Part 15

1797 Words
“Kenapa kau terlihat murung di hari pernikahan putrimu?” Alan  menyenggol pundak Keydo dengan pundaknya. Menelengkan kepala mengamati ekspresi sahabat sekaligus adik iparnya yang tampak termenung dan menyendiri. Bersandar di pinggiran pintu ganda yang menghadap halaman belakang tempat keramaian berlangsung. Tatapan pria itu tak lepas dari lengkungan bunga tempat altar pernikahan Fherlyn dan Arsen. Yang sekarang sedang sibuk mendapatkan ucapan selamat dari para anggota keluarga. Keduanya tampak bahagia dengan senyum lebar menghiasi kedua wajah tersebut. Juga tampak mesra dengan tangan Arsen yang tak lepas dari pinggang Fherlyn. Penuh keposesifan. Seolah takut Fherlyn menjauh sesenti pun dari pria itu. Namun ia tak akan berkomentar. Ia pun akan melakukan hal yang sama pada istrinya. Yang terkadang masih tak berhenti membuat pria-pria tak punya moral masih melirikkan mata pada wanitanya. Keydo menyentuh ujung matanya dan mengusap setetes air mata yang terjatuh. Menghela napas pendek dan bergumam lirih. “Apakah menurutmu ini pilihan yang benar?” Berusaha menahan kekhawatiran dalam hatinya agar tak sampai muncul ke permukaan wajah. Sialan. Air mata bukanlah teman akrabnya, tapi ia tak bisa menahan aliran laju yang menggelitik di kelenjar air matanya tersebut. Bertahun-tahun dia  selalu siap dengan segala macam bencana yang diakibatkan oleh putri teledornya. Ia siap membereskan masalah-masalah yang datang silih berganti karena Fherlyn. Ia bahkan siap menanggung rasa malu dari orang-orang penting, klien besar, atau siapa pun yang kebetulan menjadi korban bencana dari kecerobohan Fherlyn. Karena memang putrinya itu tak pernah berhenti membuat masalah. Tapi anehnya ia tak pernah siap saat benar-benar harus melimpahkan tanggung jawab besar itu pada orang lain. Tidak ada orang yang akan menyayangi putrinya melebihi dirinya.  Tidak ada orang yang akan tahan menghadapi putrinya dengan segala kecerobohan yang mengikuti. Baginya, Fherlyn adalah putri kecilnya yang sangat istimewa. Buah cintanya. Segala-galanya dan akan selalu menjadi putri kecil kesayangannya. “Kenapa? Kau cemburu melihatnya bahagia dengan pria lain?” celetuk Alan. Keydo mendengus. “Cemburu?” cibirnya. “Tidak, bukan cemburu. Aku hanya merasa, ternyata ada laki-laki lain yang dicintai oleh anakku. Dan itu bukan cemburu. Itu namanya ...” Keydo mengerutkan kening mencari kata yang tepat untuk emosi yang timbul ketika merasa tersingkirkan oleh orang yang ia sayangi. Merasa iri dan berharap bukan Arsen orang yang dicintai putrinya. Bahkan tidak ada orang lain yang layak dicintai oleh putrinya. “Ya, ini terdengar konyol. Aku cemburu pada anakku sendiri,” desahnya menyerah dan penuh kekesalan. Alan menepukkan tangannya di pundak Keydo. Menyalurkan keprihatinannya dan mengangguk-anggukkan kepala. “Ya, aku juga merasakannya ketika Axel menikah.” Tangannya turun dan bersilang di d**a kemudian kepalanya berputar menghadap halaman belakang. Meski pesta pernikahannya putra sulungnya lebih mewah dari ini, tapi kehangatan keluarga yang menyelimuti setiap sudut pesta tetap sama. “Kauingat, dulu dia selalu merengek meminta strawberry dan tiba-tiba waktu berlalu dengan cepat. Tiba-tiba dia memperkenalkan seorang pria dan mendadak kita tak siap melepasnya di hari pernikahan. Memastikan latar belakang pria itu yang baik, melihat kesungguhan pria itu untuk meminangnya, dan semua itu seakan tak memuaskan. Kita masih dipenuhi kegelisahan jika suatu saat pria itu akan membuat anakku menangis. Tapi lihatlah apa yang terjadi saat pria itu benar-benar membuat anakku bahagia. Kau  akan merasa kesal karena ternyata sumber kebahagiaannya bukan lagi dari dirimu. Merasa marah karena dia tak lagi membutuhkan perlindunganmu.” Alan berhenti untuk menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Pada akhirnya kau bahagia karena kau sudah berhasil melakukan tugasmu dengan baik. Merawatnya dengan penuh kasih sayang hingga ia menemukan kehidupan bahagianya sendiri. Meski kau bukan satu-satunya kebahagiaannya.” “Kau benar,” aku Keydo meski sullit menerima semua hal itu di hatinya. Yang terpenting adalah kebahagiaan Fherlyn. Walaupun ia tak yakin pria yang bersanding di samping putrinya akan sanggup membahagiakan Fherlyn. Ingatan Keydo berputar mengingat percakapannya dengan Arsen ketika pagi itu ia mendatangi hotel Arsen tanpa sepengetahuan Fherlyn. MH memang perusahaan hotel yang cukup berkembang di negara ini. Bersaing ketat dengan perusahaan Farick Group milik Darius. Dan ia tahu kenapa perusahaan itu bisa jatuh ke tangan seorang Arsen Mahendra. Otak cemerlang, ambisius, dan terbaik dari yang terbaik. “Kaupikir aku akan menyerahkan putrimu untukmu begitu saja? Kau tahu aku lebih dari mampu untuk merebut cucuku darimu. Memastikanmu tak pernah muncul di kehidupan kami bahkan untuk melihat kebahagiaan kami dari jauh.” Salam pembuka Keydo sama sekali tak berbasa-basi bahkan sebelum pantatnya menyentuh sofa kulit hitam di ruang CEO itu. Arsen meringis mengingat ancaman itu adalah ancaman sama yang ia tekankan pada Fherlyn. Pria tua itu tak mudah digertak. “Namun tidak ada yang akan menyayangi Adara melebihi diri saya. Dan tidak ada orang yang sanggup menggantikan saya di hati Fherlyn.” Arsen memuji dirinya yang mengucapkan jawaban tersebut dengan sangat tenang. “Kau tahu dia mencintaimu?” Keydo memicingkan matanya yang tajam. Betapa memalukannya menghadapi pria yang sadar diri bahwa putrinya mencintai seseorang semacam itu. Ia benci kesombongan seperti itu. Arsen mengangkat bahu. “Semua akan jauh lebih baik jika Fherlyn tidak melarikan diri dari pernikahan kami empat tahun yang lalu. Mungkin saja saat ini hati saya sudah luluh, walaupun saat ini pun saya merasa ... sedikit tertarik dengan cintanya yang masih saya miliki. Seutuhnya.” Arsen menekan suaranya di kata ‘seutuhnya.’ Kepercayaan diri Arsen membuat Keydo semakin ingin muntah. “Kenapa?” sengitnya.. “Kenapa saya tidak membalas cintanya?” Arsen mengulang dengan lebih jelas. “Alih mengatakan semua kelebihan Fherlyn yang mungkin bisa membuat saya mempertimbangkan untuk membalas cintanya, tapi Anda bertanya kenapa saya tidak membalas cintanya?” “Terlalu mudah mencintai kelebihan seseorang, tapi butuh kerja keras lebih untuk menerima kekurangan orang yang kita cintai. Dan aku tak akan menjilat kaki pria sepertimu demi mengemis cinta untuk anakku.” Arsen tersenyum miring. “Bagi seorang ayah, putri mereka akan selalu tetap menjadi putri kecil kesayangan. Dan tidak ada pria mana pun yang layak mendapatkan putrinya. Benar, bukan?” Keydo mendengus mencemooh. “Dan sekarang kau berani memaksa putriku menikah denganmu di saat kau tak sanggup menjaminkan kebahagiaan untuknya?” decaknya tak percaya. “Karena kami sudah menjadi satu paket tak terpisahkan sejak Adara tercipta di perutnya empat tahun yang lalu.” Arsen berhenti sejenak. Tangannya menggaruk-garuk dagunya yang tak gatal seolah berpikir sejenak sebelum melanjutkan. “Atau mungkin ... putri Anda lebih lihai dalam mempermainkan hati pria dari yang Anda kira, Tuan Ellard. Maafkan saya jika saya tidak bisa menahan diri. Saat itu dia wanita muda yang sangat cantik dengan perpaduan kerapuhan yang mampu membuat pria mana pun takluk di kakinya. Dia merayu saya, membuat saya terbuai, menjebak saya dengan segala macam kecerobohannya, kemudian terakhir, ia memohon perlindungan dari saya. Dan di saat saya siap memberinya tanggung jawab yang besar untuk menerima dia di hidup saya dan blaammmm ... dia menghancurkan hati saya. Berlari meninggalkan saya dengan ribuan pertanyaan yang hingga detik ini belum saya temukan jawabannya.” Keydo terdiam. Alih-alih mengatakan jatuh dalam pesona kecantikan Fherlyn –satu-satunya kelebihan yang dimiliki oleh putrinya- Arsen menambahkan kerapuhan sebagai kelebihan Fherlyn. Tidak ada pria mana pun yang cukup gentle mengakui telah terjerat dengan kecerobohan putrinya.  Harus Keydo akui itu menjadi satu nilai tambahan yang tidak akan didapatkan pria mana pun yang berusaha menjilatnya untuk mendapatkan Fherlyn atau pria terbaik mana pun yang sudah ia sodorkan pada putrinya. Sialan! Mata Keydo mengerjap, ingatannya terpecah kembali ke masa kini dan pandangannya tak lepas dari pria sialan itu. Keposesifan yang dipamerkan Arsen seolah mengejeknya. Bahwa pria itu telah berhasil merebut putrinya darinya. “Percayalah, Keydo. Kau akan tetap menjadi sosok yang tak tergantikan di hatinya.” Suara Alan menyahut lagi. Ya, sebahagiaan apa pun Fherlyn akhirnya bersama dengan pria yang dicintai, dirinyalah sumber kebahagiaan terbesar dalam hidup putri kecilnya. Sosoknya tak akan pernah tergantikan oleh siapa pun di dunia ini. “Walaupun aku tidak sepenuhnya yakin,” ujar Alan kemudian. Seolah merusak suasana haru yang menyelimuti keduanya baru saja. Keydo mengerutkan kening, wajahnya mengeras dan menoleh ke arah Frian tak terima dengan keraguan Alan padanya. “Apa maksudmu?” Alan memutar tubuhnya menghadap Keydo. “Lihatlah dirimu. Kau sudah tua. Ketampananmu sudah tertutup keriput dan coba bandingkan dengan menantumu.” Alan menunjuk Arsen yang berdiri di kejauhan, masih dengan Fherlyn dalam rengkuhan lengan pria itu. “Dia masih muda dan sangat tampan. Aku merasa tertampar ketika mengagumi wajahnya dari dekat. Bahkan dari jarak sejauh ini dia tetap memesona dan berkharisma. Ketampanannya benar-benar sempurna.” Keydo menggeram marah. “Dia tidak setampan aku sewaktu muda.” “Dulu. Sekarang masa kejayaanmu sudah berlalu,” ejek Alan. “Sialan kau, Alan.” Alan terkikik. “Ke mana saja dia selama ini. Seharusnya aku menjodohkannya dengan Aleta sebelum bertemu dengan anakmu.” Alan menyebutkan putri bungsunya yang masih belum menikah. “Dia menghamili anakku,” desis Keydo. “Apa yang kauharapkan dari pria semacam itu?” “Ya, kau juga menghamili adikku ketika dia masih begitu muda. Sebelumnya aku tak percaya, tapi sekarang kurasa aku tahu hukum karma itu memang ada.” Keydo menggeram. Ia teringat bagaimana dulu ia menikahi Finar dan melamar wanita itu ke keluarganya dengan kearogansian. Lalu terburu membuat istrinya hamil. Tapi Alan yang kebakaran jenggot karena Finar hamil. Apa salahnya menghamili istrinya? “Dia melakukannya dengan urutan yang salah.” “Dan kau menukar tunanganmu dengan adik sahabatmu seolah kau meminta ganti rugi di butik pakaian.” Suara familiar muncul dari arah belakang mereka. Pria paruh baya dengan istri yang masih terlihat menawan di usia yang sudah hampir menginjak setengah abad, Darius dan Andrea Farick. Keduanya tampak serasi dengan jas dengan gaun mewah berwarna peach. Berjalan  lebih dekat ke arah Keydo dan Alan. “Darius. Rea,” sapa Alan. “Di mana si kembar?” tanyanya yang tak melihat putra kembar Darius, Adam dan Diaz. “Adam bilang sudah sampai lebih dulu, tapi Diaz sepertinya akan lebih terlambat,” jawab Darius sambil melirik jam di tangannya. “Apa upacaranya sudah selesai?” tanyanya tanpa rasa berdosa sedikit pun. “Kau selalu terlambat. Dan sepertinya bakat itu menurun pada salah satu kembarmu, ya,” komentar Keydo sedikit sinis. Darius mendengkus. “Undanganmu terlalu mendadak, Keydo. Aku bahkan tak ingat pesta anakmu adalah hari ini jika bukan Rea yang mengingatkan. Meski dia membencimu, tapi kau tahu Fherlyn sudah seperti anaknya sendiri, kan?” “Kuharap itu ketulusan.” Keydo mengangguk ke arah Rea. “Memang.” Rea membenarkan. “Tapi untuk anakmu.” Keydo berdecak. “Ck. Sudah berpuluh tahun tapi kau masih sesinis ini padaku?” Rea mendesah keras. “Dan sudah berpuluh tahun tapi sikap menjengkelkanmu masih saja tak berkurang sedikit pun.” “Aku harus bagaimana.” Keydo mengangkat bahu dan kedua tangannya. “Selain tampan, itu juga bakat yang kubawa sejak lahir.” Alan dan Darius memutar mata dengan jengah. “Kudengar kau sudah memiliki cucu. Kupikir alam sudah melakukan kewajibannya untuk membuatmu lebih cepat tua.” “Bukankah salah satu kembarmu sebentar lagi menikah? Tak menunggu lama sebelum bayi mereka memanggilmu nenek. Semoga saja menantumu tak semenyebalkanmu, Rea.” “Rea, sepertinya Adam memanggilmu,” ujar Darius melerai perdebatan Keydo dan istrinya. Menunjuk ke arah kerumunan para tamu. Rea yang sudah membuka mulut hendak membalas, langsung memalingkan wajah ke arah Adam yang melambai ke arahnya. “Sepertinya dia ingin kau menyapa Senja.” “Aku pergi dulu,” kata Rea menarik lengannya yang melingkari lengan Darius. Tak lupa memberi kecupan ringan di pipi Darius sebelum meninggalkan suaminya. “Itu calon menantumu?” Keydo mengarahkan pandangannya pada wanita yang berdiri di samping putra Darius. “Selain cantik dan lemah lembut, dia juga tidak menyebalkan seperti yang kaubilang,” tambah Darius dengan bangga. “Sepertinya mereka sedang menyapa istri dan anakku.” Alan melihat Fiona dan putri serta menantunya yang bersalaman dengan Adam dan Senja. Saling menyapa dengan senyum lalu mulai berbincang ringan. “Mereka mengingatkan kita di masa muda.” Darius menggumam dengan pandangan menerawang ke arah tiga anak mereka bertiga yang tampak begitu bahagia dengan pasangannya masing-masing. “Huftt... waktu cepat berlalu,” sahut Alan. “Dan kuharap mereka bisa sebahagia kita hingga tua,” harap Keydo penuh keyakinan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD