Mario menerawang jauh, memutar otaknya mengingat lagi perjalanannya dengan Sena.
"Seharian ini … sama Sena–"
"Ke taman bayi dan balita," Mario menaikkan jempolnya, dan menutup empat jari yang lain.
"Main timezone," Mario menaikkan telunjuknya. Hingga tersisa tiga jari.
"Beli es krim," Mario mengeluarkan jari tengah.
"Itu doang kayaknya, tapi di bagian mananya gue paksa ingatan Sena?"
Mario masih bingung.
"Kalau diingat-ingat kayaknya ga ada yang aneh. Paling itu doang yang Sena pingsan di lift. Itupun juga gue ga ngapa-ngapain Sena cuma ngasih es krim aja."
"Apa gue bilang sesuatu yang aneh?"
Mario memutar otaknya, memecahkan teka-teki yang bergelantungan. Seperti puzzle yang belum tersusun, "Tapi apa?"
"Kayaknya ga bilang apa-apa. Paling cuma gombal aja. Itupun gombal udah jadi makanan 4 sehat 6 sempurna Sena sehari-hari."
Nasi, lauk pauk, sayur-sayuran, buah, s**u, dan gombalan modus Mario.
Mario menggaruk-garuk rambutnya, frustasi, "Ayo dong otak inget-inget lagi. Please otak, kali ini jangan b**o dulu. Jangan b**o, jangan b**o, pliss plis jangan b**o. Begonya nanti aja. Bener deh, coba kali ini pinter dulu. Kita kerja sama oke."
"Siap gan," jawab otak Mario mengacungkan jempol.
"Nah, gitu dong otak! Gue sebagai pemilik jadi bangga, kan," jawab Mario keras, membuat semua penghuni kafe menoleh ke belakang. Mereka menatap aneh Mario yang bicara sendirian.
"Bu bu, orang yang dipojok itu kenapa?"
Anak lelaki berusia 5 tahun, menunjuk Mario yang sibuk dengan dunianya. Diantara semua pengunjung, Mario lah yang paling berisik. Udah duduk sendirian, di pojok lagi. Bagaimana orang tidak menatapnya aneh.
"Udah biarin aja, orang gila," jawab sang ibu lalu menggandeng tangan anaknya menuju kasir, membayar pesanannya.
"Bentar … bentar, coba urutin satu-satu. Gue jalan ama Sena ke taman, abis itu ke mall main Timezone, beli es krim, pulang, naik lift, terus sampe di apartemen Dion."
"Terus cowok asing tiba-tiba dateng bilang mau ketemu Davina, terus dokter bilang kepala Sena kambuh karena gue paksa Sena mengembalikan ingatan."
Mario menutup mata, kembali menerawang. Berharap tidak ada bagian-bagian yang tertinggal hari ini. Setidaknya 99% lah. Atau 99,99%. Ia memohon untuk otaknya bekerja sama kali ini.
"Davina?"
"Davina?" Mario mengucapkan nama itu pelan berulangkali, mencoba mengingat.
"Kayak pernah denger, tapi dimana?"
Mario kembali mengingat, menyusun setiap ucapan-ucapan mereka.
"Mana Davina?" ucap Daniel to the point. Tak mau bertele-tele.
Sontak mereka berdua berhenti bergelut. Memandang Daniel dengan tatapan heran.
"Davina?" ujar mereka bersamaan. Mira dan Mario saling bertatapan, Mira menatap Mario memberikan kode Davina siapa. Tapi Mario hanya mengendikan bahu, membalas kode tidak tahu.
"Mana Davina?"
"Lah mas ganteng? Yang namanya Davina mah ga ada disini. Adanya Mira. Ini bidadari yang berdiri di hadapan mas ganteng."
"Minggir!" Daniel yang tidak ingin bertele-tele, berusaha menerobos masuk ke dalam apartemen. Namun tubuh Mario menghadangnya.
"Mar, Davina siapa?" gumam Sena pelan.
"Satu hal yang seharusnya tidak kalian lakukan kepada penderita amnesia. Jangan paksa mereka untuk mempercepat ingatannya kembali. Itu akan menyakiti otaknya. Dan itu sangat menyakitkan."
Seorang pramusaji wanita berdiri di depan meja Mario membawa baki dengan cangkir di atasnya.
"Pesanannya, mas."
Pramusaji berseragam putih itu meletakan secangkir kopi di atas meja Mario.
"Saya tau, kalian berdua bersekongkol, kan menculik Davina?!"
"Mar, Davina siapa?" gumam Sena pelan.
"Kapan benturan di kepalanya terjadi? Apakah baru?"
Mario mengangguk, "Iya Dok, tidak sampai satu setengah bulan."
"Mas."
"Mas."
Pramusaji itu memanggil Mario yang terdiam memejamkan mata.
Braak..!
Mario tiba-tiba menggebrak meja keras. Pramusaji yang tadinya mencondongkan badan, tiba-tiba tersentak kaget. Begitupun dengan semua penghuni kafe. Mereka juga kaget dan menoleh ke belakang menatap Mario.
"Hah hah hah," nafas Mario memburu.
"Gue tau sekarang ... Gue tau sekarang!" tiba-tiba saja Mario berteriak keras.
Pramusaji memeluk baki, terkejut, "Tau apa mas?"
"Mbak tau Sena, kan?"
Pramusaji yang tidak tahu apa-apa, melongok, "Ha? Sena siapa mas?"
"Sena itu Davina!" Tebak Mario setelah ia urutkan kejadian demi kejadian. Ia menduga Sena itu adalah Davina. Tidak mungkin tiba-tiba saja pria tidak kenal datang ke apartemen Dion mencari wanita bernama Davina. Nama yang persis sama dengan yang Sena ucapkan di lift. Dan setelah Sena mengucapkan nama itu tiba-tiba saja pingsan. Dan dokter mengatakan bahwa ia telah memaksa Sena mengembalikan ingatan.
Mario yakin 100%, Sena adalah Davina. Jika bukan 100% berarti 99%, sisanya 1% untuk membuktikan identitas Sena yang sebenarnya.
Mario tiba-tiba beranjak dari kursi, dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet. Dan meletakannya di samping cangkir kopinya.
Mario pun berlari cepat meninggalkan kafe.
"Mas! Mas kopi nya ga diminum?" teriak pramusaji, namun Mario telah menghilang di balik pintu.
Mario berlari ke tempat parkir. Hari ini ia akan membuktikan bahwa Sena itu benar Davina. Ia akan mencari 1% keraguannya untuk menguatkan pemikirannya, bahwa pemikirannya tidak salah.
Mario duduk di atas jok motor, dan memakai helm. Ia menekan gas dengan kecepatan 60 km/jam. Ia pun menghilang dari kafe, menembus jalanan ibu kota Jakarta.
*****
"Nghh-"
Sena menggeliat, ketika nyawanya kembali berkumpul. Setelah beberapa jam tertidur, Sena perlahan-lahan membuka matanya melihat langit-langit putih. Kepalanya masih sedikit pusing, dan sedikit berat tapi tidak sesakit tadi.
"Awh-" ringis Sena memijat keningnya.
Perlahan-lahan Sena terbangun. Ia menyandarkan punggungnya yang lemah di sandaran ranjang.
"Kepala Sena pusing," keluh Sena. Ia menatap ke samping nakas. Menatap kalender, jam Tinkerbell, dan bingkai fotonya dengan Dion.
Sena meraih bingkai fotonya dengan pria yang ia cintai. Sena menatap Dion yang tersenyum manis ke arah kamera.
"Dion kapan pulang? Sena kangen," Sena mengusap-usap wajah Dion yang selalu ia rindukan.
"Kenapa sih Dion pulangnya lama banget. Ga tau apa, Sena ga bisa jauh dari Dion."
Sena cemberut. Baru ditinggal Dion beberapa hari saja, rasanya seperti tahunan.
Sena tiba-tiba terdiam. Otaknya seperti menyambungkan suatu peristiwa, tapi tidak terputar di otaknya. Seperti kaset yang dimasukkan ke DVD namun tidak bisa di-play.
Itulah yang Sena rasakan. Ia seperti merasa bertemu seorang pria yang wajahnya seperti pernah ia lihat. Tapi ia sendiri tidak ingat. Siapa, dimana, dan kapan ia bertemu dengan pria itu.
"Kenapa hati Sena tiba-tiba sakit?"
Sena menyentuh d*da sebelah kirinya, merasakan degup jantung yang teramat keras, dan menimbulkan nyeri.
Itu terjadi setiap kali ia mengingat wajah pria yang ia tidak tahu siapa.
Wajah itu terlihat blur, seperti kaca yang ditutupi embun.
Sena menggeleng cepat, "Sena ga mau inget-inget lagi. Ga penting. Yang penting Dion, cowok yang Sena suka,"
Sena memeluk bingkai itu senang, "Aaaa kangen."
Tak lama pintu terbuka, menampilkan sosok Mira yang masih memakai celemek, dan membawa baki yang berisi bubur.
"Kamu udah bangun?"
Sena tersenyum riang, "Udah guru."
"Aku bikinin bubur buat kamu. Yuk makan dulu."