PART 93 - MANTU

1064 Words
Sena mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Bau obat-obatan menyeruak di hidungnya. "Guru, Mario … kenapa kita ke rumah sakit?" tanya Sena bingung. "Kita mau periksa perut Sena," jawab Mira. Mereka berjalan di lorong rumah sakit, dengan kedua tangan Sena masih di pegangi mereka berdua. "Periksa perut Sena?" Mira mengangguk, "Iya." "Emang perut Sena kenapa?" Mira tersenyum, "Nanti Sena juga tau kalau udah diperiksa." "Oh gitu ya," jawab Sena mengangguk mengerti. Meskipun sebenarnya ia masih penasaran kenapa pagi-pagi sekali dibawa ke rumah sakit. Cukup lama Sena berkutat dengan pikirannya, hingga akhirnya mereka berhenti di salah satu pintu. Ruang kandungan. Mario melepaskan genggamannya pada tangan Sena. "Sena, kamu ikut Mira ke dalam ya." Sena hanya menurut saja, "Iya." "Mario ga ikut?" Mario tersenyum, kemudian mengusap-usap puncak kepala wanita yang tidak akan pernah menjadi miliknya, "Engga. Aku tunggu luar." "Yaudah Mar, gue sama Sena masuk dulu ya. Ga takut, kan lu ditinggal sendirian?" "Busett … kenapa harus takut?" "Yakali lu takut diculik." "Siapa coba yang mau nyulik gue. Palingan tante-tante girang. Ye gak?" Mario menaik-turunkan alisnya. Mira menepuk bahu Mario, "Si b*go." Mario tertawa kecil. Mira meraih gagang pintu, dan mendorong pintunya. Wangi khas rumah sakit menyambut mereka. "Yuk masuk," ucap Mira menggandeng tangan Sena masuk. Kemudian menutup pintunya rapat-rapat. Sedangkan Mario hanya menunggu di luar dengan perasaan harap-harap cemas, semoga saja apa yang diucapkan mamanya Dion tidak benar. Ia khawatir jika itu benaran terjadi. Meskipun ia percaya Dion tidak akan macam-macam pada Sena, tapi kan kalau khilaf siapa yang tahu. Mario memutuskan duduk di ruang tunggu, menunggu hasil. Cukup lama Mira dan Mario di ruang kandungan, hingga suara deritan pintu membuat Mario berdiri. "Gimana? Gimana hasilnya?" tanya Mario dengan air wajah penasaran. Mira tersenyum, "Sena ga hamil." "Yee!" Mario bertepuk tangan. Ia percaya Dion tidak akan melakukan itu. Ia bernafas lega sekarang. Meskipun mulai dari sekarang sepertinya ia harus mewanti-wanti mereka berdua. Bagaimanapun Sena adalah korban tabrak lari mereka. Tidak mungkin mereka akan merusak Sena, itupun kalau ia dan Dion dari awal berbuat jahat. Tapi kenyataannya mereka bertanggung jawab. "Hah," Mario menghela nafas, "Syukurlah." "Kamu ga hamil, Sen," ucap Mario tersenyum lega. Mario tak henti-hentinya tersenyum. Sejujurnya, pada kenyataannya Mario senang Sena memasuki kehidupannya dan kehidupan Dion. Juga mereka berempat seperti kumpulan sekawan sekarang. Sena-Dion-Mario-Mira. "Hah," Mario menghembuskan nafas lega, "Syukurlah." "Hamil?" tanya Sena yang masih kebingungan. Sena mengusap-usap perutnya yang datar. Kenapa dari kemarin orang-orang membahas perutnya. Dari Diana yang mengatakan perutnya berisi, terus Mira dan Mario yang membawanya ke dokter kandungan. "Udah Sena ga usah dipikirin. Yang penting sekarang, kan hasilnya negatif. Mendingan kita jalan-jalan. Kamu mau beli es krim?" Mario memang bisa mengalihkan pembicaraan. Sontak Sena melupakan pertanyaan yang tadi. "Mau mau!" jawab Sena ceria. Kalau pembahasannya soal es krim Sena suka. Dan lupa seketika dengan yang lain. Mario setuju-setuju saja jika Sena bersama Dion. Tapi Mario akan marah jika Dion berani merusak Sena. Bahkan jika ia harus bertarung dengan sahabatnya sendiri akan Mario lakukan. ***** Daniel duduk di ruang kerjanya. Pikirannya mengarah jauh pada Davina. Bagaimana pun Davina adalah miliknya. Dan terus akan menjadi miliknya sampai akhir. Daniel tidak tahu apakah ia cinta pada Davina, atau justru terobsesi pada Davina. Intinya ia merasa gila sekarang. Apalagi gadis itu diculik pria lain. Ia tidak akan pernah membiarkan pelakunya lolos. Daniel menerawang jauh pada wanita yang ia kencani kemarin. "Gadis itu tidak buruk," ucapnya tersenyum miring. Mira cukup manis, polos, dan baik. Ya meskipun kesan awal mereka tidak bagus. Pada awalnya Daniel berharap tidak akan pernah bertemu Mira lagi, namun kenyataannya wanita itu berguna juga. Wanita itu satu-satunya orang yang bisa mempertemukannya dengan Davina sekaligus menangkap Dion dan juga Mario– yang ia yakini sebagai dalang juga atas kasus Davina. Bisa dibilang, Mira ia jadikan sebagai kambing hitam. Tapi Daniel tak ingin bergerak tergesa-gesa, cukup pelan-pelan saja tapi pasti. Semakin lama ia dekat dengan Mira. Ia semakin bisa mengorek-ngorek informasi tentang Dion dan Mario. Meskipun ia agak sedikit jengah harus berlama-lama meninggalkan Davina bersama dua pria itu. Daniel harus bersabar dulu sementara waktu agar rencananya tidak gagal. Tidak sia-sia ia menyewa detektif mahal untuk menuntaskan kasus ini. Daniel mendapatkan banyak informasi Mira dari detektifnya. Termasuk nomor ponselnya. Tentu saja Daniel menggunakan kesempatan itu. Ia menghubungi nomor ponsel Mira, dan mengajaknya berkencan dengan bumbu-bumbu manis Daniel menyukainya. Padahal tidak. Ia hanya ingin memanfaatkan Mira sebentar saja. Daniel mengambil cincin yang tergeletak di atas meja. Dan menatap cincin itu lamat-lamat. "Sorry Mira. Kamu aku jadikan umpan sementara waktu." Daniel tersenyum miring. Ia hanya menunggu sebentar lagi untuk menangkap dua ikan. ***** "Banyak banget, kak makanannya, buset." Dewi menatap sekumpulan makanan yang terhidang manis di atas meja dari ujung ke ujung. "Ada tamu keluarga?" tanya Dewi lagi. Diana yang sedang menyusun piring di atas meja tersenyum antusias, "Engga ada." "Tamu bisnis?" "Engga ada. Tapi bakalan ada tamu yang lebih spesial ketimbang tamu bisnis ataupun tamu keluarga." Jawaban Diana membuat Dewi terheran-heran, "Ha?" Bukan jawabannya saja yang membuat Dewi heran, tapi tingkah Diana juga. "Sejak kapan kakak mau nyusun makanan di meja?" "Sejak punya mantu." "Ha?" Dewi melongo, "Kakak hari ini aneh banget ... terus ini siapa yang masak? Bibi?" "Aku lah," jawab Diana kembali tersenyum. Menyusun satu piring ayam goreng rica-rica dan satu piring mie goreng di atas meja. Menyejajarkannya dengan piring-piring lain. Tentu saja jawaban itu membuat Dewi kaget setengah mati. Biasanya keluarga mereka selalu dilayani pembantu. Apalagi jumlah pembantu disini bukan cuma satu atau dua, tapi puluhan. "Kak Diana lagi sakit ya?" "Engga kok. Aku cuma seneng aja, akhirnya dapet cucu. Meskipun Dion nikah tertutup ga ngundang keluarga kita. Tapi gapapa yang penting Dion laku. Ga jadi pejaka tua," ucapnya girang kemudian bertepuk tangan senang. "Ha?" Dewi menggaruk-garuk rambutnya, "Kakak aneh banget si hari ini, aku ga yakin kakak sehat. Sebenarnya keluarga kita sultan apa bukan sih?" ucapnya campur aduk. Antara bingung, heran, dan aneh. Tak mau ambil pusing, Dewi melangkah menuju dapur yang luas. Sebenarnya ini adalah rumahnya Diana. Dewi terkadang suka menginap saja disini. Rencananya ia mau mengambil air di kulkas. Tapi saat sampai dapur ia melihat 6 orang pembantu wanita berseragam putih-hitam malah asyik ngobrol. "Ehmm." Mereka berhenti bicara, dan berbalik, "Eh nyonya," ucap mereka terkejut. "Hah," Dewi menghela nafas, "Bukannya kerja malah ngobrol. Itu kenapa tuh, nyonya besar masak dan mentata makanan di luar? Kalian ga kerja?" Salah satu pembantu angkat suara, "Ma-maaf nyonya. Bukannya kita ga mau kerja. Tapi nyonya nyuruh kita diem aja." "Hah?!" Dewi tidak salah dengar, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD