PART 70 - TEMPAT FAVORIT DION

1053 Words
"Sayur-sayur." "Ikan-ikan. Masih segar baru ambil dari laut." "Buahnya buahnya buahnya. Murah, baru panen. Ada pisang, mangga, semangka, salak, durian-" Dion dan Chika jalan beriringan di pasar tradisional. Terdengar sorak-sorai para pedagang menawarkan dagangannya. Ini pertama kalinya mereka menginjakan kaki di pasar tradisional selama hidup mereka. Tentu saja suasana di pasar sini akan sangat berbeda dengan pasar modern yang adem, ber-AC, tenang, tidak seberisik seperti pasar tradisional. Disini para pedagang bersorak semangat menawarkan dagangannya untuk menarik perhatian pembeli. Chika memegang baju belakang Dion, ia agak kepayahan melewati jalanan di pasar ini, banyak lumpur. "Aduuhh, kotor banget sih. Aaaa mama," keluh Chika, beberapa kali kakinya terjerembap lumpur yang dalam. Sepatu putih mahalnya tidak karuan lagi. "Kak Dion pulang aja yuk, aku ga suka disini," rengek Chika yang sudah tidak betah. "Kamu tunggu di luar pasar aja gimana? Biar aku yang belanja sendirian." "Ga mau." "Yaudah kamu lepas sepatunya, aku beliin sendal." "Ga mau. Disini tuh panas, gerah, berisik, kotor. Sepatu Hermes aku jadi rusak kena lumpur. Di laundry atau dicuci pake air kembang 7 rupa pun, ga akan bisa sama lagi sepatu aku." Dion menghentikan langkahnya, menunduk menatap Chika yang merengek, "Kan aku udah tawarin tadi, kamu mau masuk atau engga … kalo kamu ga mau masuk, biar aku aja yang belanja sendiri." "Ga mau." "Terus kamu maunya apa?" "Cari pasar yang lain aja, disini sumpek, bau, kotor, iyuh banget banyak kecoa-nya. Banyak lumpur, ga banget pokoknya! Ga banget! Cari yang lain aja kak Dion." "Pasar paling deket disini cuma satu, Chik. Kita mau cari kemana lagi? Kalo kamu ga mau ikut yaudah, biar aku sendiri aja," ucap Dion berjalan duluan meninggalkan Chika. 10 menit di dalam pasar, Dion bahkan belum beli apa-apa, padahal kegiatan masih banyak yang lain. Perjalanan naik sepeda ke sini saja menghabiskan waktu 30 menit. Belum waktu untuk milih bahan-bahan di pasar, bisa-bisa pulang Maghrib kalau terlalu lama. "Ih kak Dion kok gitu sih?" protes Chika mengerucutkan bibirnya, menatap Dion yang meninggalkannya begitu saja. "Tungguin aku dong." "Kak Dion!" ***** "Ini beneran tempat favoritnya Dion?" Sena speechless menatap bangunan di depannya, sampai tak bisa berkata-kata lagi. Entah dianya yang terlalu polos percaya-percaya saja ucapan Mario, atau emang Mario nya yang terlalu pintar. "Ini- Mario ga salah?" "Ya salah dong," jawab Mario bangga, melipatkan lengannya di depan d**a, tak lupa memamerkan senyuman menyebalkan. "Ih Mario kalau salah kenapa bawa Sena kesini?!" protes Sena menatap pria bertopi di sebelahnya. "Kan pria ditakdirkan selalu salah." "Mario … Sena serius," jawab Sena cemberut. "Ya elah Sen, serius-serius amat. Santai aja, kalau kata anak Perancis nih ya … Perancis agak kesanaannya dikit- Pasar minggu. Santuy. Yang penting, kan aku udah kasih tau tempat favoritnya Dion. Tinggal santuy santuy aja kita disini, menikmati hangatnya sinar mentari berdua." "Bukan hangat lagi ini mah, Mario. Panas." "Masih jam 12 siang baby, ga terlalu panas, palingan suhunya cuman 38 derajat Celsius." Sena membulatkan matanya, "Ga terlalu panas?! Panas begini rasanya kayak di jemur." "Gapapa yayang, anggap aja kita lagi cosplay jadi ikan asin. Sesekali berjemur, ngerasain kerasnya hidup jadi ikan asin. Dahlah, masuk yuk." "Malu Mario … masa kita main ke taman anak-anak gini sih? Mana isinya anak-anak bayi semua." Sena menatap bangunan imut di depannya, dengan plang jumbo yang terpasang TAMAN BERMAIN BAYI DAN BALITA. Perosotan mini, ayunan mini, mandi bola, kuda-kudaan mini. Semuanya serba mini. "Ayo anak-anak, kita mandi bola dulu," ucap seorang ibu paruh baya pada kedua anak balitanya. "Aduh, jangan berebutan main kuda-kudaannya," ujar ibunya yang satu lagi, memisahkan dua anak balita cowonya berebutan kuda-kudaan. "Main perosotan nya jangan kencang-kencang sayang, pelan-pelan aja. Nanti jatuh." "Aduh, jangan lama-lama mandi bolanya nanti masuk angin." Sena yang mendengar dari luar jadi frustasi sendiri. Apa jadinya, jika ia dan Mario yang bangkotan main di taman bayi. Mukanya mau diletakan di mana. "Masa kita main disini? Baru main perosotan udah jebol." "Kan katanya yayang mau ke tempat favoritnya Dion. Ini aa Mario udah kabulin," ujar Mario tersenyum bangga. "Favorit apanya, masa tempat favoritnya Dion taman bayi. Mau main apaan di taman bayi? Mario mah bercandain Sena mulu, sebel," protes Sena mengerucutkan bibir. "Kok bercanda? Kan emang bener ini tempat favoritnya Dion." "Favorit darimana?" "Dari Dion bayi." Sena menarik nafas panjang, menahan emosi untuk tidak me-nampol Mario. ***** "Akhirnya selesai juga," seru Glenn lega. Setelah membagikan 10 bansos ke rumah-rumah warga di sini. Untuk sekedar info saja, rumah disini berbeda dari rumah pada umumnya. Desain rumah mereka full kayu, dengan lantai semen tak pakai keramik. Dan atap asbes. Benar-benar sederhana. Dan jika ekonomi mereka benar-benar di kalangan bawah, dinding mereka hanya terbuat dari triplek. "Iya kak lega." "Gue langsung ke pondok, lu mau kemana, Rick? Ngikut ga? Erick menggeleng, "Oh engga kak. Aku mau ke tempat pak Mukhlis dulu ada urusan." "Oh oke, hati-hati ya." "Oke kak." Glenn dan Erick berpisah di persimpangan. Erick belok kiri menuju rrumahnya pak Mukhlis, dan Glenn belok kanan kembali ke pondok. Glenn melangkahkan kakinya di jalanan yang masih tanah. Jalanan disini juga tak ada yang di aspal, masih tanah, tidak rata dan juga banyak batu-batuan. Beberapa menit berjalan, akhirnya Glenn sampai di pondok. Terlihat mereka sedang sibuk memasak makan malam dengan tungku. Asap tebal dari tungku membumbung tinggi ke udara. "Kak Glenn." "Kak." Glenn tersenyum, disapa 4 wanita yang bertugas menjaga pondok. "Udah masak?" tanya Glenn. "Sebentar lagi kak," jawab salah satu panitia. Glenn tersenyum tipis, "Oke kalo gitu," ucap Glenn kemudian berlalu. Ia melangkah masuk ke dalam pondok yang sepi. Semua wanita pada di luar sedang sibuk-sibuknya. Glenn pun akhirnya berhenti di kamar pojok, dan mengetuk pintu perlahan. Tuk tuk tuk "Dim." "Buka aja." Setelah mendapatkan izin dari dalam, Glenn membuka pintu. Terlihat sosok yang ia cari sedang asyik-asyiknya main game di atas ranjang. Glenn menutup pintu rapat-rapat, dan menyandarkan punggungnya di pintu, menatap Dimas tajam, "Bagus ya, orang udah pada capek-capek kerja, lu malah main pabji." "Kan gue lagi akting pingsan, masa gue kerja, gimana si?" jawab Dimas tanpa mengalihkan matanya di layar. "Hah," Glenn menghela nafas, "Gila lu ya ... temen sendiri lu boogin." "Bukan masalah temen tapi masalah cuan. Kapan lagi, comblangin orang dapet cuan. Lagijuga si Chika cuma minta deketin dia sama Dion doang, dibayar lagi. Jadi yaudahlah biarin aja. Lagijuga lu juga sama ikut boong juga, kan." "Lu ga ada ngerasa bersalah sama Dion?! Gue aja udah ketar-ketir takut ketauan. Eh ini si anj*ng ga ada ngerasa bersalah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD