Part 26

1044 Words
“Bisakah kau menyuruh pelayan membawakan makan pagi ke kamar?” Fherlyn kembali masuk ke kamar tak lama setelah keluar. Ia tak mungkin makan di bawah dengan keberadaan Alsya di sana. Hampir saja ia ketahuan saat akan menuruni anak tangga dan melihat wanita itu berjalan-jalan di ruang tengah. Seolah sudah sering datang kemari. “Kenapa?” Arsen sudah selesai menyimpul dasi dan meraih jasnya. Mengenakannya sambil berbalik menghadap Fherlyn. “Di ... di bawah masih ada Alsya.” “Apa wanita itu belum pergi?” Fherlyn duduk di sofa. “Kau bukan simpananku, Fherlyn. Untuk apa kausembunyi?” “Aku juga tak mungkin turun ke bawah.” “Kenapa?” “Kau tahu alasannya, Arsen.” Arsen terdiam. Alsya  tak pernah “Kita akan segera mengatur rencana untuk mengumumkan pernikahan ini,” putusnya kemudian. “Ya, kita memang tak mungkin menyembunyikan pernikahan ini untuk selamanya, bukan. Cepat atau lambat Adara akan tumbuh besar dan keberadaannya tak mungkin disembunyikan terus-menerus.” “Sebenarnya apa yang salah dengan pernikahan kita? Kenapa kau bersikeras menyembunyikannya?” “Aku ... aku ...” Fherlyn terbata. Ia hanya belum siap, lanjutnya dalam hati. Tujuan utama pernikahan ini hanya agar dia tak kehilangan Adara. Hanya pernikahan sementara yang Fherlyn pikir akan diakhiri suatu saat nanti. Dan ketika telah selesai, semua akan berakhir diam-diam. Tanpa ada lebih banyak orang yang tahu atau menyimpan rasa penasaran tentang pernikahannya. Walaupun dia bukan siapa-siapa, sedikit banyak pasti akan ada pemberitaan tentang dirinya. Nama belakang Arsen dan dirinya cukup terkenal di kalangan para elit, dan jelas desas-desus yang menyangkut mereka berdua tak akan sedap untuk didengar telinganya. “Apa kau masih memikirkan masalah pribadimu dengan CEO MH?” “Lagipula itu masalah kalian sudah terjadi empat tahun yang lalu. Anak kalian juga sudah mati. Jadi kalian bisa menjalani hidup masing-masing tanpa merepotkan yang lainnya, kan.” Fherlyn teringat kata-kata Alsya ketika bertemu di lift kemarin. Lalu ketika di basement mencium pipi Arsen. Wanita itu jelas sangat dekat dengan Arsen. Dan melihat Arsen yang membiarkan Alsya memperlakukan apa pun pada tubuh pria itu, bukankah itu artinya hubungan mereka berdua lebih dari sekedar atasan bawahan ataupun teman dekat. Tapi ... tadi malam Arsen mengatakan bahwa Alsya hanya menebar gosip murahan. ‘Bukan berarti mereka berdua tidak pernah tidur bersama, kan?’ Suara lain dalam kepala Fherlyn berseru dengan sinis. ‘Semua pria mengatakan hal yang sama saat menginginkan sesuatu.’ “Kau kenapa?” sela Arsen karena Fherlyn tak melanjutkan kata-katanya selama lebih dari tiga puluh detik. Wanita itu juga berusaha menghindari tatapannya. Arsen pun berjalan mendekat, menyentuh dagu Fherlyn dnegan ujung telunjuknya hingga kepala wanita itu mendongak dan memberikan seluruh perhatian hanya untuknya. “Katakan.” “Aku ... belum siap,” jawab Fherlyn terbata. Arsen mengerutkan kening. Sekelebat ketakutan melintas di manik bening Fherlyn, tapi menghilang dalam sekejab. “Apakah satu bulan cukup untuk membuat bersiap pernikahan ini diumumkan?” Fherlyn tak yakin, tapi ia tetap mengangguk. “Baiklah.” Arsen membungkuk, mendaratkan kecupan singkat di kening Fherlyn. “Alea akan datang jam sebelas. Telpon aku ketika dia datang.” Seketika hati Fherlyn berubah ceria dengan kabar tersebut. Ia pun menganggukkan kepalanya dengan bersemangat. “Lihat, hubungan kita jadi lebih mudah saat kau menuruti semua kata-kataku dengan patuh dan mengatakan apa yang ada di pikiranmu, kan,” gumam Arsen melihat senyum yang langsung tersungging di bibir Fherlyn. Sesaat Fherlyn masih tercenung di sofa memikirkan kata-kata Arsen setelah pria itu pergi. Arsen benar, hubungan mereka menjadi lebih muda saat ia menuruti kata-kata pria itu dan ia sedikit membuka isi hatinya. Tak ada lagi perseteruan yang membuatnya Arsen marah dan hatinya tersakiti. Dua hal yang mereka miliki empat tahun lalu. Bagaimanapun, Fherlyn akan tetap menikmati apa yang hari ini kembali mereka miliki meski Fherlyn tahu hal itu tak akan bertahan selamanya. Arsen juga memperlakukannya dengan lebih lembut. Tak lagi bersikap sinis padanya. Semuanya menjadi lebih baik. Sekarang hanya itu yang terpenting. Ia juga bisa kembali berada di sisi Adara. Setidaknya pernikahannya dan Arsen tak akan seburuk seperti yang ia takutkan.   ***   “Aku sudah mengatakan padamu untuk berangkat lebih dulu,” kata Arsen dengan sikap datarnya melihat Alsya yang langsung berjalan menghampiri begitu ia menginjakkan kaki di lantai satu. “Kau tak bisa mengusir ketulusanku begitu saja, Arsen.” Alsya langsung menggelayutkan lengannya di lengan Arsen. “Aku meminjam mobilmu secara langsung padamu, tidak sopan jika aku mengembalikannya lewat seseorang.” “Itu hanya mobil.” Arsen menarik lengannya. Berjalan mendahului Alsya menuju ruang makan. “Antar makanan ke kamar,” perintah Arsen pada salah satu pelayan yang menunggu di belakang kursinya. “Untuk siapa?” Alsya bertanya dengan heran. Arsen tak menjawab. Mengoleskan selai di rotinya. “Apa adik perempuanmu bermalam di sini? Aku melihat mobil merah di carportmu.” “Sejak kapan kau memperhatikan isi carportku, Alsya?” Alsya hanya mengangkat bahunya. “Aku tahu hal sekecil apa pun tentang dirimu.” Arsen mendengus. “Apa itu cukup dijadikan salah satu syarat untuk jadi istrimu?” Alsya menncondongkan tubuhnya ke arah Arsen. Mengedipkan satu matanya menggoda Arsen. “Aku tidak tertarik mencampur adukkan urusan pekerjaan dan pribadiku.” “Mungkin aku bisa menjadi satu-satunya pengecualianmu.” “Aku sudah punya satu pengecualian. Dan sayangnya itu bukan kau.” Alsya mendesah sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Mengamati Arsen yang sibuk melahap roti bakarnya sambil menahan umpatannya dalam hati. Matanya menyipit saat bertanya, “Apa ini ada hubungannya dengan kembalinya Fherlyn?” Arsen berhenti mengunyah. “Apa kalian kembali menjalin hubungan?” “Ah, aku dengar, kau masih mengoceh bahwa aku tidur denganmu,” ucapan Arsen mulai serius. Seketika Alsya tergelagap. “Apa ... ada yang mengadu padamu? Siapa?” “Berhentilah membuat gosip murahan seperti itu, Alsya. Kau mulai membuatku risih.” Wajah Alsya seketika memucat. Memaksa satu senyum. “Aku ... aku hanya bercanda, Arsen. Tak perlu diambil hati.” Alsya mengibaskan tangan di depan wajah dan suara tawanya terdengar sumbang. “Tidak untuk mereka,” tandas Arsen. Alsya melihat ke sudut kanan atas. Mencari-cari kata yang tepat untuk berdalih “Ta ... pi ini juga untuk kebaikanmu sendiri, kan? Kau tak lagi direpotkan oleh wanita-wanita yang mendekatimu. Siapa yang tahu di antara mereka ada berani berbuat nekat dan menjebakmu. Lalu datang padamu dan mengaku mengandung anakmu. Kau tahu wanita terkadang bisa sangat menakutkan jika mereka mau, kan.” “Dan menebar gosip tentang urusan ranjangku kaupikir akan menghentikan wanita gila semacam itu?” dengus Arsen. Bibir Alsya terkatup rapat. Kehilangan kata-kata. Sialan! Siapa wanita yang berani mengadu pada Arsen. Ia pastikan akan memberi pelajaran pada wanita itu. “Lagi pula, kau tak pernah tahu urusan ranjangku. Aku ragu gosip yang kausebarkan terdengar meyakinkan di telinga mereka.” Wajah Alsya seakan tak bisa lebih memucat lagi. “Kau juga tak tahu mana bagian tubuh wanita yang paling kusukai. Sentuhan-sentuhan mana yang membuatku begitu b*******h atau detail sekecil apa pun tentang ranjangku yang tidak kau ketahui.” Ia hanya belum, batin Alsya mencibir. Saat pria itu sudah mencicipi tubuhnya, ia yakin Arsen tak akan berani menolak dirinya sedingin ini. Mengejeknya setajam ini. Sial, ia mulai kehilangan kesabaran menunggu pria itu naik ke ranjang bersamanya. Sepertinya ia harus sedikit lebih berani dengan ide yang lebih cemerlang untuk menjebak Arsen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD