Part 9

1028 Words
“Kau sungguh membiarkanku menemuinya?” tanya Fherlyn sekali lagi ketika ponsel sudah diambil alih oleh Arsen. “Hanya satu jam.” Arsen menutup pintu kamar tidur di samping ruang tidurnya sebagai tempat tidur Aara untuk sementara. Mungkin dua hari ini ia akan menyuruh pekerja untuk merenovasi interior kamar dengan beberapa warna ungu dan pink. Membeli ranjang dan segala pernak-pernik khas anak perempuan. Dan ia membutuhkan bantuan Fherlyn agar kamar itu sesuai yang diinginkan Adara dan membuat putri kecilnya itu betah di rumah ini. Itulah tujuannya mengijinkan Fherlyn datang ke rumah ini. “Selebihnya kita akan berbicara empat mata mengenai kita berdua.” Arsen sengaja menekan suaranya pada kata berdua dan dengan ucapan yang ditarik-tarik. Arsen bisa merasakan Fherlyn yang menahan napas. Tentu saja Arsen tahu persis bayangan macam apa yang bergentayangan di kepala wanita itu. Satu-satunya saat mereka berbicara hanya berdua adalah melalui sentuhan di ranjang. Darah di seluruh tubuh Arsen berdesir ketika kembali mengingat aktifitas panas mereka yang saling membakar. Kenangan yang tak pernah terlupakan. “Ki ... ta berdua?” Fherlyn terbata. Arsen terkekeh menikmati kegugupan yang melumuri suara Fherlyn. Tanpa melihat pun, Arsen bisa melihat pipi Fherlyn yang memerah dan gigi yang menggigit bagian dalam bibir. Jika wanita itu ada di hadapannya, giginyalah yang akan menggantikan tugas melumat bibir merekah Fherlyn. Arsen masih bisa membayangkan dengan begitu jelas bagaimana kelembutan bibir Fherlyn ketika bersentuhan dengan bibirnya. Bagaimana rasa bibir wanita itu ketika lidahnya menari-nari di rongga mulut Fherlyn. Bagaimana panasnya wanita itu ketika ia mulai menembus di antara kedua kaki Fherlyn. Sialan ... Arsen tak pernah sanggup menahan hasrat gilanya ketika berurussn dengan tubuh dan kepolosan Fherlyn yang penuh dengan godaan. Sentuhan wanita itu memabukkan. Hingga sampai pada tahap membuatnya tak sadarkan diri. “Tidak seperti yang ada di pikiranmu, Fherlyn,” ejek Arsen meski dirinya juga memikirkan hal yang sama. “Mengenai bagaimana dan apa saja tugas kita berdua di hadapan Adara. Kita perlu membagi tugas dan peran kita saat di depan Adara.” Fherlyn menghela napas pendek penuh kelegaan dan tergagap ketika bertanya, “Me …memangnya apa yang kupikirkan? Kupikir … kupikir kita memang harus membahas tentang hal itu.” Arsen tertawa. “Tentang Adara. Ya, tentang Adara,” Fherlyn mengulang untuk mengoreksi kalimatnya. “Aku perlu tahu mengenai anakku sedetail mungkin agar aku bisa mengambil alih tempatmu di sisinya. Jadi, mulai sekarang dia tidak perlu menggantungkan diri padamu.sepenuhnya.” “Dia anakku, sudah seharusnya dia me ...” “Dia sudah menjadi anakmu selama empat tahun ini,” tandas Arsen dengan suara tegas tak terbantah. “Kupikir sekarang waktunya dia menjadi anakku.” “Apa maksudmu, Arsen?” tanya Fherlyn setelah beberapa saat tertegun menahan denyutan tajam di dadanya karena kata-kata Arsen. Kata-kata pria itu mengandung maksud tersembunyi yang membuat Fherlyn merasa waspada karena miliknya yang terancam direbut oleh pria itu. “Kau tahu, saat ini meski dia mengenaliku sebagai papanya, di hatinya aku tetaplah seorang asing yang muncul di hidupnya seperti seorang pengasuh. Datang dan pergi di hidupnya begitu saja. Aku butuh lebih dari sekedar itu. Agar dia tahu bahwa aku adalah bagian hidupnya yang permanen. Begitupun sebaliknya. Kami berdua akan terus terikat sejauh apa pun jarak di antara kami dan sekeras apa pun seseorang berusaha memisahkan kami.” Di seberang sana, Fherlyn seolah merasa setiap kata-kata yang diucapkan oleh Arsen adalah bentuk sindiran keras terhadap dirinya. Seolah pria itu secara gamblang menunjukkan bahwa dirinya dating dan pergi di hidup Arsen dengan sesukanya, yang ditujukan untuk mempermalukan dirinya sendiri. “Ikatan batin kami tak sedalam seperti yang seharusnya seorang ayah dan anak miliki. Aku belum menjadi istimewa di matanya. Jadi, tugasmu adalah membuatku menjadi seseorang yang teramat penting di hidup Adara. Aku ingin menjadi sosok yang tak tergantikan di mata Adara. Aku ingin dia bisa menyalurkan seluruh kasih sayangnya untukku. Aku ingin dia merasa aman di setiap detik dalam hidupnya karena ada diriku yang akan melindunginya sebagai seorang ayah. Sehingga … sewaktu-waktu kau bersikap pengecut dan tak tahan dengan pernikahan kita, dia tak akan merasa kehilangan dirimu. Karena yang dia miliki saat itu hanyalah diriku.” Fherlyn membeku. Semakin dia menyerap setiap kata-kata Arsen, hujaman ribuan jarun menusuk ulu hatinya dengan sangat kejam. Menghancurkannya dari dalam hingga tak ada lagi remahan-remahan hatinya yang tersisa. “Jadi …” Suara Fherlyn tersekat. Tangisannya tertahan di tenggorokan membentuk gumpalan yang mencekik lehernya. “… itu tujuan utamamu menikahiku?” “Aku benci mengatakannya, tapi ya. Itu memang tujuan utamaku menikahimu.” Jawaban Arsen yang seringan bulu meluncur begitu saja dari ujung lidahnya. Tanpa dosa dan tanpa perasaan.  “Apa ... apa kau berniat menggunakanku sebagai alat untuk menggantikan posisiku denganmu?” Kebekuan memenuhi lidah Fherlyn hingga kegetiran terasa di seluruh rongga mulutnya. “Tepat sekali.” “Kenapa … kenapa kau berpikir aku akan atau ingin melakukan hal itu?” “Karena itu satu-satunya kesempatanmu melihat Adara,” jawab Arsen dengan mantap. “Melihatmu yang begitu cemas hingga tanpa daya kau meminta pertolongan pada keluargamu  setelah empat tahun menyembunyikan keberadaan Adara dari mereka, aku tahu kau memiliki perhatian yang sangat besar untuknya. Ternyata naluri keibuanmu mampu mengalahkan kepengcutanmu, aku tahu kau akan melakukan segala cara untuk tetap mempertahankan Adara.” “Aku ibunya.” “Aku tak meragukannya, meski dulu kau menggunakan naluri keibuanmu sebagai dalih saat kau kabur.” “Dia tetap hal terpenting di hidupku.” Fherlyn mendesis. Pria Arsen masih saja mengelupas masa lalu mereka sebagai senjata andalan untuk menyerangnya. “Dia adalah hidupku.” “Lalu bagaimana denganku?” sembur Arsen. Air mata menetes dari kedua sudut mata Fherlyn. Tapi ia berusaha keras menahan isakannya agar tangisannya tak sampai tertangkap telingan Arsen. “Kita lanjutkan besok.” Arsen memutus panggilan sebelum Fherlyn sempat membuka mulut. Sialan, sialan, sialan. Emosinya benar-benar membludak ketika ingatan empat tahun yang lalu kembali dibahas. Hanya mengingatkan pada Arsen tentang bagaimana tidak bertanggungjawabnya dirinya. Dan perasaan itu berkali-kali lipat membuatnya tak berdaya dan dihantui penyesalan tak terkira setelah mengetahui keberadaan darah dagingnya yang tak pernah ia ketahui. Seharusnya saat itu Arsen mengejar Fherlyn. Menemui Fherlyn untuk berbicara tentang alasan gadis itu pergi dan memahami jika memang tidak perlu dilaksanak pernikahan. Sehingga ia tidak terlambat hadir di kehidupan putrinya jika tahu saat itu ternyata Fherlyn tetap mempertahankan janin mereka. Ya, empat tahun lalu mungkin baginya kehadiran anak yang tak diharapkan dan pernikahan adalah sebuah beban yang harus ia pikul sebagai hukuman  kecerobohannya. Namun, saat beban itu benar-benar terasa lenyap dari punggungnya begitu saja, tidak ada perasaan lega yang menyapa hatinya. Sebaliknya, hatinya dipenuhi kehampaan dan kekosongan oleh kepergian Fherlyn dan bayi itu. Saat itulah Arsen menyadari, bahwa Fherlyn telah merampas hatinya tanpa ia sadari. Membawanya pergi hingga ia tersesat, tanpa arah. Dan ia benci mengakui kelalain terbesarnya disebabkan oleh gadis polos dan rapuh itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD