Part 22

1047 Words
“Kenapa kau diam saja?” tanya Arsen beberapa menit kemudian. Menginjak gas karena lampu menyala merah. Kepalanya menengok ke samping, punggung Fherlyn tak bergerak, tapi ia tahu wanita itu sengaja tak mendengar. Fherlyn tak menjawab. Menatap butik yang berada tepat dalam pandangannya. Manekin hitam laki-laki dan perempuan berjajar di balik dinding kaca. Dan di ujung, tampak manekin anak-anak memakain dres berpotongan sederhana berwarna ungu dan mengenakan tas bergambar unicorn. Kartun anak-anak yang sangat disukai oleh Adara. Tepat saat Fherlyn berpikir untuk membuka pintu mobil dan turun hendak masuk ke dalam butik itu, Arsen mengunci pintu mobil. “Kau sengaja tak mendengarku?” “Aku ingin turun sebentar.” Fherlyn memutar tubuh menghadap Arsen dengan tampang kesal. “Dengan pakaian seperti itu?” “Aku bisa sekalian membelinya di sana. Dan kau tak perlu repot-repot menolongku. Aku bisa pulang sendiri.” “Aku belum selesai bicara denganmu?” “Bicara? Bukankah kau menyuruhku diam.” “Dan masih tak diam juga.” Fherlyn mengembuskan napas dengan frustrasi. “Apa yang kauinginkan?” “Bicara.” “Tidak ada yang perlu kita bicarakan selain pembahasan Adara. Yang tampaknya tak ingin kauungkit,” sinis Fherlyn tajam. Bunyi klakson dari arah belakang mobil membuat perhatian Arsen teralih. Ia menginjak gas dengan kedua tangan mencengkeram setir. “Apa yang terjadi setelah kau pulang dari rumahku malam itu?” Kali ini Fherlyn dibuat terbungkam bukan karena tatapan Arsen, melainkan ingatan kepedihan yang kembali muncul di kepalanya setelah sejenak terlupakan. Mata Fherlyn kembali terarah ke jalanan. “Aku tahu ada yang terjadi, yang mendadak membuatmu meninggalkan pernikahan kita dan mengatakan telah menggugurkan kandunganmu.” “Karena kau tidak ingin aku menginginkan lebih, kan?” “Tadinya aku berpikir seperti itu, tapi karena beberapa menit yang lalu kau mengatakan sesuatu yang penuh tuduhan yang sama sekali tidak kupahami, aku tahu bukan itu saja alasanmu pergi.” “Kau tidak mencariku, Arsen. Apa pentingnya bagimu mengatakannya padamu?” “Kau tidak menyuruhku mencarimu?” “Dan kauingin aku mengatakan padamu untuk mencariku? Kaupikir aku gila?” Arsen membelokkan setir ke pinggiran jalan dan memarkir mobilnya. Dia tak bisa berkonsentrasi penuh pada jalanan dengan pembicaraan yang lebih dari sekedar menguras tenaga. “Kau tak pernah keberatan mengatakan apa yang kauinginkan dariku. Kauingin aku memilihmu sebagai sekretaris pribadiku, kauingin aku tetap di ranjang hingga pagi, kauingin aku tidak meningalkanmu. Satu-satunya hal yang tak bisa kuberikan padamu hanyalah membalas cintamu. Dan kau, kau tak pernah keberatan dengan hal itu.” “Maaf, saat itu aku tak terlalu menyadari kebodohanku.” Permaafan Fherlyn bernada datar dan dingin. “Semakin cepat kau mengatakan padaku, pembicaraan ini akan cepat berakhir, Fherlyn,” desis Arsen mulai frustrasi dengan omongan Fherlyn yang berputar-putar. “Apa kau mengerti?” “Itu sudah terjadi empat tahun yang lalu, aku bahkan tak benar-benar ingat apa yang kupikirkan saat itu,” dalih Fherlyn. “Kau tak cukup lupa saat mengatakan tentang wanita-wanitaku.” “Ya, anggap saja aku pergi karena tak tahan menjadi salah satu wanitamu. Masalah selesai.” Gurat-gurat keras tampak memenuhi seluruh wajah Arsen. Tapi pria itu menahan emosi yang bergemuruh di dadanya tetap di sana. Membendungnya kuat-kuat. Empat tahun yang lalu, hingga saat ini. Fherlynlah satu-satunya bentuk pertanggungjawaban Arsen yang tak pernah selesai. Bagaimana ia bertanggung jawab harus menjadikan Fherlyn sebagai sekretaris karena tak tahan pada rayuan wanita itu. Mencium Fherlyn di saat dan di tempat yang seharusnya digunakan untuk interview khusus secara langsung –yang ditujukan hanya untuk kepentingan pekerjaan-. Bagaimana ia tetap berada di ranjang untuk tetap menemani Fherlyn hingga pagi karena merasa harus bertanggung jawab telah menodai wanita polos itu. Karena merasa bertanggung jawab bahwa ternyata dirinya adalah lelaki pertama Fherlyn. Dan bagaimana ia ia mengambil keputusan besar yang ia yakini akan merubah seluruh pondasi hidupnya dengan melemparkan lamaran dalam hitungan detik dan tanpa pikir panjang karena merasa bertanggung jawab mengakibatkan kehamilan pada wanita itu. Seumur hidupnya, belum pernah ia merasa sebertanggungjawab ini. Belum pernah ia melakukan pertanggungjawaban sebesar, seberat, dan serumit pada seorang Fherlyn. “Baiklah, jika memang itu maumu,” pungkas Arsen. Kembali melajukan mobil memasuki jalanan, bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain memadati jalan besar.   ***   Arsen tak mengantar Fherlyn ke rumah. Melainkan membawa kembali wanita itu ke kantor MH dan menyuruh wanita itu langsung pulang menaiki mobilnya sendiri. Tak lupa melemparkan ancaman jika pelayan di rumah yang mengangkat panggilannya mengatakan bahwa Fherlyn belum sampai di rumah. “Untuk apa kau menolongku jika kau tak berniat membawaku pulang?” gerutu Fherlyn. “Aku bisa naik taksi sendiri.” “Untuk mencegah aku mencongkel mata orang yang melihat dadamu,” jawab Arsen sambil menutup pintu mobil Fherlyn. Memukul badan mobil dua kali, mengisyaratkan agar Fherlyn segera melajukan mobil keluar basement. “Arsen!” panggilan manja dari arah belakang membuat Arsen menoleh. Menatap datar pada Alsya yang sepertinya baru keluar dari lift dan kini berjalan mendekat. “Ada pertemuan di luar?” tanya Alsya. “Ya.” “Aku harus bertemu klien baru kita di restoran Maylight.” “Lalu?” “Aku melihat mobilmu baru saja datang dan karena tadi pagi mobilku harus ke bengkel, ditambah Aldric yang tak ada di ruangannya juga mobilnya. Aku ingin meminjam mobilmu.” Arsen mengerutkan kening sedikit. Alsya William adalah adik Aldric William yang sangat kentara dan tak bisa menahan diri menunjukkan kesukaan wanita itu terhadap dirinya. Arsen sendiri tak mengusir atau menerima cinta wanita itu karena berpikir mempertahankan Alsya di perusahaan ini adalah semat-mata demi urusan pekerjaan saja. Dua kakak beradik ini memiliki otak yang cemerlang demi kemajuan perusahaan perhotelannya. Ditambah wajah yang cantik, memikat, dan sepertinya sangat berpengalaman mengurusi masalah-masalah yang tak bisa ditangani oleh tangan seorang pria, Arsen pikir ia tak akan mengeluh dengan sikap manja wanita itu. Juga, sepertinya wanita ini akan berguna baginya untuk menggali informasi pribadi Aldric. Arsen pun mengangguk. Mengulurkan tangan menyerahkan kunci mobilnya pada Alsya. Alsya menerima kunci mobil Arsen dengan riang, lalu wajahnya mendekat dan mendaratkan kecupan di pipi Arsen. “Thanks.” Arsen hanya mengangkat bahu. “Aku akan membawakanmu menu makan siang yang enak.” Arsen tak menjawab, berjalan melewati Alsya menuju lift.   ***   Fherlyn tak perlu merasa repot-repot memikirkan hatinya yang terluka karena melihat kemesraan Arsen dengan wanita lain, tapi tetap saja hatinya selalu merasa lemah. Sulit mengabaikan saat melihat wanita lain mencium Arsen. Mencium suaminya. Selain menjerat mereka berdua, pernikahan ternyata melipatgandakan segala macam emosi yang ia rasakan untuk Arsen. Cubitan keras dan tusukan di dadanya terasa semakin dalam. Kecemburuan dan kemarahan yang memenuhi hatinya semakin meluap-luap. Mereka berdua benar-benar tak memiliki rasa malu, tak bisa menahan diri untuk memamerkan tindakan asusila di tempat umum. Kesetiaan? ‘Aku bisa menahan semua kebosananku. Demi sosok ayah yang baik di mata Adara.’ Fherlyn meludahi janji yang diucapkan Arsen beberapa menit lalu. Ya, semua pria mengucapkan janji yang sama untuk meyakinkan kesetiaan pada pasangan mereka. Termasuk Arsen. Untuk kesekian kalinya, ia kembali menjadi wanita yang mudah terbodohi oleh janji manis Arsen. Air mata menetes di sudut mata Fherlyn ketika mobil berbelok dan melenyapkan Arsen dan Alsya dari kaca spionnya. Sanggupkah ia bertahan terpenjara dengan menjadi salah satu wanita suaminya? Meskipun jika itu untuk Adara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD