"Roy, aman?"
Panitia yang sedang mengecek soundsystem di atas panggung menoleh ke sumber suara. Ia melihat Glenn berdiri di bawah panggung.
"Aman," ucapnya sambil mengangkat jempol.
"Oke," Glenn mengangguk, lalu berjalan ke belakang panggung.
Hari ini Glenn bertugas sebagai moderator penutupan. Ia mengatur kegiatan acara memastikan semuanya berlangsung aman terkendali.
Glenn mengecek semua peralatan dan juga perlengkapan selama acara. Memastikan semuanya sempurna, tak ada yang kurang. Ia juga mengecek peserta, apakah ada yang sakit? Apakah jumlahnya aman? Apakah ada yang kurang? Apakah ada yang tidak hadir? Semuanya Glenn cek. Karena hari ini adalah hari terakhir mereka di desa Ujung Jawa.
Dan hari ini juga, kegiatan abdi desa berakhir. Mereka melangsungkan acara perpisahan dengan semua masyarakat desa.
Meskipun kebersamaan mereka hanyalah 12 hari, tapi ikatan mereka sudah seperti keluarga. Masyarakat menerima para mahasiswa dengan tangan terbuka. Mereka ramah, sering tersenyum, dan kadang suka memberikan makanan. Entah ubi atau pisang rebus yang baru panen, atau cemilan keripik nasi, atau jagung dan lain-lain.
Meskipun ekonomi mereka tidak baik, tapi mereka sering membagikan makanan atau hasil ladang yang mereka punya untuk dimakan bersama.
"Terima kasih pada semua warga desa Ujung Jawa yang menerima kami dengan ramah …"
Dion berdiri di atas panggung, memegang mikrofon mengucapkan beberapa patah kata pembukaan.
Hari itu acara digelar di halaman pondok yang luas. Dengan panggung dan tenda yang berdiri sempurna. Acara penutupan dibuat spesial sebagai kenang-kenangan yang tak terlupakan. Bagaimana kerja keras mereka, para panitia dan warga yang saling bekerja sama.
"Terima kasih pada warga yang memperlakukan kami seperti keluarga, terima kasih pada warga yang mau bekerja sama membangun desa tanpa pamrih …"
Glenn berjalan ke arah Jinny yang sedang mendandani peserta, "Jinny."
Jinny menghentikan kegiatannya, menatap Glenn yang berdiri di sampingnya, "Iya kak Glenn."
"Sebentar lagi penampilan peserta tari. Semuanya udah siap?"
Jinny mengangguk semangat, "Udah. Tinggal satu ini aja yang belum."
"Oke. Percepat ya."
"Terima kasih."
Dion menghentikan pidatonya, suara tepuk tangan riuh memenuhi halaman pondok. Masyarakat, sebagian panitia, dan perangkat desa duduk di kursi yang telah disediakan.
Prok prok prok.
Dion tersenyum, kemudian turun dari panggung.
"Oke acara selanjutnya yang kita tunggu-tunggu. Pasti udah ga sabar, kan?" ucap Dimas yang bertugas sebagai MC.
"Iya," sorak para penonton.
"Baiklah kita sambut, ini dia anak-anak kelas 4 SD mempersembahkan … tari … Ratoh Jaroe!"
Prok prok prok
Suara tepuk tangan meriah dari para penonton memenuhi halaman. Dimas turun dari panggung, dan peserta wanita yang memakai busana acehnaik ke atas panggung. Mereka berjumlah 10 orang.
Mereka pun duduk bersimpuh, dengan bahu saling rapat. Lalu menggerakan badannya sesuai lirik.
"Assalamu'alaikum kami ucapkan, para undangan yang baru datang. Karena salam, nabi keun sunat. Jaroe ta mumat, tanda mulia."
"Assalamu'alaikum kami ucapkan, para undangan yang baru datang. Salam sejahtera sahabat kita. Kami doakan damai sentosa."
Kemudian terdengar suara tepukan di d*da berulang-ulang.
Nindy yang duduk di tengah-tengah masyarakat tersenyum menatap anak didiknya. Syukurlah ia bisa mengajarkan kesenian yang ia kuasai pada anak-anak.
"Woo," Nindy bersorak memanaskan suasana.
Tari Ratoh Jaroe berlangsung sempurna, tepuk tangan terdengar riuh. Kemudian penampilan selanjutnya adalah tari Sajojo yang berasal dari Papua.
Sajojo, sajojo
Yumanamko misa papara
Samuna muna-muna keke
Samuna muna-muna keke
Sajojo, sajojo
Yumanamko misa papara
Samuna muna-muna keke
Samuna muna-muna keke
Kuserai, kusaserai, rai-rai-rai-rai
Kuserai, kusaserai, rai-rai-rai-rai
Peserta menikmati lagu dan menggerakan tangan dan kakinya sesuai hentakan irama.
"Kak Dion mau kemana?" tanya Chika sigap, melihat Dion yang beranjak dari kursi.
Mereka duduk bersebelahan di kursi barisan ke dua.
"Ada urusan," sahut Dion sedikit dingin, kemudian meninggalkan Chika bersama yang lain.
"Acara berikutnya … dipersembahkan oleh anak-anak kelas 5 dan kelas 6 SD … teater legenda!"
Prok prok prok.
Dimas pun turun dari panggung, anak-anak yang menampilkan teater naik ke atas panggung.
Teater pun dibuka. Seorang pria yang memakai pakaian kerajaan berdiri di atas panggung dengan raut wajah angkuh.
"Raden Bondowoso putraku, kemarilah!" ucap pria yang beperan sebagai Raja Pengging.
Seorang pria kelas 5 SD berjalan ke tengah panggung. Auranya memancarkan kepatuhan, dan kewibawaan.
"Iya Gusti, ada apa memanggil saya?" ucap pria yang berperan sebagai Bandung Bondowoso. Pangeran kerajaan Pengging.
"Segeralah engkau bersiap-siap, wahai anakku. Baru saja prajurit kerajaan memberi kabar bahwa ada warga desa kita yang dianiaya oleh prajurit kerajaan Prambanan."
"Apa yang harus saya perbuat wahai Gusti yang agung?"
"Kita harus mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Prambanan besok."
Keesokan harinya berangkatlah Raja Pengging, Bandung Bondowoso, dan para prajuritnya ke kerajaan prambanan. Saat di depan gerbang prambanan.
"Hei Prabu Baka! Keluarlah engkau! Mari kita bertarung. Kita tunjukan siapa yang paling kuat diantara kita," ucap Bandung Bondowoso.
Para prajurit kerajaan prambanan yang tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Bandung Bondowoso membalas serangan dari kerajaan Pengging. Mereka pun berperang demi harga diri kerajaan.
Didalam kerajaan prambanan. Terdapat Prabu Baka dan anaknya yang cantik jelita. Kecantikannya tersohor ke seluruh negeri, Roro Jonggrang.
"Ada apa ini?" tanya Prabu Baka yang duduk di singgasananya.
Roro Jonggrang sang putri jelita berkata, "Sepertinya ada yang menyerang kerajaan kita ayah."
Dayang yang sedang mengipasi Prabu Baka buka suara, "Iya baginda, kerajaan kita sedang diserang oleh kerajaan Pengging. Kita kekurangan prajurit, baginda. Prajurit kerajaan banyak yang terbunuh."
Prabu Baka menggertakan giginya, geram, "Baiklah, segera buat pertahanan!
Prabu Baka pun keluar menemui pasukan kerjaan pengging.
"Hei kalian! Mau apa tiba-tiba datang dan menyerang kerajaanku?" ucap Prabu Baka.
"Aku akan menguasai seluruh kerajaanmu! Agar aku menjadi orang terkuat dan terhebat disemua kerajaan! Hahaha," balas Raja Pengging yang sombong.
Prabu Baka menatap tajam, "Tidak semudah itu! Apabila kau ingin menguasai kerajaanku, langkahi dulu mayatku!"
Bondowoso sang pangeran tak takut mati menantang, "Aku tidak takut! Akan ku kalahkan kalian semua!"
"Hahaha, kau benar anakku. Prajurit! Serang…!" ucap Raja Pengging.
Peperangan antar
Kerajaan Pengging dan Kerajaan Prambanan pun terjadi. Prabu Baka, sang raja yang baik hati juga ramah tewas di medan perang. Dia terbunuh oleh Bandung Bondowoso yang sangat sakti.
Bandung Bondowoso kemudian menempati Istana Prambanan. Melihat putri dari Prabu Baka yang cantik jelita yaitu Roro Jonggrang, timbul keinginannya untuk memperistri Roro Jonggrang. Namun Roro Jonggrang menolaknya berkali-kali, hingga permintaannya yang kesekian kali diterima.
"Tuan Puteri yang cantik jelita. Bersediakah kau menjadi permaisuriku."
"Baiklah, aku mau. Tapi ada syarat yang harus kau penuhi terlebih dahulu Bandung."
"Syarat? Apa syaratnya tuan putri? Aku akan melakukan apapun yang kau minta."
"Kau harus membuatkanku 1000 candi dan 2 buah sumur. Dan itu harus sudah selesai saat matahari terbit."
Bandung Bondowoso yang sudah terlanjur mencintai Roro Jonggrang mengangguk setuju, "Baik, aku terima persyaratanmu itu."
Roro Jonggrang tahu bahwa Bandung Bondowoso adalah orang yang membunuh ayahnya. Karena itu, ia mencari akal untuk menolaknya.
Bandung Bondowoso yang tahu dirinya tak bisa menyanggupi itu meminta pertolongan ayahnya.
"Wahai Gusti.. boleh kah saya meminta bantuanmu?"
"Bantuan apa anakku?" ucap sang raja.
"Bisakah gusti memangilkan beberapa jin untukku?"
"Untuk apa jin-jin itu?"
"Untuk membantuku membangun 1000 candi dan 2 buah sumur dalam semalam sebelum matahari terbit. Aku harus memenuhi persyaratan itu untuk dapat menikahi Roro Jongrang."
Raja Pengging mengangguk setuju, "Baiklah, akan kupanggilkan untukmu, anakku."
Raja Pengging pun melakukan beberapa ritual dan mengucapkan beberapa patah kata untuk memanggil jin-jin. Semua jin yang mereka gunakan bekerja secara cepat.
Jin itu pun memanggil beberapa temannya lagi untuk membantunya membangun 1000 candi dan 2 buah sumur. Jin-jin itu melakukan pekerjaan dengan sangat cepat. Hingga pukul empat pagi, tersisa 5 buah candi yang belum selesai, dan dua buah sumur yang hampir selesai.
Dayang yang mengetahui pembuatan candi hampir selesai segera melapor kepada Roro Jonggrang.
Mengetahui 1.000 candi telah hampir selesai, Roro Jonggrang ketakutan.
“Apa yang harus kulakukan untuk menghentikannya?” pikirnya cemas membayangkan ia harus menerima pinangan Bandung Bondowoso yang telah membunuh ayahnya.
Akhirnya, Roro Jonggrang pergi membangunkan gadis-gadis di Desa Prambanan dan memerintahkan untuk menghidupkan obor-obor dan membakar jerami, memukulkan alu pada lesung, dan menaburkan bunga-bunga yang harum.
Suasana saat itu menjadi terang dan riuh. Semburat merah memancar di langit dengan seketika.
Ayam jantan pun berkokok bersahut-sahutan.
Para jin yang mengetahui matahari akan terbit, meninggalkan pekerjaan mereka. Candi-candi tinggal sedikit lagi selesai dan sumur juga tinggal sedikit lagi.
Roro Jongrang terlihat senang karena rencananya berhasil dan Bandung Bondowoso tidak dapat memenuhi persyaratannya. Dilain pihak, Bandung Bondowoso sangat kecewa karena tidak dapat menjadikan Roro Jongrang sebegai permaisurinya. Tetapi Bondowoso tambah kecewa dan marah setelah mengetahui itu adalah rencana Roro Jongrang yang sengaja menggagalkan usahanya.
"Bagaimana? Apa permintaanku sudah terpenuhi?" ucap Roro Jonggrang menagih janjinya.
"Wahai Roro Jongrang, mengapa kau sangat licik? Kau telah menggagalkan usahaku untuk mewujudkan 1000 candi yang tinggal kurang 1 lagi," ucap Bandung Bondowoso geram.
"Karena kelicikanmu dan dayang-dayangmu! Jadilah kau sebagai arca dalam candi yang ke-1000 dan dayang-dayangmu tidak akan menikah hingga mereka tua!"
DUAR...!
Petir pun berbunyi. Kutukan Bondowoso terkabul. Seketika wajah cantik dan tubuh anggun Roro Jonggrang berubah membeku menjadi arca menggenapi candi yang ke-seribu, akibat janji yang diingkari dan kelicikan Roro Jonggrang.
Pentas teater pun selesai. Berakhir dengan suara tepuk tangan penonton yang meriah.