"Cindy."
Sang gadis kecil yang sedang bermain boneka hiu di bawah pohon menoleh. Matanya berbinar terang melihat siapa yang memanggilnya.
"Kak Dion!"
Cindy tersenyum ceria.
Dion membalas senyuman itu, lalu berjalan mendekati Cindy yang duduk di bawah pohon, "Kamu ga ikut nyanyi?"
"Emm … itu," Cindy menunduk, memainkan boneka hiu kesayangannya.
"Kenapa?" tanya Dion lalu duduk di sebelah gadis kecil itu, "Sebentar lagi penampilan kamu."
Gadis itu memeluk bonekanya erat, raut wajahnya mengisyaratkan kerisauan.
"Cin-Cin-Cindy …"
"Kamu malu?"
Cindy menggeleng lemah.
"Terus?"
"Cindy takut."
Dion tersenyum, "Kakak padahal nungguin penampilan kamu loh."
Kalimat dari Dion membuat gadis berusia 6 tahun itu menoleh, "Kakak nungguin Cindy?"
Dion tersenyum ramah, "Hemm."
"Emm … itu … Cindy … Cindy takut suara Cindy ga bagus."
"Kenapa harus takut suara Cindy ga bagus?" Dion menatap gadis kecil yang selalu bersama dengan boneka hiunya.
"Kalau ga bagus kan bisa belajar lagi."
"Tapi– kak Dion sama kakak-kakak lain mau pergi. Siapa yang ngajarin Cindy belajar lagi kalau suara Cindy ga bagus."
Dion meletakan telapak tangannya di puncak kepala gadis itu, "Kalau kakak-kakak pergi, bukan berarti Cindy berhenti bernyanyi."
"Meskipun kakak-kakak semua ke Jakarta, Cindy ga boleh berhenti berlatih. Kalau Cindy mau jadi penyanyi, Cindy harus meraihnya sungguh-sungguh. Sama kayak Cindy mau tampil di sini, Cindy juga belajar sungguh-sungguh, kan?"
Cindy mengangguk senyum, "Iya."
"Kalau menyukai sesuatu, dan sesuatu itu baik. Jangan pantang menyerah untuk meraihnya. Jangan mau kalah sebelum bertanding."
*****
"Baiklah kita sambut penampilan berikutnya dari anak-anak kelas 3 SD …"
Suara MC yang terdengar di atas panggung, membuat Nindy dan ke-15 anak lainnya panik.
"Kak gimana nih? Cindy belum juga datang," ucap salah satu anak lelaki.
Nindy menghela nafas. Pasalnya ia telah mengajari susunan nada dengan format yang ada. Jika salah satu anak hilang, maka susunan nada akan jomplang. Ia telah menyusunnya seimbang sedemikian rupa sesuai jumlah peserta. Tapi nyatanya saat ingin tampil tidak sesuai ekspektasi.
"Kalian … kalian tampil ber-15 aja."
"Apa gapapa ka?"
"Gapapa," ucapnya ragu. Nindy tidak yakin hasilnya akan bagus, ia pasrah saja, toh ia sudah mencoba memberikan yang terbaik. Tapi jika akhirnya begini pun tidak apa-apa, setidaknya ia telah mencoba.
"Kalian naik saja ke atas panggung."
Mereka semua mengangguk, dan memilih tampil seadanya. Karena tidak mungkin penampilan mereka dibatalkan.
Nindy mengangguk, "Semangat."
"Semangat!"
"Kak Nindy! Teman-teman!"
Nindy dan mereka yang tadinya ingin naik ke atas panggung menoleh ke belakang, "Cindy?"
Cindy berlari menuju mereka, bersama dengan Dion yang berjalan di belakang Cindy. Dion bersyukur, akhirnya Cindy dapat menemukan kepercayaan dirinya lagi.
"Hah Hah Hah," Cindy mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
"Kamu kembali?" tanya seorang anak perempuan.
Cindy mengangguk yakin, lalu menghapus keringatnya, "Iya! Cindy mau ikut kalian."
"Baiklah. Kalau gitu ayo!" ujar anak perempuan.
"Ayo!" ujar mereka bersama-sama.
Mereka pun berbondong-bondong naik ke atas panggung. Menyisakan Nindy dan Dion berdua.
"Semangat kalian!" ujar Dion tersenyum senang.
"Kakak yang nemuin Cindy tadi?"
Dion menoleh menatap gadis di sebelahnya, "Iya."
Dion memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, menatap Cindy dan teman-temannya dari bawah panggung.
Nindy menatap sosok pria cassanova di kampusnya. Pria yang jadi rebutan para wanita. Nindy menatap pria yang memiliki wajah pahatan yang sempurna, seperti tidak ada di dunia nyata, tapi nyatanya ada. Dan pria itu berdiri di sampingnya.
Dion setampan itu ternyata. Ah bukan, Dion selalu tampan dalam jarak apapun. Tapi dari jarak dekat, pria itu benar-benar tampan. Sangat tampan.
"Hah, seandainya kak Dion tau perasaan Nindy," rutuk Nindy dalam hatinya. Memang tidak enak memendam perasaan sendirian, tapi itu lebih baik. Jika Nindy menyatakannya, belum tentu Dion punya perasaan yang sama. Lagipula Dion susah digapai. Nindy adalah satu dari sekian ratus perempuan di kampus yang menyukai Dion, tapi sama– ia tetap sama dengan perempuan lain yang menyukai Dion.
Hanya bisa menjadi penggemar saja, tidak akan bisa dan tidak akan mungkin jadi pacar Dion. Kalau pun mungkin, hanya 0,0000099℅. Dan kalau memikirkan kemungkinannya, rasanya tidak mungkin.
Soleram
So~leram
Soleram
Anak yang manis
Anak m**i`s janganlah dicium sa~yang
Kalau dicium, merahlah pipinya.
Satu dua, tiga dan empat.
Lima enam, tujuh delapan~
Dion kembali duduk di samping Chika, menonton penampilan Cindy dan teman-temannya. Cindy berdiri paling tengah diapit dengan teman-teman yang lebih tua darinya.
"Kak Dion abis darimana?"
"Ga kemana-mana. Ada urusan sebentar," ucapnya tak mengalihkan pandangan dari penampilan Cindy dan teman-temannya.
Penampilan paduan suara pun berakhir. Kini penampilan Cindy bernyanyi solo. Lampu tiba-tiba dimatikan yang tersisa hanyalah satu lampu yang menyoroti Cindy di tengah. Cindy terlihat seperti penyanyi sungguhan.
Suara piano pun berbunyi, mengalun lembut membentuk harmoni. Cindy mendekatkan mikrofon.
Malam sunyi ku impikanmu
Suara Cindy yang begitu halus, membuat bulu kuduk pendengar merinding.
Ku lukiskan kita bersama
Namun selalu aku bertanya
Adakah aku di mimpimu
Di hatiku terukir namamu
Cinta rindu beradu satu
Namun selalu aku bertanya
Adakah aku di hatimu
Telah ku nyanyikan alunan-alunan senduku
Telah ku bisikkan cerita-cerita gelapku
T'lah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu
Tak bisakah kau sedikit saja dengar aku
Dengar simfoniku
Simfoni hanya untukmu...
Telah ku nyanyikan alunan-alunan senduku
Telah ku bisikkan cerita-cerita gelapku
Telah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisiku
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu
Telah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisiku.
Tapi mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu.
Penampilan Cindy berakhir, semua orang berdiri memberikan tepuk tangan kagum. Sepanjang Cindy bernyanyi, bulu kuduk mereka merinding. Tarikan suara Cindy yang begitu halus dan panjang, membuat jiwa mereka terasa melayang ke dalam isi lagu.
Dion berdiri memberikan standing applause.
Acara pun berakhir di jam 5 sore. Seluruh rangkaian kegiatan telah selesai.
Jam 6 pagi, mereka telah berkumpul di depan bis, membawa semua barang-barang. Masyarakat, dan perangkat desa mengantar mereka sampai ke bis.
"Terima kasih telah mengubah desa kami," ucap sang kepala desa mengajak Dion berjabat tangan.
Dion membalas jabat tangan itu, "Tidak pak, bukan kami yang mengubahnya. Tapi– kita semua."
Mereka melepaskan jabat tangan. Ada perasaan kehilangan dari warga desa melepas kepergian mereka ke Jakarta.
Pak kepala desa merengkuh pundak Dion, "Hati-hati di jalan nak. Terima kasih untuk semuanya," ucapnya lalu melepaskan pelukan.
Dion tersenyum, "Iya pak."
Satu persatu para panitia naik ke dalam bis. Dion yang naik paling terakhir.
Saat Dion menginjakan kakinya di tangga bis, suara imut dari jauh memanggil namanya.
"Kak Dion!"
Dion mengurungkan niatnya, lalu kembali turun. Senyumnya mengembang, melihat Cindy yang berlari ke arahnya.
"Kak Dion!"
Cindy menghamburkan dirinya ke pelukan Dion. Memeluk pinggang pria itu.
"Cindy."
Dion mengusap-usap lembut rambut gadis cilik itu.