"Waaaa," Sena menatap kagum arsitektur dalam rumah Dion. Dindingnya berwarna putih gading, dan tertempel lukisan-lukisan abstrak yang mahal. Bicara tentang lukisan, itu mengingatkannya pada Dion.
Dion juga pria yang suka mengoleksi lukisan abstrak, ataupun lukisan alam. Sampai-sampai di apartemen tak ada satupun foto Dion yang terpajang. Kecuali bingkai fotonya bersama Dion.
Sena menginjakkan kakinya di lantai marmer mewah yang berkilauan.
"Kita mau bertemu siapa?" tanya Sena penasaran.
Salah seorang pria berjas menjawab pertanyaan Sena, "Nyonya besar."
"Tapi kenapa disini sepi banget? Orangnya pada ga ada ya?" Tanya Sena celingak-celinguk. Di rumah sebesar ini, dari tadi tidak terlihat batang hidung pemiliknya.
"Orangnya di dalam. Sekarang kita berada di ruang tamu."
Sena menganga terkejut, "Ruang tamu?"
Baru ruang tamu saja luasnya sebesar ini, bagaimana dengan ruangan lain.
"Kenapa disini ga ada foto yang terpajang?"
"Karena semua anggota keluarga tidak suka jika foto mereka terpajang, karena dapat dilihat orang lain. Dan khalayak umum."
"Ha?" Sena mengusap-usap tengkuknya, "Oh gitu ya." Sena sedikit terkejut mendengar penuturan salah satu pria berjas. Tapi mungkin saja orang ini sangat mementingkan privasi, sepertinya begitu. Dion pun juga sama tidak menyukai fotonya terpajang, kecuali di kamar.
Seorang pria berjas berjalan mendahului Sena, dan berhenti di depan pintu kaca besar yang tidak tembus pandang.
"Mari nona," ucapnya mempersilakan Sena.
Sena mengangguk, "Iya."
Pintu itu pun terbuka otomatis seperti lift, membelah dua.
"Waaaaa," Sena tak henti-hentinya kagum, "Kenapa disini semuanya otomatis."
"Demi keamanan dan kenyamanan nona."
"Keamanan?"
"Pintu ini meskipun otomatis. Tapi tidak sembarangan terbuka. Pintu ini akan mendeteksi seperti apa orang yang mau masuk. Jika ada orang yang berniat jahat ataupun ingin membobol tidak akan bisa melewati pintu ini."
Sena memasuki pintu bersama para pria berjas di belakangnya.
Entah keberapa kalinya Sena tak bisa berhenti mengucapkan kalimat kagum. Rumah ini terlalu besar dan juga mewah, yang pastinya orang yang mempunyai rumah ini bukanlah orang sembarangan.
Sena tidak tahu dibawa kemana oleh para pria ini, ia hanya mengikut saja. Sekaligus memperhatikan furniture di rumah ini yang bagus-bagus juga mewah.
"Kesini nona."
Sena pun mengangguk, dan mengikuti langkah kaki sang pria berjas yang memimpin jalan. Setelah beberapa menit berjalan di rumah seluas ini, mereka akhirnya berhenti di depan pintu kaca yang lagi-lagi tidak tembus pandang.
Pintu kembali terbuka otomatis.
"Waaa," Sena menatap kagum ke dalam. Ini adalah ruang makan. 10 pembantu yang berseragam hitam-putih menunduk memberikan hormat pada Sena.
"Ken-kenapa kalian hormat sama Sena?" tanya Sena kebingungan. Ini pertama kalinya ia diperlakukan bak seorang putri.
"Karena nona adalah tamu istimewa rumah ini," ucap sang pria berjas.
10 pembantu itu menegakan kembali tubuhnya, setelah hormat pada tamu penting keluarga ini.
"Istimewa?" jujur saja Sena bingung. Tadi ia diculik pria berjas, lalu dibawa ke rumah mewah, kemudian mereka mengklaim Sena adalah tamu istimewa.
Sena yang baru saja mencerna apa yang terjadi. Tiba-tiba seorang wanita paruh baya keluar dari dapur sambil memegang dua piring yang berisi rendang dan sop daging.
"Mama?!"
"Sena," mama Dion menatap menantunya dengan mata berbinar-binar senang.
"Akhirnya kamu datang sayang."
"Mama," Sena mendekati Diana, lalu melingkarkan lengannya di pinggang Diana, memeluk wanita itu.
"Sena kangen Mama."
"Mama juga," ucap wanita itu tersenyum.
Sena melepaskan pelukannya.
"Biar Sena yang bawa ma."
"Ga usah sayang, biar Mama aja. Kamu duduk aja disana ya."
"Gapapa ma. Biar Sena aja. Mama pasti capek."
Diana tersenyum, dan menyerahkan dua piring makanan itu. Sena mengambilnya dan berjalan menuju meja makan meletakan kedua piring itu.
"Makanannya banyak banget, ma. Nanti banyak tamu yang datang ya?"
Diana tersenyum, "Nih tamunya udah dateng."
Sena mengernyit, "Siapa ma?"
Diana tersenyum, "Kamu," ucapnya santai.
"Sena?" Sena menunjuk dirinya sendiri. Jujur saja, Sena bingung harus bereaksi seperti apa. Ia terlalu speechless. Diana menyiapkan semua ini untuk menyambutnya.
"Kenapa sih gue ga bisa kedeteksi pintu?! Aaaaa sebel deh."
"Ya mungkin karena Anda terlalu bawel."
"Capek-capek jalan kaki kesini masa ga diterima pintu. Woy pintu buka dong!"
TOK TOK TOK
Mira menepuk-nepuk pintu yang secara tidak langsung mengusirnya.
"Woy. Ah elah. Sistem lu rusak apa gimana sih. Di gerbang gue diterima masa disini ditolak."
"Mira, Mario," gumam Sena menatap layar yang berada di dinding. Disana terlihat Mario dan Mira yang berdiri di depan pintu masuk di ruang tamu.
Secara tidak langsung sistem pintu di luar terhubung dengan layar TV kecil yang tergantung di atas dinding. Jadi siapapun tamu yang datang akan terlihat dari sini.
TOK TOK TOK
"Pintu, buka dong!" ucap Mira menggedor-gedor pintu kaca milik Dion.
"Ini kalau dipecahin bisa ga si?" tanya Mira.
Mario yang santai-santai saja duduk di sofa, menjawab, "Entahlah, tapi yang gue tau itu kaca anti peluru."
"Buset … pintu orang kaya emang beda."
Mario santai saja, duduk di sofa sambil memejamkan mata. Nasib Mario tinggal leha-leha saja, toh ia sudah diterima pintu, tapi Mira berbeda nasib dengannya.
"Itu benar Mira dan Mario?" tanya Diana menatap menantunya– disini Diana taunya Sena adalah menantunya, ia belum tahu jika Sena dan Dion belum menikah.
Sena mengangguk, "Iya, ma. Tapi kenapa Mira dan Mario ada di layar?"
"Layar ini berguna untuk melihat siapa saja orang yang datang," ujar Diana lembut.
"Buka pintunya."
Sesaat Diana mengucapkan itu, sistem mengeluarkan cahaya hijau.
"Perintah diterima," jawab robot di balik sistem tersebut. Kemudian pintu pun terbuka terbelah dua.
"Mar mar, pintunya kebuka," Mira bertepuk tangan riang.
Mario beranjak dari sofa yang terbuat dari bulu domba. Lalu menghampiri Mira.
Mereka berdua memasuki ruangan yang setiap sudutnya seperti istana.
"Kira-kira gue harus punya berapa babi dulu biar punya rumah kayak gini?" tanya Mira kagum.
"Sepuluh," jawab Mario ngasal, "Itupun kalau babinya rajin."
"Kalau males?"
"Ya ngapain susah-susah ngepet, anj*r. Kalau babinya males-malesan."
Belum sampai ke ruang makan, Sena berlari keluar memanggil nama mereka kegirangan.
"Guru, Mario!"
"Sena!" Mira pun ikut berlari menghampiri Sena. Lalu memeluk gadis cantik itu. Suasana mendadak mengharu-biru.
Mira melepaskan pelukannya, "Sena, kamu gapapa, kan?"
"Gapapa guru," jawab Sena tersenyum.
"Orang-orang itu ga ngapa-ngapain kamu, kan?"
Sena menggeleng, "Engga guru."
"Ehemm," deheman seseorang membuat Mira dan Sena menoleh ke belakang.
"Gue ga diajak gabung juga?" ucap Mario memberikan kode.
"Engga!" tolak Mira.
"Biar lucu gitu berpelukan kayak Teletubbies," jawab Mario yang penuh harap.
"Gue jadi Tinky Winky deh," lanjut Mario, "Kalian jadi sepeda sama mataharinya aja."
Diana pun keluar dari ruang makan menghampiri mereka bertiga yang berbincang di luar.
"Kebetulan semuanya lagi ngumpul disini, yuk makan dulu di dalam. Tante masak banyak makanan."
Mario dan Mira saling lihat-lihatan, "Let's go!" ucap mereka semangat.