Part 8

1097 Words
Cubitan keras menekan d**a Fherlyn. Ia bisa merasakan seringai yang tersungging tinggi di sudut bibir Arsen meski tak dapat melihatnya. Merasa begitu kesal pada Arsen sekaligus dirinya sendiri. Ia memang begitu putus asa dan lagi-lagi hanya Arsen tempatnya berlari. Pria itu akan menolongnya, tapi lagi dan lagi ia akan meminta lebih. Pria itu sengaja membiarkan panggilannya, menikmati keputus-asaan dirinya. Menatap dirinya sebagai seorang pengemis yang pengecut. Memohon iba pada Arsen lalu berkhianat. Fherlyn tak akan menyangkal tuduhan atau merubah cara pandang dan pemikiran Arsen tentang dirinya. Ia takut hatinya yang masih berserakan kembali dihajar badai, dan tak sanggup bertahan. “Benar, kan, sayang?” Fherlyn menarik napasnya dalam-dalam. Sayang, jantungnya berdebar dan ia tak sanggup lagi berdiri di antara kedua lututnya yang melemah. Ia meraih punggung sofa yang ada di dekatnya dan terduduk. Ada getaran dalam panggilan sayang yang diucapkan Arsen, seakan hembusan napas panas pria itu benar-benar menyentuh telinganya dan merayap ke hatinya yang dipenuhi kerinduan. Oleh suara pria itu, oleh kehangatan pria itu, oleh sentuhan ... Fherlyn menggoyangkan kepalanya dengan keras. Melenyapkan pikirannya yang mulai tak karuan. “Aku ...” Fherlyn menelan ludahnya ketika suaranya mendadak berubah serak. “Aku ... ingin bicara dengan Aara.” “Kauyakin hanya Aara?” “Apa kauingin aku ingin bicara denganmu?” balas Fherlyn menahan suaranya agar tak bergetar. Arsen terkekeh. “Kupikir kau menjadikan anakku sebagai alasan untuk mengupas rindumu padaku secara pribadi. Kau tahu, pertemuan kita tadi pagi sedikit tidak pribadi dengan keberadaan keluargamu. Juga lamarannya. Seharusnya aku melamarmu di ... hotel atau di pantai. Seperti kebanyakan yang wanita inginkan untuk mengabadikan momen lamaran mereka dengan sikap sentimentil.” Hati Fherlyn mencelos, ejekan Arsen membuatnya ingin menangis tapi tak ada air mata yang keluar. Pria itu benar-benar mengolok-olok ketololannya. Mengejeknya hingga ia tak sanggup melawan meski hanya dengan sepatah kata pun. “Apa cincinnya pas?” Fherlyn menunduk, menatap jari manisnya yang sudah dilingkari cincin pemberian Arsen. Neneknya yang memaksanya mengenakan cincin itu ketika melihat kotak cincinnya tergeletak di nakas. Mengatakan bahwa tunangannya bisa lari meninggalkannya jika tidak mengenakan cincin itu menjelang hari pernikahan. Oh ya? Pemikiran macam apa itu? Fherlyn bahkan tak peduli jika Arsen lari dari pernikahan mereka sekaligus hidupnya. “Itu cincin pernikahan kita empat tahun yang lalu, yang baru kusadari ternyata masih ada di laci meja kerjaku. Aku tiba-tiba mendapat kabar tentang keberadaan anakku dan karena aku harus cepat mengurus berkas untuk memasukkannya sebagai anggota keluargaku, sepertinya menikahimu akan sedikit membantu memberi kejelasan tentang asal usulnya di masa mendatang.” Hati Fherlyn rasanya sudah tak bisa remuk redam lagi. Arsen sengaja menyakiti hatinya dengan tusukan demi tusukan untuk menyiksa batinnya hingga ia tak sanggup lagi bernapas oleh rasa sakit. Seolah membalas pengkhianatan yang sudah mendarah daging di nadi Arsen. Tetapi Fherlyn tak memahami kenapa pria itu ingin membalas perbuatannya empat tahun yang lalu? Sudah jelas bahwa Fherlyn dan anak mereka hanyalah beban bagi pria itu. Bukankah bagus jika mereka berdua menyingkir drai hidup Arsen dan membiarkan pria itu hidup dengan kebahagiaannya sendiri. Dan kalaupun tiba-tiba pria itu menemukan bahwa anak mereka masih hidup dan ia ternyata mampu berdiri di hadapan pria itu tanpa merepotkan Arsen, seharusnya Arsen merasa begitu lega. Karena tak perlu lagi mengorbankan hidupnya untuknya dan Adara. “Setidaknya aku tidak boleh bersikap egois dan melenyapkanmu dari ingatan anakku, bukan?” sindiran Arsen kali ini tepat menusuk di jantung Fherlyn. “Aku ingin bicara dengan Aara,” lirih Fherlyn dengan nada memohon. Ia tak sanggup lagi mendengar penghinaan Arsen lebih jauh lagi. Tak ada sahutan dari seberang, dan Fherlyn menyerah untuk menyapa putri kecilnya. Ia hanya khawatir, putri kecilnya itu akan bertanya-tanya ke mana dirinya. Kenapa tidak mengantarnya gosok gigi? Kenapa tidak membantunya memakai piyama? Kenapa tidak membacakan cerita? “Kumohon...” Permohonan itu keluar begitu saja melewati bibir Fherlyn. Berlumur keputus-asaan yang begitu kental. Sesibuk apa pun ia karena pekerjaannya, tak sekali pun Fherlyn pernah melewatkan malam tanpa melihat wajah putrinya. Ia tak yakin malam ini akan bisa tidur nyenyak ketika putrinya semata wayangnya berada jauh darinya. “Aku suka mendengarmu memohon,” kekeh Arsen. “Terutama saat kau telanjang di bawahku.” Fherlyn menurunkan ponselnya dan menekan tombol merah yang sewarna dengan pipinya. Wajahnya memanas dan jantungnya berdegup sangat kencang hingga ia berpikir degupannya akan sampai di telinga Arsen, itulah sebabnya ia memutus panggilan tersebut sebagai langkah pertama menghindari kemungkinan tersebut. Kedua tangannya menyentuh dadanya, mencoba menghentikan reaksi tubuhnya yang bergejolak. Kata-kata Arsen membawa kembali ingatan-ingatan panas yang pernah membuat mereka berdua sangat dekat. Lebih dekat dari hembusan napas mereka sendiri. Butuh lebih dari dua menit bagi Fherlyn untuk menenangkan hatinya. Lalu panggilan video dari Arsen yang menggetarkan ponsel dalam genggamannya membuatnya tertegun. Fherlyn mengetuk-ngetukkan telunjuknya di pinggiran ponsel dengan gugup. Dipenuhi dilema menyesakkan untuk menjawab panggilan tersebut atau tidak. Tak tahan dengan dilema dan getaran yang seolah menyerangnya tanpa ampun, Fherlyn menggeser tombol hijau. Menguatkan hati untuk hinaan Arsen yang berikutnya. Karena sepertinya memilih diam dan menerima semua perlakuan pria itu adalah satu-satunya jalan baginya untuk tetap mempertahankan posisinya di hidup Adara. “Hallo, Mama,” sapaan suara khas anak-anak yang meluncur ke gendang telinga Fherlyn membuatnya bernapas dengan lega. Wajah mungil dengan senyum yang seolah abadi di sana memenuhi layar ponselnya. Mata Fherlyn berkaca, menahan keinginan untuk menyentuh dan mengecup pipi gembul itu. “Hai, sayang.” Fherlyn melambaikan tangannya ke arah layar. Membalas senyum putrinya dengan tak kalah lebarnya. “Apa anak mama baik-baik saja hari ini?” “Aara di rumah papa. Kenapa Mama tidak menjemput Aara?” “Mama ... mama sedang pergi ke rumah kakek dan nenek Aara.” “Kakek Aara?” Kerutan dalam muncul di dahi Adara. “Ya.” Fherlyn mengangguk sambil menahan isak tangis yang hendak keluar. Ia telah menjauhkan semua keluarganya dari Adara, dan di saat yang bersamaan Adara tiba-tiba harus mengenal mereka dalam kurun waktu yang sangat singkat. Tentu saja putrinya itu akan terkejut. “Aara punya kakek?” “Ya.” Lagi Fherlyn mengangguk. Matanya mengerjap agar air mata tak menetes. “Juga nenek.” “Seperti yang di foto?” Kali ini Fherlyn hanya mengangguk. “Kapan mama menjemput Aara? Aara ingin ke rumah kakek dan nenek.” Fherlyn tertegun mencari jawaban. Ia tak bisa menjanjikan sesuatu yang tak bisa ia tepati. Arsen tentu tak akan membiarkan Adara dibawa ke rumahnya. Pria itu sudah mengatakan akan membiarkannya bertemu dengan Adara hanya setelah sebuah pernikahan di antara mereka terjadi atau tidak sama sekali. Dan pernikahan masih sepuluh hari lagi. “Mama ... mama ...” “Besok mama akan menemui Aara di rumah papa. Tapi, kakek dan nenek Aara saat ini sedang sibuk. Aara mau menunggu kakek dan nenek?” Suara Arsen yang terdengar melegakan Fherlyn. Meski ia terkejut Arsen membiarkannya bertemu Adara dengan cara tak terduga seperti ini. Adara tampak diam sejenak sambil menoleh ke arah samping. Menatap sosok Arsen yang tak terlihat di layar ponsel Fherlyn. Lalu kepala anak itu mengangguk dua kali dan kembali menatap ke arah mamanya. Fherlyn pun melanjutkan percakapan singkat mereka seperti biasa saat sebelum tidur dan menceritakan cerita singkat. Karena sepertinya anak itu terlalu lelah mungkin karena menyesuaikan diri di tempat baru, Adara tertidur sebelum Fherlyn menyelesaikan ceritanya.     ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD