Part 25

1013 Words
Alsya berhenti sejenak ketika menatap mobil merah yang terparkir di salah satu sudut carport. Meski desainnya elegan dan mewah, mobil itu terlihat paling mungil di antara deretan mobil lainnya, dengan warna mencolok di antara mobil lainnya yang berwarna hitam dan abu-abu gelap. Apa Arsen membeli mobil baru? Pilihan yang aneh, gumam Alsya dalam hati. Sambil melanjutkan langkahnya menuju teras rumah. Tepat saat itulah adik laki-laki Arsen, Arza keluar. “Arza.” Arza berhenti melangkah. “Melihatmu masih di sini, sepertinya Arsen masih belum berangkat, ya?” “Masih di kamarnya,” jawab Arza datar. “Dan sepertinya akan bangun lebih siang lagi.” “Apa semalam dia mabuk?” Arza menggangguk. Mabuk cinta, batinnya. Arsen sudah berpesan untuk tidak memberitahu siapa pun tentang pernikahan ini. Entah apa alasan pria itu, dia tak pernah tahu lebih jauh. Jika Arsen menyuruhnya tutup mulut, diam adalah satu-satunya hal yang harus ia lakukan. Sama seperti pernikahan Alea, pernikahan Arsen pun pasti memiliki tujuan tersendiri yang tak perlu ia pertanyakan. Dan Alsya tentu pengecualian nomor satu yang tidak boleh mengetahui kabar pernikahan Arsen dan Fherlyn. Melihat cinta wanita itu yang terlalu menggebu-gebu, Arza yakin Alsya bisa menggila jika tahu telah kembali ke kehidupan Arsen. Entah hal apa yang akan dilakukan wanita itu untuk merusak pernikahan Arsen dan Fherlyn. Mengenal Alsya selama bertahun-tahun, Arza yakin segala macam kelicikan wanita itu akan cukup membahayakan. Untuk Adara ataupun Fherlyn. Mungkin, salah satu alasan Arsen menyuruhnya bungkam adalah untuk melindungi istri dan anak kakaknya. Dan itu cukup dijadikan sebagai alasan utama. “Kenapa kau datang sepagi ini?” tanya Arza basa-basi. Alsya mengangkat kunci mobil di tangannya. “Kau tak perlu repot-repot datang kemari.” Alsya menggeleng dengan senyum lebar memenuhi wajah. Arza tersenyum tipis. Kelicikan itu begitu kentara di mata Alsya. Sudah jelas wanita itu datang kemari hanya untuk mencari kesempatan untuk berduaan dengan Arsen. Jika saja Arsen sedikit tegas untuk menghempas wanita tak tahu malu ini. Mengusir Alsya dari perusahaan, tentu ia akan diam-diam tersenyum puas di belakang Arsen. Ia tahu ada kesepatakan tersembunyi antara Aldric dan Arsen dengan dimasukkannya Alsya menjadi wakil direktur pemasaran. Dan bukan ranahnya untuk ikut campur jika Arsen memilih tak memberitahunya. “Sepertinya dia akan sangat terlambat.” Alsya mengangkat bahu. “Aku juga tidak terburu.” “Baiklah. Aku pergi dulu.” Arza melanjutkan langkahnya menuju mobil yang  sudah disiapkan untuknya. “Beritahukan kedatanganmu pada tuanmu,” perintah Alsya pada pelayan yang muncul dengan sikap arogannya. Lalu duduk di sofa seolah rumahnya sendiri. “Apa Nona sudah membuat janji dengan tuan Arsen?” Alsya melirik tak suka ke arah pelayan itu. “Membuat janji?” Mata Alsya melotot tak percaya. “Kaupikir aku orang asing? Apa kau tak mengenalku? Apa kau pelayan baru di rumah ini?” cecar Alsya dengan nada yang semakin meninggi. “Maafkan saya, Nona. Semalam tuan berpesan untuk tidak masuk ke kamarnya sampai tuan sendiri yang keluar dari sana dan menyuruh kami membersihkan kamarnya.” “Katakan aku yang datang,” cetus Alsya tak peduli. “Untuk mengembalikan mobil tuanmu dan berangkat ke kantor bersama. Aku harus mengembalikan mobil ini secara langsung pada tuanmu. Memastikan dia menerimanya tanpa satu lecet pun. Jika mobil ini tergores sedikit pun ketika sampai di tangannya, apa kauingin mengganti ruginya? Gaji seumur hidupmu pun tak akan cukup untuk memperbaiki lecet seujung kuku di badan mobilnya. Apa kauingin membayarnya dengan nyawamu?” “Ta ... tapi ....” Pelayan itu terbata. “Lakukan tugasmu dengan benar!” bentak Alsya. “Atau aku akan membuatmu dipecat sekarang juga? Karena memperlakukan tamu dengan sangat tidak sopan seperti ini.” Alsya berhenti sejenak. Matanya menajam  sebelum melanjutkan. “Dan aku bukan tamu sembarangan di rumah ini. Aku adalah calon nyonya di rumah ini.” Pelayan itu tertegun cukup lama karena terkejut. Calon nyonya? Lalu, wanita yang dibawa tuannya dan diperkenalkan sebagai nyonya rumah ini kemarin? Yang juga adalah ibu dari anak tuannya? Pelayan itu masih terbengong mencerna informasi yang diucapkan Alsya penuh kepercayaan diri sekaligus kesombongan. Ia tak bisa membayangkan jika wanita sombong itu menjadi nyonya rumah ini. “Sampai kapan kau akan membuatku menunggu? Sampai aku benar-benar memecatmu?!” hardik Alsya dengan wajah mengeras. Pelayan itu menggeleng cepat dengan takut walaupun tahu bukan hak wanita itu untuk memecatnya. Lalu berjalan dengan terbirit menuju lantai dua. Mengusir pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa dipahaminya. Pekerjaannya hanya menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, bukan untuk mencari tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga tuannya.   ***   “Katakan padanya aku berangkat lebih siang. Dan suruh dia berangkat dulu!” bentak Arsen pada pelayannya. Braakkkkk ... Suara pintu dibanting dengan keras. Arsen menggeram keras, melihat tak ada Fherlyn di ranjangnya. Lalu menggedor-gedor pintu kamar mandi yang dikunci dari dalam. “Buka pintunya, Fherlyn!” Tak ada jawaban dari dalam. “Kauingin aku mendobraknya?!” Di dalam kamar mandi, Fherlyn tak mengindahkan suara ancaman Arsen yang beradu dengan gemericik air. Jika memang ingin memaksa masuk dengan merusak pintu, toh itu pintu kamar mandi Arsen sendiri. Ia tak rugi apa pun. Juga butuh waktu sedikit lebih lama untuk membongkar pintu tersebut, setidaknya ia bisa menyelesaikan mandinya lebih dulu. Fherlyn melanjutkan menyabuni tubuh dan rambutnya di. Masih dengan sikap tenang yang berusaha dipaksakan di pikiran dan hatinya mengingat Alsya William ada di rumah ini, menunggu suaminya untuk berangkat bekerja bersama. Seakan belum cukup wanita itu membuat suasana hatinya berantaka kemarin, hari ini datang seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Arrgghhh ... Kecemburuan itu masih tetap menghantui pikirannya. Masih sangat sulit untuk dijinakkan walaupun dengan kata-kata manis Arsen tadi malam. Selesai membersihkan busa sabun dari seluruh tubuhnya, Fherlyn mematikan shower dan menggeser pintu kaca. Menarik jubah mandi dan mengenakannya sambil berjalan ke wastafel untuk menggosok gigi. Tepat ketika ia meletakkan sikat giginya, pintu kamar mandi dibuka dari luar. Muncul Arsen yang masih bertelanjang d**a dengan wajah mengeras di setiap sudutnya. “Aku menyuruhmu tetap di ranjang,” sembur Arsen begitu menemukan batang hidung Fherlyn. “Untuk?” “Aku tak menyuruhmu bertanya,” tandas Arsen. “Aku tak ingin membuatmu dirimu disibukkan olehku sementara ada tamu pentingmu menunggu di bawah,” sindir Fherlyn. “Jangan bilang kau cemburu, Fherlyn. Membuang-buang waktuku dan tenagamu dengan sia-sia.” “Jangan sentuh aku!!” Fherlyn menghindar ke samping ketika tangan Arsen hendak meraih belahan jubah mandinya. “Aku sudah membersihkan tubuhku.” “Kalau begitu temani aku mandi.” “Aku baru saja mandi.” “Benar-benar kau,” geram Arsen. Sialan, melihat rambut basah Fherlyn membuatnya semakin di dera oleh gairah. Fherlyn berjalan melewati Arsen, tetapi belum genap dua langkah yang diambil oleh kakinya, Arsen menangkap pinggangnya dan menyeretnya kembali ke bawah shower. “Kaupikir aku peduli.” Arsen menyalakan shower dan mengguyur kedua tubuh mereka dengan air hangat. Dan sebelum Fherlyn sempat mengeluarkan protesnya, ia sudah membungkam bibir wanita itu dengan lumatannya. Menanggalkan jubah mandi wanita itu di lantai kamar mandi.   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD