PART 66 - PERMINTAAN MAAF

1041 Words
Nasi goreng sosis dan kentang balado selesai dimasak. Aroma harum nasi goreng memanjakan hidung para pria yang tak sabar mencicipi. "Beuhh wanginya- enak bener." "Udah cocok jadi istri sholeha nih keknya," ucap pria memakai topi tertawa. "Si b**o," pria berambut kribo melempar tisu ke arah temannya, "Bisa-bisanya nge-gombal anjir." "Kan, biar rame. Kalo sepi entar kayak kuburan." Para wanita yang digoda seperti itu tertawa kecil. Mereka sibuk membagi-bagi nasi goreng, dan kentang balado tiap porsi di atas daun pisang. Hari ini mereka tak memakai piring ataupun sendok. Mereka makan dengan cara sederhana, menggunakan daun pisang. Hal yang tak pernah mereka lakukan di Jakarta. Daun pisang dibentangkan memanjang di lantai, kemudian nasinya dibagi-bagi per porsi. Tidak ada kata tenang. Kalau soal perut. Saat membagi-bagikan nasi, tim cowok paling heboh, pada berebutan porsi. "Ya Allah dikit amat. Ini mah nasi kucing." "Porsi kuli kayak gini lu bilang nasi kucing anj*ng." "Jadi kucing apa anjing nih?" "Marmut." "Berisik anjirr ... gue kurangin nih porsinya," ucap panitia wanita yang sebal kalau berurusan dengan perut para pria disini. Protes mulu. Para wanita menuangkan nasi goreng dari wajan di atas daun pisang. Sederhana memang makan dengan daun pisang, tapi rasa kekeluargaannya mewah. Kapan lagi mendapatkan momen seperti ini. "Ayo makan, yang pada di luar suruh ke dalem," ucap Glenn memberikan titah pada yang lain. Glenn dan anak cowo yang lain duduk bersandar dinding. Pria yang sedang berdiri, berteriak dari dalam, "Woy masuk woy ... waktunya makan." Para wanita dan pria makan saling berhadap-hadapan. Dengan 20 lebih daun pisang dijejerkan, dari ujung ke ujung. Dion masuk bersama Erick dan yang lainnya. Namun saat sampai di pintu masuk, Chika tiba-tiba muncul di depannya, mengejutkan Dion dan Erick. "Kak Dion." Sontak Dion dan Erick mengerem langkah. "Busett," Erick memegang d*danya yang hampir jantungan. "Bikin kaget aja Chik," jawab Dion yang sama kagetnya. Erick menyapa ramah, "Kak." Chika tersenyum tipis, membalas sapaan Erick. "Kak Dion, aku boleh ngomong sebentar gak?" "Oh boleh, ngomong apa?" "Ehmm-" Chika berhenti sebentar, "Tapi ga disini." Dion mengernyit, "Terus?" "Di tempat lain. Aku mau ngomong berdua sama kakak." "Harus sekarang?" tanya Dion memastikan. Chika mengangguk, menggigit bibir bawahnya, "Iya." Erick yang tahu tempatnya bukan disini, kemudian meminta izin, membiarkan mereka berdua saja, "Kak dion, Kak Chika ... aku masuk dulu ya." Dion mengangguk, "Oh iya, Rick." Erick tersenyum tipis, lalu berlalu pergi meninggalkan mereka berdua. "Yang di luar buruan masuk!" Teriakan Glenn seperti mendesak Dion untuk masuk, tapi ia ingat Chika. Barangkali itu memang benar-benar penting. "Please kak," Chika menyatukan kedua telapak tangannya, memohon. Dion tersenyum ramah, "Oke ... yuk." ***** Sena turun dari motor Mario. Menatap bingung gedung putih di depannya. Ia melepaskan helm, dan memberikannya pada Mario. "Kok kita kesini, Mario?" tanya Sena bingung. Mario yang sedang melepaskan helm menjawab singkat, "Ada sesuatu yang harus diselesaikan." Sena mengernyit, "Selesaikan apa? Bukannya kita mau jalan-jalan ya? Kok ke rumah sakit? Emang Mario ada urusan sama siapa?" Mario meyangkutkan helmnya dan helm Sena di kaca spion, lalu berbalik menatap gadis cantik yang rambutnya dicatok ikal di bawahnya. "Nanti kamu juga tahu, Sen." Jawaban Mario membuat Sena benar-benar penasaran. Ini pertama kalinya ia melihat Mario se-serius itu. Tatapan humoris yang biasa Mario tunjukan, kini tak terlihat. Ia tidak tahu apa arti dari tatapan mata itu. ***** "Apa?! Kamu-" "Ssut-" Chika buru-buru menyumpal bibir Dion dengan telunjuknya, "Jangan berisik kak, aku malu kalo kedengeran orang-orang." Chika dan Dion berbicara jauh dari pondok, hanya mereka berdua. Dion menurunkan nada bicaranya, "Oh oke ... tapi kamu serius?" Chika mengangguk, "Iya ... tolong bantu aku kak." "Kamu ga bawa cadangan dari rumah?" "Engga, aku lupa beli," Chika menggeleng pelan. Dion menghela nafas, lalu melepaskan jaket varsity-nya berwarna biru dongker-putih menyisakan kaos hitam saja, "Yaudah tutupin aja pake ini dulu." Dion melingkarkan jaketnya di pinggang Chika, menutupi sesuatu. Lalu mengikat lengan jaketnya seperti tali. "Tapi nanti jaket kakak kotor." "Gapapa kotor ini ... nanti juga bisa dicuci." "Makasih kak." Dion tersenyum, setelah selesai mengikat jaketnya. "Iya, tapi coba deh kamu minta ehm-ehm- pem- pembalut-" ucap Dion malu mengungkapkannya, "Sama cewek yang lain, barangkali mereka bawa dari rumah." "Kayaknya ga ada deh ka." "Emangnya kamu udah coba minta?" Chika menggeleng lemah, "Belum." "Belum minta, udah bilang engga aja." "Aku malu mintanya." "Kok malu? Kalian, kan sama-sama cewek. Kamu sama aku berani, tapi sama cewek-cewek lain kok ga berani?" "Aku, kan deketnya sama kakak, ga deket sama yang lain," balas Chika. Dion menghela nafas, "Yaudah yuk masuk, coba aja cari dulu. Mana tau ada. Kalo ga ada, kita cari warung deket-deket sini." "Beneran, kak?" tanya Chika dengan mata berbinar-binar. "Iya." ***** Mario dan Sena berhenti di depan pintu 306. Wangi obat-obatan menyeruak di hidung Sena. Rasanya ia seperti pernah ke tempat ini, tapi tepatnya kapan ia tidak tahu. Atau hanya perasaan Sena saja. "Sen, kok bengong," ucap Mario mengguncang bahu Sena, menyadarkan gadis itu. "Oh iya. Ini- kamar siapa?" "Masuk aja dulu, nanti kamu juga tahu." Mario mendorong pintu kamar. Suara mesin rumah sakit menyambut kedatangan mereka. Sena mengekori Mario dari belakang. Di satu sisi Sena merasa penasaran, tapi di satu sisi Sena juga merasa takut. Aura Mario beda dari biasanya. Mereka melangkah mendekati bangsal. Terlihat seorang pria yang tengah terbaring, dengan gips di leher dan kakinya. "Bryan?!" ucap Sena terkejut, tak percaya. "Ini Bryan, Mario?!" Mario hanya mengangguk. Sena menutup mulutnya menatap Bryan yang terbaring lemah di atas bangsal. Apalagi dengan gips yang terpasang itu, membuat gerakannya tidak leluasa. Suara jeritan dari gadis itu membangunkan kenyamanan Bryan. Pria itu membuka matanya perlahan-lahan. Sosok gadis yang tak pernah ia temui selama beberapa hari, tiba-tiba sudah berdiri di samping ranjangnya. "Sena-" ucap Bryan lemas tak bertenaga. "Di-dion mukul Bryan sampai kayak gini, Mar?" ucap Sena masih tak percaya. Mario menarik nafas panjang, lalu mengangguk. "Aku kesini bukan buat kamu kasihan sama dia. Tapi, aku mau kamu tahu aja kondisi orang ini kayak gimana," ucap Mario menekankan kata orang. "Bryan-" "Aku cuma ngasih waktu beberapa menit aja sebelum kita pergi. Aku ga mau kamu lama-lama sama orang ini." "Kenapa? Sena baru ketemu Bryan." "Ga usah ketemu juga gapapa. Aku cuma pengen kamu tahu, Sen. Dion ga mungkin bikin Bryan kayak gini kalau dia ga melecehkan kamu." Bryan menatap gadis itu sendu, "Maaf-in aku, Sen," ucapnya dengan tatapan sayu. "Maaf kenapa?" "Aku udah kurang ajar sama kamu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD