Rekha dan Gladis saling menatap dan mengangkat bahu mereka melihat dr. Fahri yang tampak penasaran dengan puisi-puisi Labibah itu. Apalagi melihat sorot mata Dokter Fahri yang sepertinya sangat mengagumi Labibah.
“Labibah istrinya sahabat dr. Fahri? Tapi, kelihatannya dr. Fahri naksir sama Bibah?” ucap Gladis.
“Huss ... sembarangan kamu! Udah kerja lagi!” tukas Rekha.
“Kha, lihat dong sorot mata Dokter Fahri? Kek mengagumi Bibah banget tau! Aku iri, mau dong ditatap gitu sama Dokter Fahri?” ucapnya dengan iri, melihat Fahri menatap Labibah seperti tadi.
“Ya jelas kagum lah! Orang Bibah nulis puisinya ngena banget mungkin di hati Dokter Fahri?” jawab Rekha. “Udah mending duduk manis, lanjut kerja, nomor antrean masih panjang, Galdis ....” ucap Rekha.
“Siap, Bos!” jawab Gladis semangat.
“Eh, tapi ada untungnya lho, Bibah kenal sama Dokter Fahri, pasti tuh dokter ke sini terus, pasti!” ucap Gladis.
“Ya kali ... biar saja, kan ada pemandangan indah di sini setiap hari?” ucap Rekha.
“Tapi, kalau dilihat nih, Labibah itu pengantin baru kek gak bahagia gitu. Lihat saja dari pagi mukanya gak ada semangat-semangatnya gitu?” ucap Gladis.
Rekha tidak menjawabnya, dia malah menajamkan matanya menatap Gladis yang terus membahas Labibah.
“Diam bisa gak, sih? Udah dong ghibah orangnya? Kerja ... lanjutin tuh nomor antreannya sampai mana?” tegur Rekha.
“Iya deh iya, kamu galak sekarang!” tukas Gladis.
^^^
Labibah duduk di depan Fahri. Dari tadi dia melihat Fahri yang sedang membaca puisinya. Tidak menyangka Fahri bisa menemukan puisinya yang dulu tidak sengaja ia tinggalkan di gazebo yang ada di depan cafetaria.
Fahri meletakkan lembaran yang bertuliskan puisi di meja. Dia menatap Labibah yang duduk dengan menudukkan kepalanya.
“Kamu mau makan siang dulu?” tanya Fahri.
“Saya sudah makan tadi,” jawab Labibah.
“Kamu baru istirahat, tapi kamu bilang sudah makan?” tanya Fahri.
“Aku bawa bekal, jadi aku sudah makan, tapi kalau sholat kan harus gantian dengan Rekha dan Gladis,” jawab Labibah.
“Kamu mau jelaskan apa soal ini? Kenapa Fauzan tidak pernah tahu kamu bisa menulis puisi ini?” tanya Fahri.
Labibah terdiam, dia tidak tahu harus menjelaskannya dari mana. Dia memang tidak mau Fauzan tahu kalau dirinya bisa menuliskan puisi. Belum saatnya Fauzan tahu tentang kebenaran yang sebenar-benarnya. Biarlah Fauzan tidak tahu soal dirinya kalau dirinya itu pandai menulis puisi dan memiliki blog khusus puisi karyanya sendiri.
“Bibah, bisa jelaskan padaku?” tanya Fahri lagi.
“Tapi, saya mohon, jangan beritahu Mas Fauzan kalau aku menceritakan semua, Dok,” ucap Labibah.
“Kenapa? Apa alasannya?” tanya Fahri.
“Karena Mas Fauzan tidak pernah tahu puisi yang ia terima selama ini itu dari saya, dia mengira semua itu milik mantan kekasihnya, maksud saya mantan tunangannya juga. Pasti Dokter tahu siapa, kan? Dokter kan sahabat Mas Fauzan,” jelas Labibah.
“Iya tahu, Syafira, kan?” jawab Fahri.
“Iya, Dok,” ucap Labibah.
“Lalu kenapa Fauzan itu tahunya bukan dari kamu?” tanya Fahri.
“Itu hanya kesalahpahaman masa lalu. Yang penting, dokter rahasiakan semua ini dari Mas Fauzan. Saya tidak mau Mas Fauzan tahu kalau puisi itu sebenarnya dari aku, aku yang menulisnya,” jawab Labibah.
“Sekarang aku tanya sama kamu. Apa kamu bahagia menikah dengan Fauzan?” tanya Fahri.
“Kenapa dokter bicara seperti itu?”
“Jawab saja, bahagia atau tidak, Bibah?” Fahri terus mendesak Labibah. Fahri tahu kalau Labibah tidak bahagia menikah dengan Fauzan, karena Fahri tahu kalau Fauzan masih saja mencari di mana Syafira berada.
“Bahagia atau tidak, saya yang merasakannya, Dok? Tidak sepatutnya saya mengumbar kebahgiaan atau kesengsaraan rumah tangga saya. Apalagi menceritakannya pada seorang pria yang tak lain adalah sahabat suamiku sendiri?” ucap Labibah.
“Kalian dijodohkan, dan aku tahu, Fauzan sangat menentang perjodhan itu dari awal, karena dia masih ingin mencari Syafira. Aku tidak tahu kalau kamu yang dijodohkan dengan Fauzan, kalau aku tahu dari awal, mungkin aku akan melarangnya, melarang kamu menikah dengan Fauzan,” ucap Fahri.
“Kenapa? Dan apa hubungannya dokter melarang saya menikah dengan Mas Fauzan?” tanya Labibah.
Fahri kelepasan bicara seperti itu. Memang dia tidak tahu dengan siapa Fauzan dijodohkan saat Fauzan galau karena orang tuanya terus mendesak dirinya untuk menerima perjodohan itu. Fauzan yang kalut akhrinya menemui Fahri, dan mencurahkan semua kegundahan hatinya soal perjodohan dan soal Syafira yang belum juga dipertemukan.
Di sisi lain, Fahri yang sejak dari kepindahannya di Permata Medika sudah melihat Labibah, dan tidak pernah Fahri sangka, dirinya akan jatuh hati pada Labibah. Berawal dari melihat Labibah di dalam lift, bersama kedua temannya, yang sangat cuek, dan biasa saja. Bahkan saat kedua temannya heboh melihat dirinya, Labibah sama sekali tidak mau meliriknya yang pada saat itu Fahri sedang menjadi perbincangan seluruh staf, karyawan, dan tenaga medis perempuan di Permata Medika. Hanya Labibah mungkin yang terlihat cuek, dan tidak mau melirik sedikit pun saat ada dirinya di dalam lift.
Dari situlah, Fahri penasaran dengan Labibah. Dia mengkuti Labibah tanpa sepengetahuan Labibah. Setiap hari dia sering pergi ke ruangan Labibah tanpa tujuan, kadang hanya berada di depan ruangan sambil melihat Labibah di dalam yang sedang sibuk. Namun, sekali lagi hanya teman-teman Labibah yang heboh ketika melihat dirinya, dan Labibah benar-benar menundukan pandangannya pada pria lain. Dengan rekan kerjanya yang laki-laki pun, Labibah juga cuek, tidak pernah bergurau seperti teman Labibah lainnya.
Dan, ternyata suami Fauzan itu adalah Labibah, gadis yang Fahri incar, dan sangat penasaran karena bisa menulis puisi seindah itu. Fahri bukan jatuh cinta pada puisi Labibah, sebelum Fahri tahu Labibah bisa menulis puisi pun Fahri sudah penasaran dengan Labibah dan ingin mengenalnya lebih jauh, karena Fahri cinta pada Labibah, saat pertama kali melihatnya di dalam lift, dari situ Fahri jatuh cinta dengan cueknya Labibah, Fahri jatuh cinta pada Labibah karena dia berbeda dari yang lainnya.
Jika tahu dari awal calon istri Fauzan adalah Labibah. Wanita yang tidak diinginkan adalah Labibah, dan wanita yang sangat Fauzan benci adalah Labibah, mungkin Fahri akan melarang Labibah menikah dengan Fauzan, sebisa mungkin Fahri akan melarangnya. Karena, Fauzan terus bilang kalau Labibah yang membuat Syafira pergi saat satu minggu akan menikah dengannya.
“Kenapa diam, Dok? Kenapa dokter akan melarang saya kalau calon suami Mas Fauzan adalah saya?” Labibah mengulangi lagi pertanyaannya.
“Sudah lupakan itu,” ucap Fahri.
“Lupakan? Lucu sekali dokter ini?” ucap Labibah.
“Sudah sana, kalau kamu mau sholat, yang penting aku tahu alasan kenapa kamu menyembunyikan semua ini dari Fauzan, meski hanya sekilas dan tidak tahu lebihnya seperti apa,” ucap Fahri.
“Janji ya, Dok, jangan bilang sama Mas Fauzan kalau semua puisi yang ada pada Mas Fauzan itu milikku,” pinta Labibah.
“Iya, aku janji,” jawab Fahri.
“Kalau begitu, saya ke masjid dulu, Dok. Permisi ...,” pamit Labibah.
Fahri tidak lepas menatap kepergian Labibah. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Fauzan menyia-nyiakan wanita sebaik Labibah. Padahal kalau Fahri pikir, Labibah lebih menonjol dari mantan tunangan Fauzan yang bernama Syafira itu. Dari segi fisik dan kecantikan pun, Syafira kalah dengan Labibah.
Fahri masih duduk termengu menatap jejak bayangan Labibah yang sudah tidak terlihat lagi. Dia masih tidak percaya dengan ucapan Fauzan semalam, kalau dia akan terus mencari Syafira, dan jika sudah bertemu dia akan menceraikan Labibah. Bahkan Fauzan cerita, saat malam pertama dengan Labibah, dia malah menyebut nama Syafira. Semua itu Fauzan ceritakan karena hanya dengan Fahri tempat Fauzan mencurahkan kegundahan hatinya setelh Syafira pergi.
“Fauzan ... apa kurangnya dia? Dia wanita yang baik, dan kamu memperlakukan Labibah dengan seperti itu. Malang sekali nasib kamu, Bibah? Aku, aku yang nantinya akan membuat kamu bahagia, Bibah. Aku yakin, suatu hari Fauzan akan menyesal karena sudah membuat orang sebaik kamu terluka,” gumam Fahri.
^^^
Fahri yang masih melamun, tiba-tiba ia dikagetkan dengan seseorang yang datang menemuinya.
“Kamu aku cariin ternyata di sini?” ucapnya manja.
“Apalagi sih, Tania? Kamu gak capek, ya? Memang kamu tidak bekerja? Jam segini malah keliaran gitu?” ucap Fahri kesal.
“Fahri ... kapan sih kamu gak cuek kek gitu sama aku? Aku bawain salad sayur kesukaan kamu nih. Tadi aku pesan di temanku, ini enak banget lho?” Ucapnya dengan menyodorkan box salad sayur ukuran medium.
“Aku sudah makan, aku kenyang. Lagian kamu mau apa sih ke sini? Aku lagi rehat sebentar, lagi cari angin, bentar lagi mau ada operasi. Sana pulang, ganggu orang santai saja kamu!” tukas Fahri dengan kesal.
“Tuh, kan? Kamu kok tambah judes sekarang? Sejak dipindah di sini? Harusnya kamu senang dong? Kan jadi dekat aku?” ucap Tania.
“Tania, ini jam kerja, kamu malah keliaran gitu? Jangan karena kantor kamu sendiri kamu seenaknya gitu? Memang kamu sedang tidak melayani Klien apa?” ucap Fahri.
Tania adalah anak dari sahabat ayahnya Fahri. Dia dari dulu masih semangat mengejar cinta Fahri, padahal dengan jelas Fahri menolaknya. Tania terlalu sempurna. Fahri takut tidak bisa mengimbangi gaya hidupnya yang serba wah dan glamor. Padahal Fahri juga sama-sama orang punya, seperti Tania dan keluarganya, tapi Fahri tidak mau memiliki wanita yang terlalu mencolok penampilannya di khalayak umum.
Siapa yang tidak tahu Tania, pemilik usaha retail terbesar, dan seorang lawyer terkenal. Banyak mata lelaki yang kagum pada sosok Tania. Cantik, pintar, dan tidak pernah berpenampilan biasa saja. Penampilannya harus sesempurna mungkin di depan umum.
Wanita yang mungkin sangat sempurna di mata laki-laki di luar sana. Tapi, tidak untuk Fahri. Buktinya saja, semua pengunjung laki-laki di cafetaria, tidak lepas memandangi Tania, dan seperti sangat mengaguminya.
“Aku free hari ini, jadi aku ingin menemui kamu. Tadi sempat cari ke ruangan kamu, tapi kata orang yang melihat kamu, kamu ada di cafetaria, ya sudah aku susul kamu ke sini?” ucap Tania.
“Malam minggu kamu masih di sini, kan? Temani aku yuk?” ajak Tania.
“Ya aku di sini, kan aku sudah pindahan ke rumah baruku? Tapi, sorry deh, Ta. Keknya aku gak bisa, ada janji sama teman lama,” ucap Fahri.
“Perempuan?” tanya Tania.
“Ih kepo?!” jawabnya.
“Tuh kan? Fahri, kapan sih kamu buka hati untuk aku?” tanya Tania.
“Buka hati? Kan aku sudah bilang aku tidak bisa, Ta? Dari dulu aku bilang gitu, kamu terlalu sempurna untukku,” ucap Fahri.
“Nyebelin kamu!” tukasnya kesal.
“Ya sudah, Ta. Thanks salad sayurnya. Aku balik ke dalam dulu, masih banyak tugasku. Makasih udah nyempetin ke sini menemui ku dan bawain ini buat aku,” ucap Fahri.
“Oke, sama-sama. Jadi kamu gak mau nemenin aku nanti malam minggu?” tanya Tania dengan wajah yang kecewa.
“Aku sudah janji dengan Fauzan, mau futsal,” jawab Fahri.
“Yah ... futsal lagi?” ucapnya semakin kesal.
“Ya sudah aku pamit, makasih mau nemuin aku,” ucap Tania.
“Iya, hati-hati,” jawab Fahri.
Tania pergi meninggalkan Fahri dengan hati kecewa karena Fahri tidak mau menemaninya malam mingguan, dan makan malam berdua. Fahri mengernyitkan keningnya. Masih saja Tania seperti itu, tidak pernah menyerah mendekati dirinya, padahal berkali-kali Fahri sudah menolaknya dari dulu.
“Kamu itu masih saja gini, Tania? Aku sudah bilang, aku tidak suka dengan kamu. Apalagi semenjak aku jatuh hati pada Labibah. Dunia seakan mengalihkan ku, dan duniaku hanya Labibah. Kamu mampu mengalihkan duniaku, Labibah,” ucap Fahri dalam hati.