Part 31

1369 Words
Pusing yang teramat menyambut pagi Arsen. Ia mengerang pelan dan menyentuh kepalanya demi meredakan pusing yang mendera. Sambil berusaha membuka mata, ia bangkit terduduk dan bersandar di kepala ranjang. Menatap ke sisi lain ranjang yang sudah kosong lalu ke setiap sudut kamarnya yang sunyi. Tidak ada Fherlyn, tapi ia melihat segelas jus jeruk dan beberapa butir obat yang sudah disiapkan di nakas. Yang sudah pasti disiapkan oleh Fherlyn. Pelayannya tak pernah melakukan hal seperti ini tanpa ia suruh. Merasa lebih baik setelah menelan butiran obat dan menandaskan isi gelas, Arsen turun dari ranjang. Mengambil kaos putihnya yang tergeletak di sofa dan mengenakannya sambil berjalan keluar kamar. Berbelok ke kanan hendak ke kamar Adara. Entah kenapa pagi ini ia sangat merindukan dan ingin cepat melihat wajah putrinya. Juga Fherlyn. “Tuan, nona Adara sedang makan pagi bersama Nyonya di bawah,” beritahu pelayan yang kebetulan baru saja selesai membersihkan kamar Adara. Arsen pun turun ke lantai satu. Melihat Fherlyn dan Adara yang hampir menyelesaikan sarapan mereka. Sekilas Fherlyn menatap ke arahnya lalu berpaling dan kembali sibuk dengan Adara. Wanita itu sudah rapi dengan setelan kantor duduk di samping kursu Adara. “Papa!!” sambut Adara dengan senyum cerah. Dengan pakaian terusan tanpa lengan berwarna pink dan bermotif cherry. Rambut hitamnya yang sedikit panjang dikuncir dua dan bergoyang-goyang ketika kepalanya bergerak. “Pagi, sayang.” Arsen menghampiri Adara, membalas senyum ceria dan sapaan manis Adara lalu membungkuk dan mencium kedua pipi gembul putrinya sebelum duduk di kursinya. “Apa kau tidak berpikir untuk berhenti bekerja dan mengurusi Adara saja?” tanya Arsen sambil menatap Fherlyn yang sibuk mengunyah suapan terakhir dari balik cangkir kopinya. Fherlyn mendorong piringnya menjauh. Mengusap bibirnya dengan tisu sambil memikirkan pertanyaan Arsen. Berhenti bekerja dan menghabiskan seluruh harinya bersama Adara adalah ide yang menggiurkan, tapi Fherlyn tak mungkin menggantungkan seluruh hidupnya pada Arsen. Ia butuh berdiri sendiri, tanpa atau ada Arsen dihidupnya. Untuk dirinya sendiri dan untuk Adara. Arsen melirik Fherlyn yang tampak berpikir sejenak, lalu kemudian wanita itu sedikit menggoyangkan kepalanya dengan pelan seolah menepis keputusan yang hendak diambil. Sekaligus sebagai jawaban dari pertanyaannya. “Kenapa? Kau tidak suka berdiam diri di rumah dengan Adara?” “Aku menolaknya bukan karena tak suka,” jawab Fherlyn tak suka dengan nada sinis yang terselip dalam ucapan Arsen. “Aku juga tahu kau tak suka bekerja. Kupikir kau tidak terlalu pandai mengurusi urusan ...” Mata Fherlyn menyipit jengkel atas kata-kata Arsen yang meragukan kinerjanya. Fherlyn melihat ke arah pengasuh Adara dan menyuruh wanita muda itu membawa Adara pergi dari ruang makan. “Kaupikir aku menjalani segala sesuatu karena aku menyukai hal itu? Kau bahkan tak tahu apa pun tentangku.” Arsen terdiam. Melanjutkan menyesap kopinya. “Kaupikir aku menikah denganmu juga karena menyukaimu?” Arsen mengangguk tanpa beban. Fherlyn berdiri dengan berang. Hentakan tangannya tanpa sengaja menyenggol piring milik Adara yang masih berisi sisa sarapan, hingga jatuh ke lantai. Fherlyn menjerit dan melangkah mundur ketika salah satu pecahan piring mengenai kakinya. Keseimbangan yang tak bisa ia jaga karena sepatu berhaknya, membuat tubuhnya limbung ke samping. Dan ia yakin akan terjatuh ke lantai dengan sangat tidak elegan. Tetapi sepasang tangan kekar menyambar pinggangnya dan ia mendarat dengan mulus dalam pangkuan Arsen. “Kenapa kau sepertinya marah? Marah padaku atau pada dirimu sendiri?” “Lepaskan!” Fherlyn melompat, tapi kakinya yang keseleo membuatnya kembali terjatuh di pangkuan Arsen. Arsen terkekeh. “Itulah sebabnya kau memerlukanku sebagai tempatmu terjatuh, Fherlyn. Mungkin akulah penyebab hatimu terluka, tapi percayalah hanya aku yang bisa menyembuhkan lukamu itu.” Jantung Fherlyn berdebar kencang. Matanya menunduk menghindari tatapan Arsen. Aroma tubuh Arsen yang baru bangun tidur, sesaat memengaruhi kesadarannya dan hampir membuainya. Namun, ia menyadarkan diri dengan cepat dan merintih. “Ka ... kiku.” Arsen menyelipkan tangannya di balik lutut dan punggung Fherlyn, lalu mengangkat tubuh Fherlyn keluar dari ruang makan setelah menyuruh pelayan untuk membawakan kotak obat ke kamar mereka. Sesekali Fherlyn merintih ketika rasa perih karena antiseptik yang diusapkan Arsen ke luka di kakinya. “Kau bukan anak kecil, Fherlyn. Hanya luka sekecil ini kau merengek dan menanggalkan umurmu.” Bibir Fherlyn mengerucut. Lalu meringis lagi ketika Arsen melanjutkan mengoles salep dan plester. “Aawww ...” Fherlyn menjauhkah kakinya dari tangan Arsen yang menyentuh pergelangan kakinya. “Di sini juga sakit?” Fherlyn mengangguk. Dengan hati-hati Arsen melepas kedua sepatu Fherlyn dan memeriksa pergelangan kaki Fherlyn lebih seksama. “Sepertinya kakimu terkilir.” “Lalu?” tanya Fherlyn polos. “Ck, sepertinya aku hanya mencuri hatimu, Fherlyn. Bukan otakmu,” decak Arsen sambil berdiri dan menendang sepatu menjauh. “Kau tidak akan pergi bekerja hari ini.” Fherlyn membelalak. “Ta ... tapi aku harus ke kantor, dan aku juga punya janji temu.” Seringai puas tersamar di sudut bibir Arsen. Entah kebetulan atau tidak, dan bukan bermaksud bersenang-senang di atas penderitaan istrinya, tapi kecelakaan ini akan membuat Fherlyn membatalkan janji temu wanita itu dengan Aldric hari ini, kan. ‘Ada apa?’ Sekretarisnya tampak ragu sejenak sebelum benar-benar membuka mulut. ‘Saya tidak tahu ini penting atau tidak, tapi Tuan menyuruh saya melaporkan hal sekecil apa pun tentang istri Tuan dan tuan Aldric.’ Arsen diam, menunggu. ‘Besok siang, ada janji temu antara tuan Aldric dan nyonya Fherlyn. Ta ... tapi sepertinya ini hanya urusan pekerjaan. Apakah saya perlu mencari tahu tempatnya? Karena sepertinya tuan Aldric tidak memberitahu sekretarisnya tentang tempat dan tepatnya jam berapa. Dan sepertinya tuan Aldric hendak pergi seorang diri.’ Arsen mendengus, janji temu macam apa yang dilakukan secara rahasia seperti itu? Bibirnya terasa gatal untuk mengumumkan tentang pernikahannya dan Fherlyn kepada publik. “Apa kau akan memaksa pergi ke kantor dengan kaki pincangmu itu?” Fherlyn mengabaikan kata-kata pedas Arsen. “Sepertinya ini hanya keseleo ringan. Bisakah kau memanggilkanku dokter? Biasanya dokter akan memijatnya dan kakiku bisa baik-baik saja.” “Kau masih sering seperti ini?” tanya Arsen tak percaya. Dulu, saat bekerja sebagai sekretarisnya, Fherlyn memang sering terkilir ketika memakai sepatu bertumit tinggi. Itulah sebabnya di mobil Arsen tersedia flat shoes milik Fherlyn yang selalu digunakan saat ada pertemuan di luar kantor. “Ini tuntutan pekerjaan.” Fherlyn membela diri. Sejujurnya, sebagai wanita karir, sepatu bertumit tinggi baginya adalah sebagai peningkat kepercayaan diri. Walaupun ia sendiri merasa sangat tidak nyaman dan bahkan belum terbiasa mengenakannya setelah bertahun-tahun. Arsen mendengus mencemooh. “Kapan kau berhenti? Apa setelah kakimu patah?” “Ini kakiku, Arsen. Aku bisa ....” “Dan kau adalah istriku. Milikku,” tandas Arsen kemudian. “Apa gunanya wajah cantikmu jika kakimu tak berfungsi dengan baik?” Mulut Fherlyn membuka nutup tak percaya. “Istirahatlah di rumah sampai kakimu sembuh. Dan buang semua sepatu sialanmu itu.” Arsen memerintah dengan tegas. Berjalan ke kamar mandi sebelum Fherlyn sempat mengeluarkan bantahan-bantahan.   ***   “Bagaimana perkembangan tentang proposal yang kauajukan pada Ellard Group?” Tanpa basa-basi, Arsen bertanya begitu Aldric sudah berdiri di seberang mejanya. Sesaat Aldric mengerutkan kening dengan pertanyaan yang diajukan Arsen. Tak biasanya Arsen menyuruhnya mendatangi ruangan pria itu untuk menanyakan perkembangan pekerjaan yang tengah ditanganinya. Biasanya, Arsen hanya meminta Aldric mengirim berkas-berkas atau memintanya melaporkan secara terbuka pada pertemuan para khusus dengan para direksi atau pemegang saham yang dilakukan rutin setiap dua minggu sekali. “Sepertinya mereka tertarik dan kami sudah menentukan jadwal pertemuan untuk mencapai kesepatakan-kesepatan yang akan dipertimbangkan bersama.” “Kapan?” “Seharusnya hari ini, tapi karena ada sedikit halangan, sepertinya pertemuan kami akan ditunda. Aku akan mengusahakan cepat selesai sebelum minggu depan.” Arsen mendengus dalam hati. Kepalanya mengangguk-angguk pelan sambil menggaruk dagunya yang tak gatal. “Serahkan padaku. Biarkan aku yang akan melanjutkan.” Kerutan di kening Aldric semakin dalam. “Kenapa? Bukankah ini adalah pekerjaanku?” “Aku tahu.” Arsen mengangkat bahu dan menyandarkan punggungnya. “Apa kau meragukan pekerjaanku?” “Tidak sama sekali, kau tak perlu tersinggung.” Aldric diam sejenak. “Kupikir, aku lebih dari sekedar handal mengurusi pekerjaan yang satu ini.” “Aku punya alasanku.” Mata Aldric menatap lekat-lekat manik Arsen. Pandangan mereka penuh ketegangan seolah sama-sama memasang kuda-kuda akan bertarung. “Dan bukan bermaksud tak sopan. Jika kau tidak meragukan pekerjaanku, apa ini karena masalah pribadi?” “Sepertinya itu bukan urusanmu.” Sedikit pun Arsen tak terusik atau tergoyahkan dengan keterusterangan Aldric yang menusuk. “Kau benar. Hanya saja, aku berharap kau bersikap profesional dengan tak mencampur adukkan urusan pekerjaan dan urusan pribadimu, Arsen.” Bibir Arsen terkatup rapat. Mengumpat dalam hati dengan ketajaman kata-kata Aldric yang tak kalah pedas dengan mulutnya. “Aku pamit.” Aldric menganggukkan kepala sebagai sikap hormat dan berbalik pergi. Arsen tertawa hambar. Aldric William, pria itu jelas-jelas membunyikan genderang perang. Harus Arsen akui, bahwa dirinya salut dengan keberanian dan kegigihan Aldric yang sembrono itu. Haruskah ia memberitahu Aldric bahwa pria itu sudah kalah bahkan sebelum perang dimulai? Batin Arsen dengan sombong. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD