Part 21

1043 Words
Kraakkkk .... Semua kancing yang menempel di kemeja putih Fherlyn berhamburan ke seluruh lantai. Fherlyn belum sempat tercengang sebelum kemudian tubuhnya didorong ke belakang, membentur dinding toilet dan tubuh Arsen menyusul memerangkapnya. Hanya sedetik Fherlyn sempat terkesiap, sebebelum bibirnya tenggelam dalam panas bibir Arsen yang melumatnya dengan kasar. Fherlyn hanya diam, meskipun lumatan Arsen berpindah ke leher. Membiarkan bibir pria itu menjelajahi kulit telanjang di sana dan menggititnya. Bekas merah di sana masih ada dan pria itu ingin menambahnya di sana. Kemudian berpindah lagi lebih ke bawah. Menurunkan bra dan bermain-main di d**a. Tangisan Fherlyn mengalir dalam kebisuan. Sikap Arsen yang kasar, ciuman, dan sentuhan itu membuatnya merasa dilecehkan. Napas panas pria itu yang berhembus di kulitnya meneriakkan ejekan. “Apa kau sudah puas?” lirih Fherlyn penuh sindiran yang sinis. Arsen berhenti. Wajahnya terangkat dan tatapannya bertemu dengan tatapan basah Fherlyn. “Jadi, bagaimana rasanya menikmati tubuh w************n dan kotor ini.” Hati Arsen mencelos. Tatapan terluka itu lagi. “Aku sudah mengatakannya,” geramnya. “Jangan salahkan aku jika kali ini aku tak bisa menahan diri untuk melukaimu.” “Aku tak pernah menyalahku.” Fherlyn berhenti sejenak. “Akulah yang terlalu bodoh karena tak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya. Membiarkan hatiku hancur hanya karena dirimu. Aku bisa apa lagi, aku memang seceroboh itu.” Ekspresi datar yang berusaha Arsen pertahankan melekat di wajahnya mulai retak oleh ucapan Fherlyn yang menyayat hati. Tidak., tidak seharusnya kata-kata pria itu merasuki hatinya. Satu kata pun. Arsen pun memutar tubuhnya. Meninggalkan Fherlyn sendirian di kamar mandi. Lengkap sudah. Arsen meninggalkannya. Seperti barang yang digunakan hanya saat dibutuhkan. Fherlyn menatap cermin dihadapannya. Bekas-bekas merah yang memenuhi kulitnya terlihat di antara belahan kemeja yang menggantung menyedihkan. Ia menangkup air dari kran dan membilas wajahnya. Mennyamarkan basah di kedua kelopak matanya. Tak lama, muncul seorang wanitayang Fherlyn kenali sebagai sekretaris Arsen. Melangkah dengan canggung mendekatinya. “Nyonya. Tuan menitipkan ini.” Fherlyn melirik jas milik Arsen dalam genggaman sekretaris itu. “Tidak perlu. Katakan padanya aku bisa mengurus diriku sendiri,” sengit Fherlyn sambil menepis jas itu hingga jatuh ke lantai. Menyambar tasnya dan melewati sekretaris itu keluar dari toilet.   ***   Arsen mengepalkan kedua tangannya dengan geram. Ia tak bisa membayangkan bagaimana cara wanita itu menutupi dadanya dengan semua kancing yang terlepas karena perbuatannya. Apa wanita itu sengaja memamerkan dadanya yang indah pada orang-orang? meski ia akan merasa tersanjung karena dirinyalah yang menciptakan bekas-bekas merah di sana. Memperingatkan semua pria-pria bahwa Fherlyn adalah miliknya. “Ke mana dia sekarang?” “Menuju pintu belakang.” “Keluarlah,” pintah Arsen pada sopir dan sekretarisnya sambil mengambil dompet di sampingnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang untuk mereka berdua. Melajukan mobil memutari restoran.   ***   “Aku ... sepertinya akan sangat lama. Ada sesuatu dan aku ... aku tak bisa pulang bersamamu.” “Apa kau baik-baik saja?” “Ya.” “Aku mendengar kebohongan, Fherlyn.” Fherlyn menghela napas menyerah. Sepertinya dia bukan hanya tak pandai berbohong pada Arsen, tapi pada semua orang. “Aku ... perlu waktu untuk diriku sendiri. Maafkan aku, Aldric.” “Aku akan menyusulmu ke toilet.” “Tidak perlu,” jawab Fherlyn cepat. “Aku ... sudah keluar. Dan aku sudah mendapatkan taksi.” “Fherlyn.” “Arsen, aku harus segera pergi. Aku akan menghubungimu lagi.” Fherlyn memutus panggilannya secepat mungkin agar Aldric tak memergoki kebohongannya lagi. Menghela napas panjang, ia memasukkan ponselnya kembali ke tas. Memegang erat-erat kedua belahan kemejanya. Sekarang ia harus berjalan ke pinggiran jalan untuk mendapatkan taksi tanpa terlihat oleh Aldric. Dengan kemeja yang memilukan. Itu lebih baik daripada memakai jas bantuan Arsen. Dan sungguh, umpatannya sudah berada di ujung lidah ketika melihat mobil gelap yang ia lihat meninggalkan halaman rumah Arsen tadi pagi melaju mendekat. Sudah jelas siapa yang ada di dalam sana. Bergegas memeluk belahan kemejanya, Fherlyn berjalan ke samping, memilih arah berlawanan tempat Aldric memarkir mobil. Ia tak ingin terpergok masih berhubungan dengan Arsen. Lalu kemudian diketahui Alsya. Tidak bisa. Mobil Arsen melaju perlahan mengikuti langkah Fherlyn, lalu membuka jendela dan memerintah dengan dingin. “Masuk.” Fherlyn tak mengindahkan perintah Arsen. Tetap melangkah seolah tak mendengar suara Arsen. “Aku tak akan memerintah dua kali, Fherlyn.” Suara Arsen mulai menajam. Fherlyn tak mengurangi kecepatan langkahnya sedikit pun. “Masuk atau aku akan merobek semua pakaianmu dan membuatmu telanjang di depan umum. Aku yakin kau akan mendapatkan taksi lebih cepat di jalanan yang ramai.” Fherlyn berhenti. Matanya terpejam dan mengerang dalam hati. “Sekarang.” Fherlyn membuka pintu dan masuk dengan membanting pintu.   ***   Aldric yang baru saja mencari keberadaan Fherlyn di toilet dan seluruh sudut restoran, terpaksa keluar dari pintu restoran. Saat itulah tanpa sengaja ia melihat sekretaris dan sopir Arsen berdiri termangu di depan halaman restoran. Pandangan mereka terpaku ke arah samping restoran, melihat mobil bercat gelap dengan plat yang sudah sangat familiar di ingatannya, sedang berbelok di samping restoran. Aldric berlari mengikuti secepat mungkin, tapi terlambat. Ia melihat Fherlyn yang masuk ke dalam mobil Arsen. Mengembuskan napas kecewa, ia tetap memandang mobil Arsen menjauh dan menghilang di belokan ujung jalanan. Bukankah hubungan Arsen dan Fherlyn sudah berakhir?   ***   Seringai puas tersamar di sudut bibir Arsen melihat Aldric yang berdiri terpaku dari kaca spion mobilnya. Lalu tatapannya beralih ke arah Fherlyn yang memunggunginya. Diam dan tak bersuara sedikit pun. Sepanjang perjalanan, yang entah ke mana. Fherlyn memilih menutup rapat-rapat mulutnya. Takut jika sedikit saja ia membuka mulut, semua emosi akan meluap tak terkendali dan ia tak tahu hal apa lagi yang akan dilakukan Arsen padanya. Sudah cukup sepagian ini tingkah laku Arsen membuatnya kepalanya terbebani. Belum dengan hatinya yang terkoyak dan kerinduan yang begitu mendalam pada Adara, yang tak tahu ada di mana saat ini. “Di mana Adara?” Suara Fherlyn lirih. Arsen tak menjawab. Tatapannya tetap ke arah depan dan berkonsentrasi penuh pada jalanan. Kediaman Arsen bukan karena tak mendengar pertanyaan Fherlyn, tapi pria itu memang sengaja menulikan telinga setiap ia mengungkit nama putrinya. “Apa yang harus kulakukan untuk bertemu dengannya, Arsen. Aku sudah menikah denganmu, aku bahkan sudah melacurkan tubuhmu padamu. Apa lagi yang kauinginkan?” Arsen berdecak. “Kau hanya beberapa hari berpisah dengannya, kenapa kau mengeluh?” “Dia anakku.” “Dia juga anakku. Lalu bayangkan bagaimana perasaanku selama empat tahun ini memikirkan dirimu sebagai pembunuh anakku?” “Aku tahu kau tak pernah memikirkan kami sekali pun. Perasaan? Memangnya sejak kapan kau punya perasaan. Kau satu-satunya manusia di muka bumi ini yangtidak punya hati, lalu bagaimana kau bisa ....” “Jangan menilaiku jika kau tak benar-benar mengenal diriku dengan baik,” desis Arsen memotong kalimat Fherlyn. “Ya, aku tahu,” tandas Fherlyn keras kepala. “Aku tahu dirimu dengan sangat baik.” “Tidak, kau sama sekali tidak mengenal dirimu.” Fherlyn sudah membuka mulut untuk membalas, tapi kepala Arsen langsung berputar. Tatapan dingin dan tajam pria itu seketika membungkam bibirnya. “Apa kauingin aku membungkam mulutmu lagi? Agar kau berhenti mengucapkan kata sampah itu.” Fherlyn memilih mengalah. Ia tak akan menang berdebat dengan Arsen. Pria itu selalu memastikan dirinya tak berkutik.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD