeletakan di lantai. Terkesan suram dan seperti perkumpulan anak nakal. Tapi jangan salah basecamp ini menjadi tempat nongkrongnya anak BEM, dan anak-anak crazy rich di kampus yang kekayaannya tajir melintir.
Tentu saja tidak semua orang bisa nongkrong di tempat ini.
Dion menghampiri dua orang pria yang sedang merokok di sofa kulit berwarna mocca.
"Glenn," Dion mengangkat tangannya ber-highfive dengan pria jangkung itu.
"Yo sob," balas Glenn.
"Dim," Dion menepuk pundak Dimas, dibalas senyuman oleh Dimas. Pria berambut gondrong. Anak pemilik kampus yang tingkahnya nyeleneh, tapi bisa menjabat jadi koordinator bidang BEM.
Dion duduk di sofa bersebelahan dengan Dimas yang asyik merokok sambil memainkan smartphone, dan duduknya bersebrangan dengan Glenn yang merokok sambil main gitar, dengan satu kaki disilangkan di atas sofa.
Pria berambut cokelat mendaratkan bokongnya di samping Glenn.
Glenn bukanlah bagian dari BEM, hanya anak crazy Rich yang suka nongkrong di basecamp ini.
"Mau rokok gak?" Pria berambut cokelat menyodorkan bungkus rokok ke arah Dion.
"Gue ga ngerokok."
"Alim bener," ujar pria berambut cokelat tersenyum miring lalu menarik satu puntung rokok Mild dari bungkusnya.
Dion menyandarkan punggungnya, mendongakkan wajahnya memandang langit-langit, "Bukannya alim, cuma ga suka aja."
Pria berambut cokelat menyelipkan rokoknya di antara bibir. Lalu menyalakan pematik.
"Lu waras, kan Yon? Rokok ga suka, alkohol ga suka, cewe seksi di tempat club juga ga suka," celetuk Glenn.
"Ga normal lu yak," celetuk Dimas terkekeh.
"Sembarangan," ucap Dion melempar bantal sofa membuat mereka bertiga terkekeh.
Dion menegakan tubuhnya, menatap lurus ke depan, "Udah cepetan, omongin soal rapat BEM Minggu depan. Ga suka gue bau-bau rokok kayak gini."
Pria berambut cokelat menghembuskan asap rokoknya, "Iya-iya," ucapnya lalu membuang puntung rokok yang masih menyala, dan menginjaknya.
Hal itupun juga dilakukan oleh Dimas dan Glenn. Memilih mematikan rokok.
Pria berambut cokelat, sang wakil BEM bernama Roni memajukan tubuhnya, "Jadi gini …"
*
*
"Hah pacar?!" Dion membulatkan matanya terkejut. Ia yang sedang menyetir mobil, hampir saja dibuat jantungan.
"Mama ada-ada aja sih mintanya. Ga ada pacar-pacaran," sahut Dion malas di dalam telepon. Tangan kanannya yang sibuk memegang setir, dan tangan kirinya memegang ponsel.
"Ya ampun Dion! Anak orang udah pada bawa pacar, masa kamu engga sih. Kan enak Mama pamerinnya ke teman-teman arisan."
Dion menghela nafas, mendengar sahutan di ujung telepon.
"Mama pilih aja deh cewe mana aja. Terus bilang ke teman-teman mama, itu pacar Dion. Pasti percaya-percaya aja kok."
"Oh tidak bisa, sayangku cintaku … Mama maunya kamu ke rumah gandeng pacar. Masa anak Mama se-ganteng ini masih jadi tiang listrik. Truk aja gandengan, masa kamu engga. Kalah kamu sama sendal. Sendal aja pasangan."
"Dah ya ma, kalau mama cuma mau tanya pacar. Dion matiin nih."
"Hemmm …"
"Hemm apa?"
"Mama curiga."
Dion menaikan satu alisnya,"Curiga apa?"
"Mama curiga semenjak kamu putus sama Chintya, kamu jadi Gay."
Ckiiiiiiiiiit…
Buk…!
"Aduuuh," Dion mengaduh kesakitan saat kepalanya terbentur stir mobil.
Dion menegakan tubuhnya, menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia menabrak kucing lewat. Untung ia segera mengerem mendadak, ditambah lagi omongan mamanya yang asal ceplos tanpa filter. Tambah membuat kaget.
"Dion? Dion kamu gapapa? Itu suara apa?"
Dion mendengus nafas sebal, "Udah ya ma, Dion sibuk."
"Kamu ga gay, kan Dion?"
Dion memutar bola matanya, "Ya enggaklah ma! Dion masih normal."
Tut Tut Tut
Dion mematikan sambungannya sepihak. Lalu melempar ponselnya ke kursi sebelah. Anak mana coba yang tidak terkejut, dibilang 'belok'.
*
*
Dion membuka pintu kamar rumah sakit, ia terkejut dengan barang-barang yang sudah rapi di packing ke dalam tas.
"Lah kalian mau kemana?" tanya Dion mengernyitkan dahi.
Sena tersenyum lebar, "Mau pulang."
Dion membulatkan matanya, "Hah?! Pulang? Pulang kemana?"
"Ke Rahmatullah," jawab Mario asal.
"Amin," ucap Dion terkekeh.
"Anjrit malah di aminin," jawab Mario sebal membuat Dion tertawa.
Dion menghampiri Sena yang terduduk di ranjang, raut wajah Sena terlihat sedikit menyegarkan meskipun masih terlihat pucat. Hemm, apa mungkin efek karena Sena senang sudah bisa pulang? Mungkin saja.
Dion meletakan tangannya, di puncak rambut gadis itu, terasa halus di telapak tangannya, "Seneng ya udah boleh pulang?"
Gadis itu mendongak, netra matanya yang hitam jernih bertatapan dengan mata cokelat gelap karamel milik Dion. Gadis itu tersenyum, mengangguk senang, "Iya."
"Yuk pulang," ucap Dion tersenyum.
"Ehemm ehemm."
Senyum Dion seketika memudar. Begini nih, selalu aja ada nyamuk yang ganggu saat lagi romantis-romantisnya. Dion menoleh ke belakang, menatap Mario sebal, "Apa?"
Mario merapatkan kakinya, bergerak manja, "Aku ga diajak pulang, mas?"
*
*
Cklek…!
Pintu Apartemen berwarna putih terbuka. Sosok Dion yang menggendong Sena bridal style melangkah masuk, diikuti Mario di belakang yang menjinjing tas rumah sakit.
Sejenak Sena merasa takjub. Ekor matanya melirik seluruh ruangan. Rapi, bersih, tertata, klasik dan aesthetic. Kata yang tepat untuk mendefinisikan apartemen Dion. Jika dilihat dari apartemennya, bisa ditebak karakter Dion yang rapi dan teroganisir, dan juga pecinta seni.
Terlihat dari dindingnya yang dihiasi berbagai macam lukisan abstrak aesthetic, dan pajangan foto yang memuat ragam quotes motivasi.
Dion membuka knop pintu kamar bercat putih, dan sedikit mendorong pintunya dengan kaki. Ia melangkah masuk menuju ranjang kingsize berwarna biru muda, dan menurunkan Sena pelan-pelan.
"Ini kamar kamu. Kamar aku ada di sebelah."
Sena mengangguk senang.
"Yon, ini diletakin dimana?"
Dion menoleh, menatap dua tangan Mario yang membawa dua tas.
"Disitu aja," ucap Dion menunjuk tempat kosong di sebelah meja rias.
"Oke," Mario meletakan dua tas itu di bawah lantai sebelah meja rias berwarna putih.
"Gue pulang dulu yak. Udah sore."
Dion mengangguk, senyuman tipis tersungging di bibir merahnya, "Oke hati-hati."
Mario mengangguk, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Sena, "Sen, pulang dulu."
"Iya hati-hati. Makasih ya Mario."
"Iya sama-sama jangan sungkan ya minta bantuan babang Mario. Babang Mario selalu ada 24 jam."
"Udah udah pulang sono," ucap Dion mendorong Mario, sampai pria itu menghilang di balik pintu. Lalu menutup pintunya.
Dion berbalik badan, menatap gadis cantik yang ia ibaratkan seperti Dewi Psyche.
"Emm, biar aku yang beresin ini semua," ucap Dion tersenyum.