Part 32

1535 Words
Aldric termenung di ruangannya. Mengambil ponselnya untuk menghubungi nomor Fherlyn. Meminta penjelasan pada wanita itu secara langsung. Secepat mungkin karena tadi saat ia baru sampai di ruangannya, sekretarisnya mendadak memberitahu kalau jadwal pertemuannya dan Fherlyn batal. Kemudian menyusul sekretaris  Arsen yang datang dan menyuruhnya mendatangi ruangan pria itu. Yang sebelumnya Aldric pikir  Arsen butuh menanyakan beberapa berkas yang mungkin masih belum memuaskan pria itu. Tetapi, ternyata Arsen mengejutkannya. Pria itu memintanya undur diri menangani pengajuan kontrak mereka yang kebetulan ditangani Fherlyn sebagai pemilik lahan untuk lima mega proyek mereka. Dengan alasan yang sama sekali tidak profesional. Pikiran Aldric kembali bergelut tentang hubungan Arsen dan Fherlyn yang ia pikir semakin hari semakin intens. Yang juga menimbulkan kecemburuan di dadanya tanpa bisa ia tahan. Mungkinkah kembalinya Fherlyn ke negara ini ada hubungannya dengan Arsen? Atau pembatalan pertemuannya dengan Fherlyn ada hubungannya dengan Arsen? Mengingat Fherlyn yang masuk ke dalam mobil Arsen saat mereka makan bersama seminggu yang lalu. Apakah masih ada masalah pribadi apa pun yang tersisa di antara mereka, yang masih saling menghubungkan keduanya? Meskipun begitu, hubungan Arsen dan Fherlyn seharusnya sudah berakhir. Sejak lama. Setelah Fherlyn yang mendadak menghilang dan jejeran wanita-wanita yang bersanding dengan Arsen di setiap pesta-pesta yang dikeluhkan oleh adiknya Alsya, lebih dari sekedar bukti bahwa permainan apa pun antara Arsen dan Fherlyn sudah berakhir. Kedua sudah saling berjalan pergi ke arah yang berbeda. Berada dalam lintasan hidup yang tak saling bersinggungan. “Hallo, Aldric,” jawab Fherlyn. “Hai, bagaimana kabarmu? Aku baru saja diberitahu sekretarisku kalau kau membatalkan pertemuan siang kita.” “Ya, maafkan aku,” sesal Fherlyn. “Aku tidak bisa menghubungi nomormu tadi pagi.” Aldric mengingat. “Sepertinya dayaku habis.” “Aku mendapatkan kecelakaan kecil dan tidak bisa keluar rumah untuk sementara.” “Kecelakaan?” “Hanya terkilir. Dokter juga sudah memeriksanya, tapi masih sedikit sakit. Sesikit kesusahan untuk berjalan tapi aku baik-baik saja.” “Apa kau di rumah sakit? Aku akan datang ...” “Tidak, aku tidak di rumah sakit dan kau tidak perlu datang menjengukku, Aldric. Ini hanya sakit ringan dan aku tak perlu pergi ke rumah sakit. Hanya butuh sedikit istirahat dan besok akan sembuh.” Aldric mendesah lega. “Syukurlah. Aku mengkhawatirkanmu.” “Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.” “Baiklah jika kau baik-baik saja. Aku akan membiarkanmu beristirahatlah.” “Hmm.” “Bye.” “Bye.” Aldric tersenyum. Tercenung menatap ponselnya seakan wajah Fherlynlah yang ia pandang. Membalas senyumannya dengan wajah cantik penuh keceriaan wanita itu. “Kenapa kau tertawa sendiri?” Alsya muncul di ambang pintu ruangan Aldric dengan ekspresi heran bercampur rasa penasaran melihat kakaknya yang tampak konyol tersenyum-senyum sendiri bersama benda mati di genggaman tangan pria itu. “Apa kau berkencan dengan seseorang?” tebak Alsya sambil berjalan mendekati meja kerja Aldric. Aldric meletakkan ponselnya di meja. Membuka berkas di depannya dengan salah tingkah demi mengabaikan pertanyaan-pertanyaan penuh keingintahuan adiknya, Alsya. “Ada apa?” Alsya meletakkan berkas di tangannya ke hadapan Aldric. “Aku perlu persetujuanmu sebelum membawanya pada Arsen.” Aldric membuka map biru yang disodorkan Alsya. Membaca dan memilah dengan cepat apa saya yang hanya perlu ia ketahui. Apa pun yang dibawa Alsya tak pernah membuatnya puas. Wanita itu mungkin pandai menarik minat banyak klien untuk menginap di hotel mereka, yang kebanyakan adalah pria dan lebih sedikit wanita, tapi laporan yang diberikan adiknya itu tak pernah lebih dari sampah Kacau dan berantakan. “Kau tak perlu membawanya pada Arsen. Ini hanya klien baru yang bahkan tak terlalu menguntungkan. Aku ragu jika Arsen mengenalnya.” “Ck, ini hanya batu loncatan untuk mendapatkan klien besar kita. Aku butuh bertemu Arsen untuk meminta pendapatnya.” “Kau hanya butuh alasan untuk bertemu dengannya,” koreksi Aldric. Alsya hanya tertawa nyengir. Aldric menandatangi berkas tersebut lalu menyodorkannya pada Alsya. “Apa kau berkencan dengan Fherlyn?” tanya Alsya. Sekilas manik Aldric melebar terkejut, tapi ia segera menguasai ekspresinya. Bagaimana pertanyaan Alsya bisa begitu blak-blakan dan tanpa basa-basi? Juga sampai sejauh itu. Alsya melirik layar ponsel Aldric yang masih menyala di meja. Menampilkan riwayat panggilan yang sangat jelas. Bahkan ada tanda love setelah nama Fherlyn. Kakaknya itu benar-benar kekanak-kanakkan. Aldric mengikuti arah pandangan Alsya dan segera membalik layar ponselnya. Berdehem membasahi tenggorokannya yang mendadak kering seolah ia ketahuan mencuri permen. “Jadi kau sudah bertemu dengannya? “Aku tak akan mendiskusikan kehidupan cintaku denganmu, Alsya.” “Ah, kau masih menjadi teman baiknya?” tebak Alsya. “Sampai kapan kau akan berada dalam zona pertemanan konyol itu, kakakku yang malang?” “Apa kau sudah selesai? Aku punya setumpuk pekerjaan yang harus kuselesaikan,” usir Aldric mengabaikan kalimat Alsya dan berpura membaca berkas yang sudah ia buka tadi meski tak sungguh-sungguh mencernanya. Alsya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jika saja kau memiliki sedikit keberanianku untuk mendapatkannya, kupastikan kau akan menadapatkan Fherlyn dalam pelukanmu dengan sangat muda, Aldric. Kau tak akan mendapatkan apa pun dengan duduk manis dan sibuk mengaguminya dari jauh.” Aldric masih diam seolah sibuk berkutat dengan jajaran huruf di lembaran kertas yang ia bolak-balik tak jelas. Mau tak mau membiarkan kalimat Alsya masuk ke telinganya walaupun ia terlihat mengabaikan wanita itu. “Kau hanya perlu menyelesaikannya dan dia akan menjadi milikmu. Aku memang tak terlalu menyukainya, tapi aku tak akan keberatan jika dia menjadi kakak iparku.” Alsya diam sejenak. “Dan kau akan berterima kasih padaku untuk apa yang telah kulakukan hingga kesempatan seperti ini datang di hidupmu lagi,” gumam Alsya lebih kepada dirinya sendiri. Lalu wanita itu berbalik dan meninggalkan Aldric. Aldric berhenti membaca. Kepalanya terangkat menatap pintu ruangannya yang sudah tertutup rapat. Kalimat terakhir Alsya mendadak menarik perhatiannya. ‘Untuk apa yang telah kulakukan hingga kesempatan seperti ini datang di hidupmu lagi.’ Kening Aldric berkerut dalam, apa yang telah Alsya lakukan sehingga ia perlu merasa berterimakasih pada adiknya itu?   ***   “Kau tak perlu mendiskusikan hal seperti ini denganku, Alsya.” Arsen hanya perlu membaca judul dokumen itu sebelum melempar kembali kepada Alsya dengan sikap dingin. Ia tahu tujuan wanita itu mengganggu kesibukannya hanya untuk mencari perhatiannya. Alsya tersenyum lebar, menyimpan maksud tersembunyi dalam pandangannya. Kemudian ia menggeser kursinya lebih dekat ke meja Arsen. Menopangkan dagunya sambil mengedipkan mata menggoda pria itu. “Aku tahu. Tapi ... aku mendengar beberapa rumor yang menarik.” Arsen memilih diam. Tak perlu bertanya agar Alsya melanjutkan dongeng wanita itu. Biasanya cerita Alsya cukup menarik untuk didengarkan dan dipertimbangkan walaupun cara wanita itu mengganggu untuk mendapatkan perhatiannya sangat mengesalkan. “Apa kau tahu pimpinan Lavi? Ini ...” Alsya mengetuk berkas yang dilempar Arsen. “... adalah seseorang yang sangat berarti bagi Lavi. Lita Angelou. Aku bahkan mendengar dia mampu membeli bank untuk memecat manager bank yang menolak pengajuan kredit wanita ini. Tebak apa yang membuat seorang Lavi melakukan tindakan agresif kekanakkan seperti itu.” Cinta, Arsen menjawab dalam diam, lalu mempertimbangkan dengan teliti ke mana arah rencana Alsya mengalir. “Jadi kauingin memanfaatkan obsesi Lavi untuk mendapatkan keuntungan yang besar?” “Jika kita memuliakan  wanita ini, kupikir kita akan mendapatkan Lavi dengan mudah. Kita harus mencuri hati wanita ini untuk menaklukkan Lavi, bukan? Ini adalah mangsa yang lemah tapi tangkapan yang besar. Bagaimana menurutmu?” Arsen menyeringai. “Apakah seorang lelaki memang bisa begitu menyedihkan ketika sudah terobsesi pada seorang wanita?” Alsya menghela napas sambil mengangkat bahu.  “Sepertinya itu menjadi satu-satunya hukum alam yang menyusahkan jika kau berada dalam posisi ketiga.” Mendadak Arsen seolah tersindir oleh kalimatnya sendiri. Menyadari betapa menyedihkannya dirinya ketika begitu terobsesi untuk memiliki Fherlyn. Menggunakan alasan anak mereka untuk menjerat wanita itu di kehidupannya. Apalagi jika mengingat kecemburuan yang menyergapnya saat melihat Fherlyn bersama pria lain. Oh ya, ia bahkan mengutuk pria-pria yang tak menjaga mata untuk tidak terpesona pada kecantikan istrinya. “Apa wanita itu menyukai Lavi?” Pertanyaan Arsen hanya untuk mengalihkan pikirannya yang semakin tak karuan. Ada kelegaan karena tahu ia tak semenyedihkan Lavi karena jelas ia telah menggenggam hati Fherlyn, meski wanita itu terkadang menolak percaya. “Entahlah. Kupikir wanita itu hanya sok jual mahal. Ingin bersikap mandiri?” cemooh Alsya. “Memangnya ia ingin membuktikan kemandirian itu pada siapa? Menjadi kekasih Lavi jelas akan memberinya kebebasan untuk membungkam mulut orang yang menjelekkan dirinya. Bahkan tak ada yang bisa dibanggakan darinya kecuali keberuntungan yang dimilikinya karena berhasil menarik perhatian Lavi.” “Ya, wanita selalu mencari jalan yang rumit untuk sesuatu yang tak terlihat.” Senyum Alsya melebar. “Tidak semua wanita.” Arsen mengangkat salah satu alisnya. Ekspresi di wajah Alsya lagi-lagi membuatnya merasa jengah. Keterusterangan perasaan wanita itu selalu membuatnya tak nyaman dan risih. “Lakukan tugasmu seperti biasa,” ucapnya dengan dingin. Berpura tak menyadari cinta wanita itu yang terlalu semerbak hingga membuat perutnya mual. “Baiklah.” Alsya berdiri masih dengan senyum lebarnya dan berbalik. Tapi kembali menghadap Arsen sebelum sempat mengambil langkah ketiganya. “Oh ya. Mengenai pesta lusa malam.” Arsen mengangkat wajahnya. “Kenapa?” “Aku akan menemanimu.” “Sepertinya tidak perlu.” “Apa kau sudah mendapatkan pasanganmu?” Senyum di wajah Alsya menghilang dalam sekejap.   “Tidak juga,” jawab Arsen setelah beberapa saat menyadari perubahan ekspresi Alsya. Ia punya rencana akan pergi bersama Fherlyn. Haruskah ia bertanya kesediaan wanita itu atau ia hanya perlu memaksa istrinya menjadi pasangannya? Arsen belum memutuskan. Menggandeng Fherlyn dalam pesta itu akan membuat banyak orang-orang mempertanyakan hubungan mereka. Bagus untuknya, tapi Arsen tahu Fherlyn meminta waktu untuk memublikasikan hubungan mereka dan ia berjanji memberi wanita itu sedikit waktu untuk bersiap. “Baguslah. Aku sudah mengirim undangan pada Lavi dan berencana mempertemukan kalian di pesta. Dia tahu kita memiliki Angelou.” Arsen tak mengiyakan atau menolak ajakan Alsya. Tapi bertemu dengan Lavi adalah rencana yang cukup menarik. Lalu ia memanggil sekretarisnya setelah Alsya keluar. “Apa kau sudah mengirim undangan ke Ellard Group?” Sekretarisnya mengangguk. “Baguslah,” ucap Arsen datar. “Dan batalkan semua jadwal siang dan soreku. Aku akan pulang lebih cepat.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD