Part 4

1140 Words
Karena kebutaan informasi tentang keberadaan cucu yang baru diketahuinya, Keydo memaksa putri bungsunya itu untuk membuka mulut menceritakan semuanya sedetail mungkin, sebelum mengerahkan seluruh anak buah untuk mencari anak Fherlyn. Bagaimana cara mencari bayi yang bahkan belum pernah ia lihat bentuknya. Anaknya itu bahkan tak membawa ponsel atau lembaran foto yang bergambar cucunya. Cucu? Mendadak ia merasa bertahun-tahun lebih tua karena kata itu. Finar sering mengungkit kata itu, membayangkan bagaimana jika mereka memiliki cucu, tapi saat semua benar-benar menjadi kenyataan, mendadak dirinya menjadi gugup. “Jadi, kau pergi keluar negeri empat tahun lalu untuk menyembunyikan kehamilanmu?” Pertanyaan Finar memecah keheningan yang menegangkan tersebut. Tubuh tak bisa bergerak karena kedua lengan Fherlyn yang memenjara tubuhnya dari arah samping. Kepala Fherlyn yang tertunduk dalam-dalam mengangguk pelan. Kedua tangannya yang memeluk Finar semakin erat. Bersiap-siap mendengarkan ledakan kemurkaan papanya karena anggukan kepalanya. “Siapa ayah dari anakmu?!” Fherlyn membungkam. Menutup mulutnya rapat-rapat. “Katakan, Fherlyn!” geram Keydo. “Berani sekali pria itu bersikap tak bertanggung jawab kepada anakku.” Jawaban papanya yang mencengangkan Fherlyn membuat wanita itu terdongak dengan keras. Ia pikir papanya akan menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga diri dan membuatnya hamil di luar nikah. Bukannya menyalahkan pria yang telah menghamilinya. Tidak, ia tidak boleh menyeret Arsen dalam masalahnya dengan keluarganya. Melihat reaksi papanya saat ini, Fherlyn tahu papanya itu akan mendobrak pintu rumah Arsen, menghajar pria itu hingga babak belur sebelum meminta pertanggungjawaban karena telah menodai putri kesayangan keluarga mereka. Dan mamanya yang lembut ini, juga pasti akan bicara baik-baik dengan Arsen untuk mencari jalan keluar. Pertanggungjawaban dan jalan keluar yang hanya akan mengarah pada satu jalan. Yaitu pernikahan. Fherlyn tidak menginginkan hal itu. Arsen juga. Mereka memiliki dua keinginan yang tidak bisa disatukan. “Ini bukan kesalahannya. Dia tidak tahu apa-apa tentang anak kami.” “Kupikir aku tahu darimana ketololan itu menurun.” Keydo melirik sinis ke arah Finar. Yang langsung melotot lebar-lebar ke arahnya. Apa pun permasalahan yang terjadi di antara anaknya dan si ayah bayi, Fherlyn tentu memilih mengalah dan membiarkan penderitaan itu untuk dirinya sendiri. Sama seperti Finar. Klise. “Tapi kau masih ingat dengan jelas wajah ayah dari anakmu, kan?” Keydo menatap lekat-lekat tatapan Fherlyn. Mencari apa pun yang bisa dijadikan petunjuk di manik coklat terang itu. Satu-satunya hal yang ia syukuri di antara kekurangan-kekurangan putrinya adalah karena tak pandai berbohong. Fherlyn memejamkan matanya dan menundukkan kepala lagi demi menghindari tatapan menusuk papanya yang seolah membaca buku di wajahnya. Ia tahu trik itu. “Hm, baiklah.” Keydo bersandar di punggung sofa. Setelah lari dari tanggung jawab dan sekarang pria entah siapa itu mendapatkan perlindungan dari putrinya? Tidak semudah itu. “Papa bisa menyelidiki satu persatu pria yang pernah dekat atau bahkan hanya sekedar menyapamu di jalan dan menginterogasi mereka satu persatu untuk mengakui perbuatan pengecutnya. Kaupikir papa akan melepaskannya semudah itu, Fherlyn? Tidak, papa akan membuatnya membayar ....” “Tidak, Pa,” potong Fherlyn dengan panik. Kemudian ia memutar tubuhnya menghadap mamanya dan menangis lagi. “Ma, dia ... dia akan mengambil anak Fherlyn jika tahu Adara anaknya.” “Ya, kemungkinan dia tahu anakmu dan menculiknya saat ini. Apa kau masih tak ingin mengatakan pada papa siapa ayah dari anakmu?” sahut Keydo mulai tak sabaran. “Dia tidak tahu keberadaan Adara, Pa. Itu tidak mungkin.” “Kau pernah bertemu dengannya setelah kembali ke negara ini?” Fherlyn lalu terdiam. Keningnya berkerut sangat dalam mengingat pertemuannya dengan Arsen kemarin. Tapi pertemuan itu singkat dan Arsen tak mungkin mengetahui keberadaan Adara dan menculiknya. Lalu Fherlyn menggeleng sekali. Keydo menggeram dengan gemas pada putrinya yang ... sedikit kurang pintar. “Gelengan kepalamu tak sejujur matamu, nak,” dengus Keydo sambil mengangkat ponselnya yang tergeletak di meja. Panggilannya dijawab di deringan pertama dan ia langsung memerintah. “Periksa cctv apartemen anakku. Cari tahu ke mana saja dia pergi dan siapa saja yang ditemuinya setelah kembali ....” Mata Fherlyn membelalak kaget dan bergegas melompat untuk meraih ponsel di tangan Keydo. “Pa?” mohonnya sambil menahan kedua tangan papanya dalam genggamannya lalu menempelkannya di bibir. Matanya yang basah menyiratkan permohonan yang sangat. Keydo melotot pada Fherlyn ketika ponsel dalam genggamannya jatuh ke lantai. Menolak rasa iba yang menyeruak di hatinya dengan ekspresi Fherlyn. Putrinya itu perlu menyingkirkan sedikit kekurangpintarannya. “Papa harus membunuhnya karena berani ...” “Dia ayah dari cucumu,” sergah Finar dengan lirih tapi tatapannya keras penuh peringatan ke arah Keydo. “Tapi tetap saja dia berani menghamili anakku dengan cara tidak bertanggung jawab seperti ini.” “Kau membuat semuanya semakin rumit!” sergah Finar pada Keydo. “Kita bisa bicara baik-baik.” Finar menarik Fherlyn untuk kembali duduk di sebelahnya. Keydo menghela napas panjang. Bicara baik-baik? Siapa yang bisa tenang saat putrimu memberi kabar gila ini dalam sekali kejutan besar? Cucunya, masuk dalam daftar salah satu anak di luar nikah? Dan anaknya, menjadi orang tua tunggal tanpa ikatan pernikahan yang sah? Di saat perjuangannya bertahun-tahun lalu yang mempertahankan pernikahan untuk tetap utuh dan berada di jalur yang benar. Bagaimana karma semacam ini datang di hidupnya. Keydo berhasil menata gejolak emosi di hatinya di hitungan ke lima. Dengan suara yang dipaksa melunak, Keydo kembali bertanya, “Jadi, siapa ayahnya?” Fherlyn masih membungkam, isakannya tertahan di matanya berkaca. Finar menepuk pundak Fherlyn, mengangguk meyakinkan putrinya untuk menjawab pertanyaan Keydo. “Aa ...” Fherlyn terhenti. Menggeleng lalu menangis lagi. Keydo menghela napas keras. Mulai tak sabar. Sekali lagi Finar meyakinkan putrinya. “Jika memang dia ada hubungannya dengan penculikan ini, kita harus menyelesaikannya secara baik-baik, Fherlyn. Tapi jika memang penculikan ini tidak ada hubungannya dengan dia, kami ...” Finar menatap Keydo sekali sebelum melanjutkan. “... kami berjanji akan menuruti apa pun keinginanmu untuk masa depan anak kalian.” Cukup sudah! Keydo menepuk keras pinggiran sofa tempatnya terduduk dengan ekspresi penuh kemurkaan. “Tapi papa tidak bisa berjanji untuk tidak membunuhnya!” ancam Keydo kemudian ketika Finar mendelik lagi ke arahnya. “Cepat atau lambat papa akan mengetahuinya. Jadi lebih baik kau mengatakannya sekarang dan semakin cepat kami tahu, semakin cepat pula anakmu ditemukan. Apa kau mengerti keadaan genting ini, Fherlyn?”  Fherlyn mengerjap. Kesadarannya seakan telah kembali ketika papanya mengungkit tentang menemukan anaknya dengan cepat. Adara saat ini pasti kebingungan mencari dirinya, reflek bibirnya terbuka mengucapkan satu nama yang sudah mengakar di lubuk hatinya yang terdalam. “Arsen.” “Siapa?” Keydo memasang telinganya baik-baik karena suara Fherlyn yang sangat lirih dan bercampur tangisan membuatnya tak tertangkap telinganya dengan baik. “Ar ... sen.” Fherlyn sedikit mengeraskan suaranya dengan terbata. “Namanya Arsen.” “Arsen Atmadja, Arsen Sagara, Arsen siapa, Fherlyn?” tanya Keydo gemas pada putrinya itu. Ada ratusan Arsen di kota ini. “Arsen ... Mahendra,” gugup Fherlyn. Mata Keydo menyipit tajam pada Fherlyn. Arsen Mahendra? Nama itu seakan sering berseliweran di pikirannya. “Sepertinya aku tak asing dengan nama itu.” “Dia bossmu, kan?” Mata Keydo menyipit curiga. Tentu saja Keydo mengingatnya dengan sangat jelas. Itu kejadian empat tahun yang lalu ketika putrinya yang dengan keras kepala menolak belajar di perusahaan dan malah memilih perusahaan lain untuk bekerja. Jadi, inilah yang terjadi ketika kau membantah putusan orang tua. Fherlyn mengangguk pelan. “Apa dia meniduri semua sekretarisnya?” sengit Keydo. Fherlyn menggeleng. “Kami ... itu hanya kecelakaan, Pa.” Keydo mendengus sinis. “Tak ada gunanya kau berbohong, Fherlyn.” “Tuan?” Seorang pelayan muncul menyeruak pembicaraan keluarga tersebut dengan ekspresi ragu dan waswas melihat ekspresi si tuan besar yang memberengut penuh awan gelap. “Ya, ada apa, Bik?” tanya Finar dengan lembut. “Ada tamu di depan.” “Siapa?” “Arsen Mahendra, Nyonya.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD